Menuju konten utama

Bola Panas Status Pegawai di KPK, PAN-RB, BKN: Upaya Cuci Tangan?

Aktivis anti-korupsi menilai cara KPK yang mengalihkan tanggung jawab status pegawai yang gagal dalam tes ke instansi lain sebagai upaya cuci tangan.

Bola Panas Status Pegawai di KPK, PAN-RB, BKN: Upaya Cuci Tangan?
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan tanggapannya saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR di komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (25/6/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) saling lempar tanggung jawab mengenai nasib 75 pegawai KPK yang terjegal di tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam seleksi aparatur sipil negara (ASN). Tes ini disebut-sebut sebagai upaya pamungkas pelemahan komisi antirasuah karena di antara mereka yang gagal tercatat nama-nama yang selama ini terkenal konsisten memberantas korupsi bahkan kontra dengan pimpinan KPK saat ini.

Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harera mengatakan tidak akan memecat 75 pegawai tersebut. Pihaknya akan lebih dulu melakukan rapat koordinasi dengan Kementerian PAN-RB dan BKN. "Selama belum ada penjelasan dari KemenPAN-RB dan BKN, KPK tidak akan memberhentikan 75 pegawai yang dinyatakan TMS (tidak memenuhi syarat)," kata Cahya dalam konferensi pers, Rabu (5/5/2021).

Di sisi lain, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengatakan nasib para pegawai ada di tangan pimpinan KPK. Politikus PDIP itu heran bola panas itu dilempar ke pihaknya sebab Kemen PAN-RB tidak punya kewenangan melantik pegawai KPK, dan pihaknya pun tidak ikut campur urusan seleksi ASN bagi pegawai KPK sejak awal.

"Kerja sama KPK dengan BKN, keputusan dari tim wawancara tes, hasilnya diserahkan ke pimpinan KPK. Ya sudah, selesai. Kok dikembalikan ke Men PAN-RB? Dasar hukumnya apa? Ini kan internal, rumah tangga KPK," ujar Tjahjo, Rabu.

Tjahjo mendasarkan pernyataannya pada Pasal 5 ayat (5) Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN. Di sana dinyatakan KPK bekerja sama dengan BKN dalam menggelar asesmen wawasan kebangsaan.

Kepala BKN Bima Wibisana pun berkomentar senada. Keputusan tentang 75 pegawai tersebut ada di tangan pimpinan KPK sebab "status mereka saat ini adalah pegawai KPK dan belum menjadi ASN," katanya kepada reporter Tirto, Kamis (6/5/2021).

Saat dihubungi ulang oleh wartawan Tirto, Tjahjo mengatakan "wajar ada yang lulus dan tidak lulus" tes wawasan kebangsaan, yang secara tidak langsung membantah narasi yang mengatakan ini adalah upaya pelemahan KPK. Tes tersebut diselenggarakan atas kerja sama KPK dengan BKN. Ia pun menyebut tes tersebut diikuti semua pegawai KPK secara sukarela.

"Tes wawasan kebangsaan diikuti seluruh pegawai KPK. 1.300 orang lebih hadir dan tidak ada yang menolak tes wawasan kebangsaan. Tim wawancara termasuk psikotes dibentuk BKN sepengetahuan pimpinan KPK," kata Tjahjo saat dihubungi reporter Tirto, Kamis.

Tjahjo kembali menegaskan kalau Kemen PAN-RB tidak terlibat tes wawasan kebangsaan. Setelah ini mereka yang lulus akan mendapatkan SK PNS. "SK ASN-nya akan diproses oleh BKN dan Kemen PAN-RB membantu BKN," kata Tjahjo.

Hasil tes sudah diserahkan BKN kepada Sekjen KPK dan pimpinan KPK, disaksikan olehnya dan Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Panggabean.

Saat dikonfirmasi soal kelanjutan nasib pegawai yang tidak lulus, Tjahjo tidak menjawab spesifik. Ia hanya melampirkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021, yang pasal 23 ayat 1 poin b-nya menyatakan pegawai KPK diberhentikan jika tidak memenuhi syarat sebagai ASN.

Firli Cuci Tangan?

Seleksi ASN bagi 1.351 pegawai KPK dilaksanakan pada 18 Maret-9 April lalu. Hal ini merupakan konsekuensi dari revisi Undang-Undang KPK. Pada Pasal 1 ayat (6) dinyatakan bahwa "pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara." Peraturan KPK 1/2021 menyebut sejumlah syarat alih status sebagai ASN. Tiga di antaranya: setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, dan pemerintah yang sah; tidak terlibat organisasi terlarang; dan memiliki integritas dan moral yang baik.

Untuk itu KPK bersama BKN menggelar TWK dengan menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Pusat Intelijen TNI AD, Dinas Psikologi TNI AD, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dari seluruh peserta, sebanyak 75 pegawai tidak lulus dan 2 tidak hadir wawancara. Sebagian pegawai yang tidak lulus adalah penyidik dan penyelidik senior, di antaranya Novel Baswedan, Ambarita Damanik, Budi Agung Nugroho, Andre Nainggolan, Budi Sukmo, Rizka Anungdata, Arief Julian Miftah, dan Iguh Sipurba. Ada pula nama Ketua dan Wakil Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo Harahap dan Harun Al-Rasyid.

Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan bahwa nasib 75 orang yang tidak lolos TWK tersebut sebenarnya ada di tangan Ketua KPK Firli Bahuri. Pasalnya, TWK tersebut bisa muncul melalui Perkom 1/2021 yang diteken oleh Firli.

"TWK baru muncul di dalam Perkom 1 Tahun 2021. Atas perintah Firli Bahuri harus dilakukan TWK," kata Zaenur saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis sore. TWK tidak ada di dalam revisi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 maupun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Di dalam Perkom 1/2021, memang dijelaskan bahwa ada kerja sama antara KPK dengan BKN mengenai alihfungsi status kepegawaian. Namun, menurut Zaenur, ini adalah proses di internal KPK sendiri yang tidak terkait dengan lembaga lain.

Atas dasar itu, menurut Zaenur, agak janggal jika terjadi saling lempar tanggung jawab antara KPK, Kemen PAN-RB, dan BKN seperti yang terjadi saat ini. Ia menduga hal tersebut hanya upaya Firli untuk membagi beban ke pejabat dan instansi negara lain. Menurutnya, dari sisi politik terlalu besar polemik 75 pegawai tersebut jika hanya dibebankan ke Firli seorang.

"Ini hanya [upaya] cuci tangan Firli Bahuri ketika ingin memecat Novel dan kawan-kawan agar beban politik di mata publik tidak terlalu berat," kata dia.

Semua masalah ini, menurutnya, bermula dari revisi UU KPK yang terjadi pada 2019 lalu--yang memicu protes massal. UU tersebut membuka peluang agar seluruh pegawai KPK di-ASN-kan, namun tanpa norma yang jelas. Di pasal 69 huruf C tertulis: "Pegawai KPK yang belum berstatus sebagai ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Diksi 'dapat' itu menurutnya rancu sehingga pegawai KPK berada di posisi ambivalen: antara bisa diangkat dan bisa juga tidak diangkat menjadi ASN. Statusnya tidak otomatis berubah menjadi ASN.

"Masalah ini tak akan muncul jika UU KPK memuat frasa yang lebih jelas, semisal: 'pegawai KPK dialihstatuskan menjadi ASN'," kata Zaenur. "Jika sudah dikunci di dalam UU KPK, Firli tak punya kesempatan untuk membuang pegawai internal KPK yang selama ini berseberangan dengan banyak pihak, termasuk dengan Firli."

Penjelasan yang lebih jelas dan rigid juga tidak ada dalam PP 41/2020.

Akhirnya, pimpinan KPK di bawah Firli memiliki kesempatan mengatur sendiri alih status pegawai menggunakan mekanisme TWK.

"Akhirnya mereka screening para pegawai lewat metode seleksi wawasan kebangsaan. Dengan parameter pandangan pribadi, politik, dan keagamaan. Pegawai yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim saat ini akan tidak diloloskan. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak masuk akal."

"Memang ujung pangkal ada di UU No. 19 Tahun 2019, tapi dimanfaatkan Firli untuk menyingkirkan pegawai kritis dan banyak menindak para koruptor," tambahnya. "Setelah diprotes banyak pihak, Firli enggak berani memecat Novel dan kawan-kawan, sehingga butuh Kemen PAN-RB dan BKN. Firli enggak berani ambil resiko sendiri," pungkasnya.

Firli membantah semua tudingan. Dia bilang "kami--maksudnya pimpinan KPK--sangat berhati-hati dalam pengambilan keputusan karena kami taat dan tunduk pada segala peraturan perundang-undangan serta melaksanakannya selurus-lurusnya." Dia juga menegaskan bahwa setiap keputusan bukan hanya ada di tangan dia, sebab kepemimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.

Baca juga artikel terkait PEGAWAI KPK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo & Mohammad Bernie
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino