Menuju konten utama

Boikot Bayar Pajak di Zaman Hindia Belanda

Orang-orang Padang menolak bayar pajak alias belasting tak hanya ada dalam novel Sitti Nurbaya saja.

Boikot Bayar Pajak di Zaman Hindia Belanda
Buku "Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai". FOTO/Istimewa

tirto.id - “Esok hari juga kamu harus berangkat dari sini ke Jakarta dan dari sana bersama-sama bala tentara dari tempat lain-lain, dengan kapal, ke Padang; karena di sana telah timbul perusuhan, perkara belasting. Beritahulah sekalian serdadumu, supaya mereka bersiap malam ini juga. Aku harap engkau di sana akan beruntung pula, sebagai sedia kala," kata Kapitan kepada Letnan Mas.

Petikan itu ada dalam bagian "Rusuh Perkara Belasting di Padang" novel legendaris Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli yang terbit pertama kali tahun 1922. Letnan Mas merujuk pada Samsulbahri, seorang Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), yang menjadi salah satu lakon utama dalam novel. Sosok antagonis dalam novel ini adalah pemimpin perusuh, saudagar kaya-raya bernama Datuk Maringgih. Ia tamak serta mata duitan. Dengan akal liciknya, si Datuk sukses memperistri Sitti Nurabaya, kekasih Samsulbahri.

Di sisi lain, Datuk Maringgih angkat senjata melawan serdadu-serdadu Belanda saat, bahkan berani menolak pajak atau belasting. Dalam sudut pandang Indonesiasentris, dia bisa dianggap pahlawan Indonesia. Dalam sudut pandang kolonialis, karena menolak belasting, dia adalah musuh negara (Hindia Belanda).

Terlepas dari novel, kisah penolakan belasting orang-orang Padang adalah nyata adanya. Koran-koran kolonial pun mencatatnya.

Harian Pembrita Betawi (23/03/1908) mengisahkan secara singkat bagaimana seorang pejabat kontrolir bernama van der Brandhof pada bulan-bulan sebelumnya tiba di Lubuk, Sumatera Barat. Dia mendapati orang-orang pribumi di sana ogah membayar belasting. Bawahan pribuminya, yang bertugas menagih pajak, dipersulit orang-orang kampung ketika menaksir jumlah yang harus dibayar.

Kontrolir yang mencium bahaya itu kemudian meminta bantuan militer. Dari pangkalan militer Fort De Cock (Bukittinggi), meski pasukannya kurang memadai dari Padang, Kapten van Royen tetap berangkat berangkat. Sekompi pasukan dari Batalyon ke-17 yang pimpinan Kapten C.J. Boon dan Letnan C. Laukamp juga dikirim ke tempat kejadian dari Padang.

Di Padang, menurut Pembrita Betawi (01/04/1908), beredar pamflet huruf Arab berbunyi “Muslimin Sabilillah. Barang siapa membayar uang belasting kafir naudzubillah. La ilaha ila Allah Muhamad Rasulullah.” Keributan pun melebar dengan cepat di banyak daerah di tanah Minangkabau.

Di Tanah Datar jelang tengah malam, seperti diberitakan Pembrita Betawi (22-23/04/1908), tepatnya di kantor Asisten Residen, orang-orang kampung dengan berani melempari Asisten Residen dan pasukan Marsose yang terkenal ganas dengan batu. Akibatnya, dua Marsose terluka. Serdadu-serdadu Marsose itu lalu membalas lemparan dengan tembakan ke arah massa. Dalam kejadian itu 18 orang tewas, 50 orang terluka dan beberapa orang lalu ditahan.

Bulan-bulan berikutnya, perlawanan menghebat lagi. Menurut A. Nafis, Syair Perang Kamang (2004), pada 15-16 Juni 1908 pecah perang bersenjata antara penduduk sipil dengan serdadu-serdadu KNIL (termasuk Marsose).

Sepanjang bulan Juni Pembrita Betawi memuat banyak berita soal kerusuhan menolak belasting di Padang. Termasuk soal terbunuhnya seorang penghulu kepala pada 17 Juni 1908, di Bunga Tanjung, selatan Padang Panjang. Dua hari kemudian, pada 19 Juni 1908 sepasukan patroli KNIL, pimpinan Kapten Steensma, diserang di Laras Kamang, Oud Agam.

Pemerintah kolonial pun terus menambah kekuatannya. Batalyon ke-20 dari Jakarta pun dikirim ke Padang pada 20 Juni 1908 dan tiba pada 22 Juni 1908. Tentu saja pasukan itu butuh waktu untuk mencapai daerah-daerah yang rusuh. Tak heran jika masih ada kerusuhan pada 24 Juni 1908 di sekitar Pelambajan.

Sebanyak 300 orang bersenjata dari VIII Kota bergerak ke Pelambajan. Sjeich dari Baringin, Datuk Bandahara dan, Datuk Indo Kayo memimpin mereka menyerang serdadu-serdadu Belanda. Setelah bertemu serdadu-serdadu Belanda, 57 penyerang meninggal dan dua pemimpinnya ditahan.

Pemerintah kolonial pun bertindak keras pada jajaran pemerintah lokal dengan memecat 23 penarik pajak pada 24 Juni 1908. Tak hanya dipecat, mereka juga ditahan di Padang. Di hari-hari berikutnya, beberapa pemberontak juga menyerah. Seperti terjadi pada 28 Juni 1908, kala penghulu dari Negeri Sipinang Kampung Tabu, Pariaman, dan Paliniangan acungkan bendera putih mereka.

Bulan berikutnya, bentrokan antara penolak pajak dengan serdadu-serdadu Belanda masih terjadi. Pembrita Betawi bulan itu masih memberitakan kerusuhan di Padang pula. Pada 2 Juli 1908, di daerah Laras IV Kota sebelah selatan, penolak pajak disergap serdadu berkuda dan bersenjata. 50 orang meninggal dan 4 orang terluka.

Para penghasut dan para perusuhnya tentu saja ditangkapi. Seperti terjadi pada pada 3 Juli 1908, seorang haji bernama Gea telah ditangkap karena menghasut penduduk Kota Baharu di Aer Dingin agar tidak membayar pajak. Pada 22 Juli 1908, Soetan Maamin di Payakumbuh, otak penyerangan di Distrik Sasak, juga ditangkap. Seperti diberitakan Esok harinya, berdasar laporan seorang kepala kampung sebanyak 50 orang bersenjata yang hendak merusuh di Padang ditangkapi.

infografik pemberontakan menolak pajak

Perlawanan semacam itu tak hanya terjadi di Sumatra Barat. Di tahun yang sama, di Sumatra Utara pun terjadi. Koran Pembrita Betawi (27/07/1908) memuat laporan Residen Tapanuli soal huru-hara di Sorkam, di jalan antara Sibolga dan Barus. Tak hanya di sekitar Juli, bulan Oktober dan November di daerah Karo juga terjadi hal yang sama. Seperti biasa, perusuh ditangkapi setelah sepasukan KNIL dikerahkan dan pejabat yang terkait di tahan.

Di Ternate juga terjadi pemberontakan semacam itu. Pada 1940, menurut pengakuan Didi Kartasasmita di buku Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan (1993), seorang pegawai kesultanan Ternate dibunuh dan seorang terluka ketika sedang memungut pajak hingga Sultan pun melapor ke KNIL. Sepasukan KNIL dipimpin perwira pribumi pun diturunkan, yakni Didi Kartasasmita sendiri.

Kaum pergerakan nasional pun tak takut dan merasa sangat penting untuk mempermasalahkan belasting. “Penagihan belasting di kabupaten Rangkasbitung yang dibantu Veldpolitie (Polisi Lapangan) dilakukan terlalu keras. Mereka yang tidak mempunyai uang untuk (bayar) belasting itu dipaksa melepaskan barang-barangnya,” kata Otto Iskandardinata di Soeara Oemoem (09/01/1932).

Koran Sinar Deli (08/09/1932) juga memberitakan bahwa Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dalam pertemuannya di Menggala, Lampung, pada 5 September 1932 juga membahas soal keberatan belasting. Dalam sidang Volksraad hal ini dibicarakan soal belasting. Pajak tak hanya dilawan Datuk Maringgih dalam novel Sitti Nurbaya, tapi oleh orang-orang kampung dan kaum pergerakan nasional juga.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani