Menuju konten utama

Boikot Balik Produk Uni Eropa, INDEF: RI Jangan Panik Sikapi RED II

Sejumlah peneliti INDEF menilai bahwa rencana pemerintah untuk merespons kebijakan RED II dengan memboikot hingga membawanya ke World Trade Organization (WTO).

Boikot Balik Produk Uni Eropa, INDEF: RI Jangan Panik Sikapi RED II
Foto udara kawasan perkebunan kelapa sawit di Batanghari, Jambi, Rabu (28/11/2018). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan.

tirto.id - Sejumlah peneliti Institute for Development of Economies and Finance (INDEF) menilai bahwa rencana pemerintah untuk merespons kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dengan memboikot hingga membawa kasus ini ke World Trade Organization (WTO).

Sebab, retaliasi dengan memboikot produk-produk impor dari Uni Eropa hanya akan memberikan dampak negatif lanjutan seperti munculnya perang dagang.

Apalagi, kata dia, permintaan akan minyak nabati dari sawit diperkirakan akan tetap tinggi mengingat pemenuhan kebutuhan energi dunia yang makin besar sementara produksi berbagai sumber energi fosil terus menurun.

Selain itu, hilirisasi industri sawit juga akan meningkatkan produksi dari sawit sendiri. Oleh sebab itu, permintaan atas komoditas ini di masa yang akan datang akan tetap tinggi.

"Potensi tingginya demand disebabkan karena ketergantungan terhadap impor minyak nabati di antara negara-negara utama dunia terus mengalami peningkatan, terutama di India, Cina, Rusia, dan Ukrainia dalam 10 tahun terakhir," ujar peneliti INDEF Imaduddin Abdullah, Senin (1/4/2019).

Ia memperkirakan, permintaan dari minyak sawit akan terus meningkat seiring bertambahnya pertumbuhan populasi, peningkatan pendapatan per kapita, serta pergeseran pola konsumsi masyarakat dunia dari minyak hewani ke minyak nabati.

Selama periode 2008-2009, konsumsi minyak dan lemak per kapita negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat saja sudah mencapai 59,3 kg dan 51,7 kg. Sedangkan negara-negara berkembang seperti India, Pakistan, dan Nigeria baru 13,4 kg, 19,9 kg, dan 12,5 kg.

"Mengingat pendapatan per kapita dari negara-negara tersebut akan mengalami peningkatan, maka pola konsumsi akan mengalami perubahan. Dalam konteks ini, produksi minyak nabati khususnya dari sawit sangat dibutuhkan untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang semakin tinggi dari negara-negara tersebut," imbuhnya.

Sementara itu, peneliti ekonomi pertanian INDEF Bustanul Arifin menekankan perlunya kehati-hatian jika pemerintah membawa permasalahan RED II melalui jalur dispute settlement body (DBS) di WTO.

Sebab, menurut dia, langsung melompat ke jalur DSB biasanya akan memakan biaya cukup mahal karena pemerintah Indonesia harus menunjuk lawyer yang kredibel dan mampu bersidang dengan baik.

"Poin saya adalah tidak perlu terburu-buru mendaftarkan gugatan ke Panel WTO. Pelajari dulu pasal-pasal apa saja yang dilanggar Uni Eropa. Jika klausulnya lemah, justru kita yang rugi," ucapnya.

Menurut Bustanul, upaya gertak-menggertak yang sudah dimulai pemerintah seperti tidak akan mengimpor Airbus dalam waktu dekat tak perlu dipermasalahkan. Sebab jika hal itu benar akan direalisasikan, pemerintah tinggal membuat simulasi kerugian ekonomi dari beberapa pilihan yang ada.

Di samping itu, ia mengingatkan bahwa yang lebih berat dari melawan kebijakan restriktif terhadap sawit itu bukan pada tataran kebijakan. Melainkan, kata dia, kampanye negatif atas produk-produk sawit beserta turunannya di Uni Eropa.

"Bentuk restriksi pasar di sana juga berbeda. Mereka berkampanye melalui industri pangan mereka. Misal, di Italia sering membuat label “makanan ini tidak mengandung minyak sawit”. Justru diplomasi oleh rakyat ini yang lebih berat dan lebih rumit untuk ditanggulangi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KEBIJAKAN SAWIT atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri