Menuju konten utama

Boediwarsono, Dokter Nyentrik Berhati Emas, Meninggal karena Corona

Boediwarsono, dokter yang meninggal karena Corona, dikenang sebagai pribadi yang baik hati, berpenampilan nyentrik, dan tak segan berbagi ilmu.

Boediwarsono, Dokter Nyentrik Berhati Emas, Meninggal karena Corona
Ilustrasi Prof. Dr. Boedi Warsono. tirto.id/Sabit

tirto.id - Prof. Boediwarsono, dr., Sp.PD,K-HOM, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) Surabaya, meninggal karena COVID-19 dalam usia 76 tahun, Sabtu (5/9/2020) lalu. Ia dikenal sebagai pribadi yang energik, dokter yang dekat dan suka menghibur pasien, serta guru yang murah berbagi ilmu.

Siprianus Ugroseno Yudho Bintoro adalah salah satu murid terbaik yang lahir dari tangan dingin Boediwarsono. Ia jadi dokter konsultan penyakit dalam hingga doktor dari Unair berkat Boedi. Boedi-lah yang menempanya, membimbingnya menjadi pengajar yang murah berbagi ilmu sekaligus dokter yang melayani pasien dengan hati, yang bekerja untuk kemanusiaan.

“Beliaulah yang menjadikan saya konsultan, beliaulah yang menjadikan saya doktor, dan beliaulah yang membuat saya seperti sekarang ini,” kata Seno kepada saya, Rabu (9/9/2020).

Seno berkata, semasa menjadi Kepada Divisi Hematologi FK Unair, Boedi tak henti-hentinya mendorong para junior untuk lebih maju.

Seno menyebut Boedi sebagai guru sejati yang pintar, cerdas lagi baik hati. “Sepanjang saya sekolah sampai sekarang belum ada guru yang menyamai beliau. Cara mengajar, cara menerangkan hal yang sulit menjadi mudah. Cara berpikirnya sangat praktis, menunjukkan beliau sangat cerdas sekali,” ujar Seno yang juga merupakan dosen di Unair.

Sedihnya tak terperi ketika mengetahui gurunya wafat. Penyesalan menyesaki pikirannya sebab begitu banyak kebaikan Boedi yang belum sempat ia balas.

Hingga akhir hayatnya Boedi masih setia mendermakan ilmu dengan banyak mengisi seminar virtual di masa pandemi. Sebulan sebelum meninggal ia menjadi pembicara bersama putranya, Andy Purnomo, yang juga dokter spesialis penyakit dalam. Seminar gratis tentang hematologi itu diikuti oleh dokter-dokter muda.

“Saya senang sekali kalau teman-teman saya bisa betul-betul mengerti, bisa memberikan pengobatan sendiri, saya lebih bahagia. Itu sifat saya,” kata Boedi seraya meminta panitia membagikan materinya secara cuma-cuma ke siapa pun yang menginginkan, dikutip dari video yang diunggah Laboratorium Klinik Prodia.

Ternyata seminar itu jadi kesempatan terakhir Boedi merasakan kebahagian mewariskan ilmu.

Keahlian Boedi dalam dunia kedokteran telah diakui luas. Gelar sarjana kedokteran ia raih di FK Unair pada 1971, gelar spesialis penyakit dalam juga ia dapatkan dari universitas itu pada 1975. Gelar konsultan oncology diraihnya di Jepang, sementara konsultan palliative medicine diperoleh di Australia. Ia mendapatkan gelar guru besar FK Unair pada 2020.

Boedi memiliki tiga anak laki-laki yang semuanya menjadi dokter. Putra sulungnya Andy Purnomo, kemudian Bony Pramono, dan si bungsu Cendy Wicaksono.

Pribadi Nyentrik Berhati Emas

Seminar virtual sebulan lalu jadi perjumpaan terakhir Bambang Lukmantoro dengan Boedi. Bambang merupakan salah satu murid Boedi di FK Unair angkatan 1981. Rabu (9/9/2020) kemarin Bambang bercerita pada saya melalui telepon soal bagaimana ia mengenal sosok guru yang ia kagumi itu.

Dia bilang Boedi adalah favorit para mahasiswa dan dikenal sebagai dosen berhati emas. “Beberapa dosen itu kan ada yang killer, tiap kali ambil kelasnya tak lulus. Tapi kalau beliau ini termasuk golden heart, pengajar baik. Asal tak kebangetan pasti lulus sama beliau.”

Ilmu-ilmu yang diberikan Boedi sampai sekarang jadi pegangan buat Bambang. Boedi mengajarkannya soal bagaimana tindakan medis dan pemberian obat harus berdasarkan bukti ilmiah. Ia juga mengajarkan tentang bagaimana memeriksa pasien dengan detail, “tak hanya sekadar tanya lalu memberikan obat.”

Selain berhati emas, Bambang berkata Boedi juga merupakan sosok yang jenaka. Baik di kelas dan di seminar-seminar, Boedi kerap bikin guyonan, diselingi nyanyian yang mencairkan suasana. Itu misalnya terjadi di diskusi online yang diadakan oleh forum alumni dari almamaternya, SMA 1 Blitar, Juli lalu. Saat bicara soal COVID-19, ia guyon bagaimana jika jadi Menteri Kesehatan.

“Kalau saya jadi Menteri Kesehatan, saya bisa atur itu social distancing, tapi tanpa dukungan TNI/Polri tidak mungkin orang akan takut.”

Boedi kemudian mengundang gelak tawa setelah ia mengangkat orang-orang yang ada di diskusi itu jadi pejabat. “Mas Agus jadi Panglima TNI, saya jadi Menkes, terus presidennya pak Budiono.”

Selain guyonan, kata Bambang, yang paling mudah diingat dari pria kelahiran Blitar itu adalah soal penampilannya yang nyentrik.

Ia ingat betul gaya berpakaian Boedi saat di kampus dan mengajar di kelas. Ciri khasnya waktu itu adalah berdandan ala grup band legendaris asal Inggris, The Beatles, dari mulai gaya rambut sampai pakaian. Tak jarang ia bersenandung lagu-lagu The Beatles. Baru 10-20 tahun terakhir ia mengikuti gaya Elvis Presley, dengan celana cutbrai, sampai sebelum meninggal.

Boedi memang suka menyanyi, ia memiliki grup band yang terdiri dari teman-teman sejawat yang ada di FK Unair kala itu. “Kalau ada acara reuni atau apa pasti beliau tampil,” kata Bambang, yang kini membuka praktik dokter umum mandiri di Tuban, Jawa Timur.

Membesarkan Hati Pasien

Kesan mendalam tidak hanya disampaikan kolega dan mantan murid Boedi. Seorang pasien Boedi di Surabaya, Yoan Maukar, perempuan 32 tahun, bercerita melalui sambungan telepon bagaimana sang dokter kerap membesarkan hati pasien.

Hampir seluruh anggota keluarganya berobat ke Boedi. Yoan mengatakan Boedi telah ia anggap sebagai dokter keluarga.

Ia pertama bertemu Boedi tahun 2010. Waktu itu sang ayah divonis gagal ginjal dan harus cuci darah berkala. Boedi-lah yang menangani ayahnya hingga meninggal pada 2011.

Sebelum pertemuan pertama itu Yoan sebetulnya sudah mendengar banyak cerita soal sosok Boedi dari keluarga besarnya. Soal penampilannya yang nyentrik, bagaimana ia begitu telaten menangani pasien, dan betapa manjurnya resep obat sang dokter.

Cerita-cerita itu akhirnya ia buktikan sendiri saat bertemu Boedi di RS Darmo Surabaya. Ia mendapati sosok dokter berpenampilan nyentrik bak Elvis Presley. “Celananya cutbrai, gaya rambutnya dari dulu tidak pernah berubah.”

Tak banyak alat-alat medis di ruangnya. Yang paling ia ingat justru alat pemutar musik yang sedang memutar lagu-lagu Elvis. “Dia dengarkan musik sambil nyanyi-nyanyi. Lalu bilang ke saya, 'sudah tenang saja Yoan, ini pasti sembuh',” kata Yoan, yang saat itu datang membawa hasil rontgen paru-parunya.

Hal yang sama juga diingat Bima Fajar Nugraha yang beberapa kali mengantarkan sang nenek, yang meninggal pada 2014, berobat ke Boedi di RS Darmo Surabaya sekitar 2010. “Ruang praktiknya sudah seperti rumah, saat konsultasi seperti di ruang tamu. Full musik yang menenangkan, dengan suara ringan.”

Neneknya menderita kerusakan hati kronis yang mengarah ke jaringan parut dan gagal hati. Meski kondisi tak baik, memeriksakan diri ke Boedi selalu berbuah ketenangan bagi keluarga. Boedi menjelaskan penyakit yang menggerogoti neneknya itu dengan santun, mudah dipahami, dan tak membuat ketakutan berlebih.

“Yang sering saya lihat, setelah almarhum nenek periksa, keluar ruangan lebih happy. Jadi pasien kronis seperti almarhum nenek tidak merasa takut. Lebih nyaman dan senang. Tidak takut untuk kembali periksa rutin,” katanya.

Baca juga artikel terkait DOKTER MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino