Menuju konten utama
Sidang Kasus BLBI

Boediono Mengaku Lupa Soal Penghapusbukuan

Dalam persidangan korupsi kasus BLBI, Boediono mengaku lupa soal keputusan rapat terbatas di Istana Negara pada Februari 2004 yang membahas penghapusbukuan (write off).

Boediono Mengaku Lupa Soal Penghapusbukuan
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Dalam sidang perkara korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), Boediono yang bertindak sebagai saksi, sempat ditanyai jaksa perihal keputusan rapat terbatas di Istana Negara pada Februari 2004 yang membahas penghapusbukuan (write off).

Namun ketika ditanya jaksa, Boediono mengaku lupa soal perkara itu. “Persetujuan itu tentu ada kesimpulan, namun saya tidak ingat di akhir rapat itu ada kesimpulan atau tidak,” ucap dia di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (19/7/2018).

Penghapusbukuan itu diminta oleh mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang mengusulkan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) untuk menghapus porsi utang tidak berkelanjutan petambak plasma senilai Rp2,8 triliun.

Kemudian, jaksa menampilkan notulensi hasil ratas itu. Hasilnya, belum menyepakati keputusan untuk penghapusbukuan. Lantas Boediono mengamini bahwa memang belum ada keputusan untuk write-off tersebut.

"Sampai akhir sidang kabinet, tidak ada kesimpulan yang dibacakan. Jadi sampai selesai tidak ada keputusan," kata mantan Menteri Keuangan periode 2001-2004 itu.

Mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional ini menambahkan sempat mengadakan rapat lanjutan di tingkat KKSK yang juga dihadiri oleh BPPN.

Jaksa berpendapat, pada rapat itu, Syafruddin tetap ingin melaksanakan penghapusbukuan utang. Lalu Syafruddin mengklaim bahwa tindakannya telah disepakati dalam persetujuan rapat di Istana Negara.

Menurut penuturan jaksa, Pada 13 Februari 2004, Ketua KKSK Dorojatun Kuntjorojakti menyetujui usulan Syafruddin sehingga piutang BDNI kepada petambak diperlakukan seperti aset kredit serta penagihan utang kepada Sjamsul menjadi tidak berlaku.

Kemudian, 26 April 2004, Syafruddin menandatangani surat No. SKL-22/PKSP-BPPN/0404 ihwal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. Syafruddin menganggap Sjamsul telah memenuhi seluruh kewajiban utangnya.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Yandri Daniel Damaledo