Menuju konten utama

Blunder Jokowi dan Efeknya untuk Elektabilitas di Pilpres 2019

Jokowi lakukan sejumlah blunder selama memimpin. Sedikit atau banyak, blunder itu berpengaruh pada tingkat kedipilihannya pada Pilpres 2019.

Blunder Jokowi dan Efeknya untuk Elektabilitas di Pilpres 2019
Calon Presiden Joko Widodo (kanan) dan Prabowo Subianto (kiri) berjabat tangan usai pengundian nomor urut Pemilu Presiden 2019 di Jakarta, Jumat (21/9). Pasangan calon Presiden dan Wapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 01, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat nomor urut 02. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/18

tirto.id - Tren elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) dalam survei SMRC periode 7-14 September 2018 meningkat dari 57,2 persen pada bulan Mei menjadi 60,2 persen kiwari. Sebaliknya, pada periode yang sama tren elektabilitas Prabowo Subianto menurun dari 32,2 persen jadi 28,7 persen.

Menurut Direktur Riset SMRC Djayadi Hanan dalam pemaparan survei tersebut Ahad kemarin (7/10/2018), Jokowi berpeluang menang dan jadi presiden lagi jika tren tersebut terus stabil hingga tahun depan.

Indikasi itu, menurutnya, berkaca pada tren elektabilitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang selalu stabil dan tidak pernah tersusul Megawati pada Pilpres 2009. Begitu juga tren Jokowi yang tidak pernah tersusul Prabowo pada Pilpres 2014, meskipun persaingan berlangsung ketat.

Namun, Djayadi memberi catatan, tren elektabilitas (kedipilihan) yang positif itu sangat mungkin tersusul jika Jokowi melakukan blunder pada hal-hal fundamental, seperti ekonomi, politik, hukum, dan keamanan. Sebab, menurutnya, massa Jokowi masih berpeluang ditarik dan mengalihkan dukungannya.

Blunder-Blunder Jokowi

Hal yang bisa dianggap sebagai blunder Jokowi selama memimpin, menurut Direktur Eksekutif Populi Centre, Usep S Ahyar, di antaranya adalah pembubaran HTI, pelarangan gerakan #2019GantiPresiden di sejumlah daerah, kasus Rizieq Shihab, dan lambatnya penanganan kasus Novel Baswedan.

Usep menyebut pembubaran HTI pada 2017 telah membuat Jokowi dianggap tidak pro-kebebasan berserikat, padahal dalam iklim demokrasi seluruh aliran mestilah dilindungi keberadaannya. Untuk kasus pelarangan #2019GantiPresiden, Rizieq, dan penanganan kasus Novel, kata Usep, Jokowi dapat rapor buruk dalam penegakan hukum.

"Setidaknya di kalangan umat Islam dan aktivis HAM," kata Usep kepada Tirto, Senin (8/10/2018).

Blunder-blunder tersebut, kata Usep, tidak akan menggerus suara pemilih loyal Jokowi, melainkan pemilih yang masih belum menentukan pilihan atau lazim disebut swing voters.

"Biasanya mereka itu yang rasional dan penuh pertimbangan, kalau yang loyal benar salah juga akan tetap didukung," kata Usep.

Berbeda dengan Usep, peneliti dari SMRC Sirojudin Abbas menilai hal-hal di atas tidak bisa dikatakan blunder yang dapat menggerus elektabilitas (kedipilihan) Jokowi. Menurut Sirojuddin, hal-hal di atas merupakan bagian dari kebijakan yang masih bisa dijelaskan dasarnya.

"Blunder bisa punya efek negatif jika lebih substantif dan berasosiasi langsung dengan yang bersangkutan," kata Sirojudin kepada Tirto.

Sirojudin mencontohkan apa yang ia maksud dengan kecerobohan substantif. Misalnya jika Jokowi atau Ma'ruf Amin mengeluarkan pernyataan yang menyinggung kelompok tertentu dan tidak disertai data empirik. Atau, mereka terbukti melakukan sesuatu yang melanggar norma dan susila.

"Jadi, kalau seperti pembubaran HTI begitu, asal bisa dijelaskan ke masyarakat dengan baik alasannya, saya pikir tak akan berpengaruh," kata Sirojudin. "Misalnya kalau dijelaskan itu demi stabilitas nasional," imbuhnya.

Infografik Ci Siapa yang menang

Penjelasan Kubu Jokowi

Soal HTI, Direktur Relawan Jokowi-Ma'ruf Maman Imanulhaq menyatakan kebijakan itu diambil untuk menciptakan stabilitas nasional.

"Sudah menjadi tanggung jawab Pak Jokowi sebagai Presiden untuk menjaga stabilitas nasional. Apalagi dari organisasi yang anti-Pancasila," kata Maman kepada Tirto.

Lagipula, kata Maman, pembubaran HTI juga atas pertimbangan banyak kalangan, termasuk ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU.

"Semua bisa lihat kan sekarang efeknya, tidak ada itu kampanye anti-Pancasila dan NKRI lagi," klaim Maman.

Soal lain, menurut Maman, kebijakan tersebut juga diambil berdasarkan pertimbangan menciptakan stabilitas. "Kan tidak di semua daerah polisi membubarkan #2019GantiPresiden. Itu juga masyarakatnya kok yang memang tidak setuju. Kalau kami, ya silakan saja," jelasnya.

Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Ferry Juliantono menyatakan, pihaknya tak akan merancang strategi khusus untuk memanfaatkan blunder-blunder Jokowi itu.

"Biarkan saja. Wong masyarakat juga sudah tahu pemerintahan ini amburadul," kata Ferry kepada Tirto.

Sebaliknya, Ferry menyatakan, pihaknya akan tetap fokus kampanye dengan cara yang beradab, damai, dan tidak bertentangan dengan demokrasi.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino