Menuju konten utama

Blekingegade Group: Kelompok Komunis yang Merampok demi Palestina

Blekingegade Group punya dua tujuan: menghapus imperialisme Barat dari peta dunia dan memerdekakan Palestina.

Blekingegade Group: Kelompok Komunis yang Merampok demi Palestina
Blekingegade atau Bleking Street di Copenhagen, Denmark. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Pada 13 April 1989, ibukota Denmark, Kopenhagen dihebohkan oleh kabar penangkapan gerombolan kriminal. Peter Døllner, Niels Jørgensen, Torkil Lauesen, dan Jan Weimann telah lama dicari-cari aparat. Mereka diciduk akibat merampok uang senilai 13 juta krona dari truk transit di kantor pos Købmagergade enam bulan sebelumnya. Aksi perampokan itu menewaskan seorang petugas kepolisian.

Satu bulan setelahnya, polisi kembali menangkap pihak yang diduga kuat terlibat: Carsten Nielsen. Ia dicokok usai mengalami sebuah kecelakaan di Kopenhagen. Penangkapan itu akhirnya menyebabkan terkuaknya markas para perampok yang terletak di salah satu apartemen di Blekingegade, tak jauh dari pusat kota. Di apartemen, polisi menemukan barang-barang seperti radio, transmisi, topeng, janggut palsu, seragam polisi, setumpuk dokumen, senjata api, hingga bahan peledak.

Sepak terjang Peter Døllner dan konco-konco di Denmark sudah jadi legenda. Berkali-kali kelompok ini mencuri uang dari bank dan selalu lolos. Dinas intelijen Denmark, Politiets Efterretningstjeneste (PET) dan kepolisian dibuat kalang kabut.

Penangkapan itu sekaligus menandai akhir perjalanan mereka selama kurang lebih dua dekade. Dikenal dengan nama Blekingegade Group, kawanan perampok ini berafiliasi dengan sebuah partai komunis. Aksi perampokan yang mereka lakukan pun didorong oleh motif yang sangat ideologis: mendukung kerja-kerja pembebasan Palestina.

Bermula dari Partai

Untuk melihat kisah Blekingegade Group kita harus mundur ke 1963. Cerita bermula saat Gotfred Appel, seorang sejarawan, dikeluarkan dari Partai Komunis Denmark (DKP) sebab dianggap terlalu condong ke Maoisme. Pada masa itu, DKP cenderung berkiblat ke komunis Moskow, yang tak akur dengan Beijing. Kedua mercusuar komunis itu sedang panas-panasnya memperebutkan kepemimpinan gerakan komunis global.

Tak lama berselang, seperti dituturkan Gabriel Kuhn dalam Turning Money into Rebellion: The Unlikely Story of Denmark's Revolutionary Bank Robbers (2014), Appel mendirikan kelompok politik Maois pertama di Eropa, Kommunistisk Arbejdskreds (Lingkar Pekerja Komunis, atau biasa dikenal sebagai KAK). Karena KAK adalah mitra Partai Komunis China (CPC), Appel kerap melakukan perjalanan ke Beijing.

Waktu itu Appel mengembangkan gagasannya dalam wujud snylterstatsteori (teori negara parasit). Teori tersebut kira-kira menyatakan bahwa kelas pekerja dari negara imperialis (atau Barat) telah jadi sekutu kelas penguasa karena hak-hak istimewa yang mereka dapatkan dalam konteks mata rantai kapitalisme global. Meski tak unik pada zamannya, teori ini menyimpang dari garis partai-partai komunis arus utama dunia yang menekankan prinsip internasionalisme.

Para pekerja itu, catat Appel, justru lebih dekat dengan kelompok kapitalis Barat dibanding masyarakat Dunia Ketiga (negara berkembang) yang dieksploitasi dan ditindas. Walhasil, dalam benak Appel, para pekerja ini tidak lagi bisa diharapkan jadi agen revolusi. Satu-satunya kekuatan yang mampu mengancam kapitalisme global adalah massa-rakyat Dunia Ketiga yang dijajah. Apabila perjuangan mereka berhasil, kapitalisme global bakal sempoyongan dan kelas pekerja Barat pun kembali ke jalur revolusi.

Gagasan tersebut lantas jadi landasan kerja-kerja Appel dan KAK. Pada 1965, misalnya, KAK mengorganisir aksi memprotes agresi AS ke Vietnam. Demo itu seolah-olah membenarkan argumentasi Appel: para pekerja tak tampak di barisan protes meski mobilisasi di pabrik-pabrik besar di Kopenhagen telah digalakkan.

Menjelang akhir 1960an, KAK membentuk organisasi pemuda, Kommunistisk Ungdomsforbund (Liga Pemuda Komunis, KUF). Melalui organisasi ini, KAK gencar melakukan propaganda melalui jurnal Ungkommunisten (Komunis Muda), dan juga mendirikan Anti-imperialistisk Aktionskomité (Komite Aksi Anti-imperialis) guna menarik simpati kaum terjajah. Di KUF pula, anggota Blekingegade Group seperti Peter Døllner, Jan Weimann, Holger Jensen, Niels Jørgensen, dan Torkil Lauesen menimpa diri.

Hubungan KAK dan Cina berakhir pada 1969. Pemicunya: Beijing dianggap terlampau sering memuji gerakan protes di seluruh Eropa yang meledak sejak 1968. Appel, yang senantiasa memegang teguh argumennya bahwa kelas pekerja Eropa tak lebih dari sekutu kelas penguasa, merasa Cina kelewat antusias menyambut partisipasi kelas pekerja dalam protes-protes tersebut.

Sepanjang 1968, mahasiswa dan buruh di seluruh Eropa memang turun ke jalan untuk menolak perang, kapitalisme, konservatisme, patriarki, serta mengecam rasisme terhadap pekerja imigran. Di Perancis, pemerintahan de Gaulle sempat lumpuh dan terpaksa mengungsi ke Jerman Barat. Di Jerman Barat, protes anti-Perang Vietnam beriringan dengan kecaman atas keberadaan pangkalan militer AS di Berlin. Di Ceko yang berada di bawah kendali Soviet, buruh, mahasiswa, dan intelektual menuntut "Sosialisme berwajah manusia."

Namun, di beberapa tempat, isu-isu yang diusung sangat lokal. Sebagaimana ditulis Thomas Jorgensen dalam “1968 and the Decline of Third World Solidarity” (2009, PDF), pada 1969-1970 Swedia dan Denmark dihajar pemogokan besar-besaran yang menuntut pemerintah pusat memberikan pelayanan sosial yang lebih baik untuk kaum pekerja.

Dinamika yang terjadi di Eropa tak membuat KAK mengubah haluan kerja politiknya. Mereka tetap mengusung semangat anti-imperialis dan terpenting membangun jejaring bersama gerakan-gerakan pembebasan Dunia Ketiga.

Mulai Militan

Awal 1970, Appel pergi ke Yordania untuk menemui perwakilan Front Kerakyatan untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Pertemuan itu membuka kerjasama yang lebih jauh antara KAK dengan FPLP. Kedua organisasi ini kerap melakukan program pertukaran anggota untuk mempelajari kondisi politik maupun ekonomi negeri masing-masing.

PFLP didirikan oleh George Habash usai pendudukan Tepi Barat oleh Israel pada 1967. Mereka menggabungkan nasionalisme Arab yang anti-imperialis dengan ideologi Marxis-Leninis. PFLP bertujuan untuk memerdekakan Palestina seraya menyingkirkan kapitalisme ala Barat di Timur Tengah.

Selama 1970an, PFLP membina hubungan dengan kelompok militan di seluruh dunia, mulai dari Kelompok Baader-Meinhof (Jerman) hingga Tentara Merah Jepang. Kerjasama organ-organ kiri global itu meliputi pendanaan, pelatihan, hingga penyediaan senjata. Salah satu aksi mereka yang mengguncang dunia adalah pembajakan atas pesawat Air France pada 1976.

Selain dengan PFLP, KAK juga menggandeng kerjasama dengan gerakan pembebasan di Afrika seperti FRELIMO (Front Pembebasan Mozambik), ZANU (Zimbabwe), hingga MPLA (Angola). Bahkan, KAK turut membuat proyek Tøj til Afrika (Sandang untuk Afrika) pada 1972 yang bertujuan mengumpulkan pakaian, tenda, obat-obatan, dan uang untuk masyarakat Afrika.

Medio 1970an juga menandai perubahan kerja KAK. Mereka, catat Kuhn, mulai menempuh jalur ilegal guna membantu kelompok-kelompok pembebasan di Palestina dan Afrika. Jalur ilegal itu salah satunya ditempuh dengan aksi-aksi perampokan dan pencurian. Dalam pandangan KAK, “memberikan dukungan materiil untuk gerakan pembebasan Dunia Ketiga adalah cara paling efektif untuk mendukung revolusi dunia.”

Praktik ilegal tersebut nyatanya hanya diketahui segelintir anggota KAK. Bahkan, ketua KAK, Appel, mengaku tak pernah mengetahui aksi-aksi ilegal yang dilaksanakan beberapa anggotanya. Nantinya, metode ini menjadi cikal bakal kemunculan Blekingegade Group.

Di antara aksi-aksi kejahatan yang mereka lakukan adalah pencurian senjata di depot Angkatan Darat Denmark pada 1972, perampokan uang 500 ribu krona dari sebuah truk pada 1975, hingga perampokan kantor pos pada 1976 yang berhasil menggasak uang senilai 550 ribu krona.

Infografik Blekingegade Group

Berbagai tindak kriminal itu dilakukan dengan profesional dan tanpa jejak. Mereka merencanakan setiap aksi dengan matang; menggunakan identitas palsu, menghindari jatuhnya korban, hingga memperhatikan betul ketepatan waktu.

Kendati demikian, aksi mereka sempat terhenti pada 1977 ketika KAK pecah menjadi tiga fraksi. Penyebabnya banyak: dari tuduhan bahwa KAK terlalu didominasi laki-laki dan mengerdilkan peran perempuan maupun ketergantungan KAK pada Appel untuk pengambilan keputusan.

Tiga fraksi pecahan KAK adalah KAK itu sendiri, Marxistisk Arbejdsgruppe (Kelompok Pekerja Marxis), dan Kommunistisk Arbejdsgruppe (Kelompok Pekerja Komunis) yang kelak menjelma Manifest - Kommunistisk Arbejdsgruppe (M-KA).

Walaupun pecah kongsi, aksi ilegal kembali mereka lakukan dalam panji M-KA. Berbeda dengan KAK yang hanya mengandalkan satu pemimpin saja, M-KA bergerak secara kolektif. Pentolannya adalah anggota lama KAK seperti Peter Døllner, Holger Jensen, Niels Jørgensen, Torkil Lauesen, dan Jan Weimann. Tujuan mereka tetap sama: mendukung gerakan pembebasan Dunia Ketiga.

Aksi perdana mereka dimulai pada November 1982, yakni ketika M-KA merampok depot senjata Angkatan Bersenjata Swedia di Flen, 100 km sebelah barat Stockholm. Mereka sukses menggondol bahan peledak, ranjau, dan puluhan rudal untuk diberikan ke PFLP yang kekurangan stok persenjataan.

Lima tahun berikutnya, masih mengutip Kuhn dalam Turning Money into Rebellion, mereka merampok kantor pos dan mengambil uang tunai sebesar 768 ribu krona. Pada 1983, Blekingegade Group merampok 8,3 juta krona (tiga minggu kemudian sepasang warga Palestina ditangkap di Bandara Charles de Gaulle dengan 6 juta krona di dalam tas).

Dua tahun setelahnya, 1,5 juta krona berhasil dicuri dari kantor pos dan 5,5 juta krona berhasil disikat dari pusat perbelanjaan Daells di Kopenhagen pada 1986. Mereka juga sempat merencanakan untuk menculik Jörn Rausing, ahli waris salah satu keluarga bisnis terkaya Swedia. Namun, hingga Blekingegade Group bubar, rencana tersebut tak kunjung dieksekusi.

Aksi-aksi itu terpaksa berhenti pada 1987, ketika polisi menangkap Blekingegade Group usai merampok di Købmagergade. Tak lama kemudian, markas mereka yang menyimpan seluruh perkakas pendukung aksi, juga ditemukan polisi. Oleh pengadilan, tiap personel Blekingegade Group dijatuhi hukuman minimal delapan tahun penjara.

Pada akhirnya, aksi-aksi Blekingegade Group dilatarbelakangi oleh solidaritas terhadap negara-negara yang dijajah dan menderita di bawah imperialisme—dan kapitalisme.

“Mengungkapkan atau mengutarakan solidaritas itu bagus. Tapi, jika solidaritas itu tak pernah diterjemahkan jadi sesuatu yang konkret, kekuatannya terbatas. Bagi kami, ekspresi solidaritas hanyalah langkah pertama. Yang paling menentukan dukungan nyata,” tegas Holger Jansen, salah satu anggota Blekingegade Group dalam wawancaranya dengan Kuhn di Turning Money into Rebellion.

Baca juga artikel terkait PALESTINA atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf