Menuju konten utama

Black Flag dan Edukasi Instan Hardcore Los Angeles

Anak hardcore sejagad raya pasti selalu terbelah kalau sudah membicarakan Black Flag.

Black Flag dan Edukasi Instan Hardcore Los Angeles
Black Flag Band. ANTARA/www.blackflagband.com

tirto.id - Anak hardcore sejagad raya pasti selalu terbelah kalau sudah membicarakan Black Flag. Masing-masing dari mereka punya era favorit, siapa vokalis terbaik atau album mana yang paling berisik. Salah satu opini terbaik soal itu keluar dari mulut Steve Olson, legenda skateboarder seangkatan Duane Peters dan Tony Alva yang turut memperkenalkan punk rock masuk ke scene skate.

“Black Flag sudah mati sejak Keith (Morris) cabut mendirikan Circle Jerks. Bodo amat pendapat kalian. Greg, siapa pun nama belakangnya, ialah seorang bajingan,” serunya.

Bagi semua orang yang mengenalnya pasti tak sudi menyangkal: Greg Ginn memang menyebalkan, dia akan ‘menyodomi’ siapa saja orang yang bisa dipakainya. Survey fanzine Chunklet edisi 15 menyebutnya sebagai ‘si lapar ketenaran pemilik SST Records’ dan menyertakannya ke dalam ‘100 Biggest Assholes in Rock’, bersanding dengan band grunge ngaco Butthole Surfers, junkie stres Courtney Love, dan sesepuh surf rock Dick Dale. Sebuah surga ironi yang menyenangkan sebenarnya, karena tanpa Ginn tidak akan pernah ada band bernama Black Flag.

Lagipula bukankah punk rock memang dilahirkan oleh orang-orang tengik seperti Ginn—dan sengaja diciptakan arogan untuk membuat kalian dongkol? Cek kelakuan Johnny Ramone atau Malcolm Mclaren atau New York Dolls. Betapa menjengkelkan kelakuan mereka terberak-berak membela ego personal. Itulah alasan kenapa kita masih percaya kredo bahwa dunia dapat disungkurkan lewat iman kepala batu. Tidak ada waktu melembek.

Awal Mula Panji Hitam

Pada suatu siang di tahun 1976, dua remaja sembilan-belasan tengah ‘membajak’ Rubicon, sebuah toko rekaman di kawasan Pier Avenue, Hermosa Beach, kota pantai di teluk selatan Los Angeles yang gosong. Keith Morris sedang menjalankan shift paruh waktunya di sana ketika Ginn masuk dan terpukau dengan selera yang terpasung. Ted Nugent, Black Sabbath, MC5, Iggy Stooges, AC/DC Cheap Trick, Blue Oyster Cult, Black Oak Arkansas, ZZ Top, Aerosmith era Rocks. Morris menyetelnya dalam volume mentok.

Ginn yang gregetan lantas mengenalkan diri. Beberapa minggu kemudian keduanya sudah janjian pergi nonton konser Thin Lizzy. Di saat itulah Ginn menyatakan kalau ia bermain gitar dan ingin menunjukkan beberapa lagu ciptaannya. Bisa dibilang latihan pertama "Black Flag" terjadi pada malam seusai konser Thin Lizzy itu, di kamar Ginn, berdua dengan Morris yang diminta menyanyikan lirik-lirik buatan Ginn.

Tapi tidak ada punk rock sebelum konser Ramones di Whisky A Go Go medio ’76. Ginn—seorang penggila Grateful Dead— dan Morris—seorang angry stoner— berkerumun di antara 400 orang lainnya dan merasa terhunus untuk pertama kali. Three chords and bad attitude, hanya dua hal itu yang dibutuhkan, pikir mereka.

“Kita tidak perlu belajar segala tetek bengek tentang gitar klasik supaya dapat memainkan rock, mainkan saja sesuatu yang berasal dari hatimu daripada mementingkan omong kosong teknikal ekspertis,” kata Ginn kepada podcaster Eric Blair di 2003.

And yes,” sahut Morris melengkapi di lain waktu, kala diwawancarai blog Janky Smooth, “we need to make noise.”

Awalnya grup mereka bernama Panic. Tapi cepat diganti setelah menemukan plat 7” milik sebuah band Prancis dengan nama sama. Raymond Pettibon—adik kandung Ginn—mengusulkan nama Black Flag. Diambil dari merek pembasmi serangga kawakan di Amerika, sekaligus dimaksudkan sebagai penghormatan kepada Black Sabbath, band favorit-influens terbesar Ginn. Black Flag (juga) berarti anarki, cetus Ginn di dokumenter The Decline of Western Civilization (1981).

Pettibon kemudian menciptakan logo batang tersohor yang menetakkan reputasi tersebut; mereka liar, berisik, keos, bermulut sengit, volatil, dan marah tolak menghamba pada tuan. Empat batang monolit hitam yang punya hakikat sepaten Merah Soviet atau Toltek Neubauten atau Tengkorak Misfits. Oposisi dari simbol ‘bendera putih’ yang berarti menyerah.

“Utamanya, apa yang Raymond Pettibon bikin mempresentasikan psychedelic violence,” ucap Ginn.

Soal Pettibon, Ginn benar-benar keterlaluan, dia belum pernah membayar sepeser pun royalti atas semua ilustrasi brilian-anti otoritarian yang dipakai Black Flag selama ini. Sampai 2023 hari ini, 36 tahun paska bubar dan sudah tiga kali reuni, comic trip Pettibon selalu menyertai ambiguitas, humor kasar, keresahan yang menopang orisinalitas musik Ginn.

Pettibon mengubah bagaimana cara punk rock dipandang secara absurd, lancang seperti gambar biarawati gantung diri atau pelacur lepra menggugat Yesus. Kurang lebih 500 potong ilustrasi telah ia berikan khusus untuk Black Flag. Kejeniusan yang cuma dihargai tarif pro bono. Bangsat, memang, tega anjing seorang kakak memerkosa adik sendiri.

“Dengar, jangan kira saya bicara seperti orang yang sedang sakit hati, memendam dendam. Mengerti, kan? Saya bisa saja mempublikasikan hal ini, (tapi) saya tidak pernah mengangkatnya. Jika saja kalian memonetisasi semua yang saya gambar buat mereka, kalian pasti menghasilkan jutaan dollar. Mengerti, kan?” sindir Pettibon di situs ‘hardcore, metal & everything in between’ No Echo.

Ginn membutuhkan Pettibon karena tidak ada yang mau mengundang Black Flag main di seantero L.A. sehingga ia terpaksa mesti membuat poster panggungnya sendiri. Pettibon bersedia melakukannya karena ia fans Black Flag. Formasinya di tahun 1978 semakin mengerucut: Ginn, Morris, lalu setelah melalui percobaan tiga bassis—termasuk Pettibon pernah jadi temporer—merapatlah Chuck Dukowski dan Brian Migdol, dramer prog rock yang kesasar main punk. Mulanya Black Flag tampil di tempat-tempat rikuh. Di acara lulusan sekolah, di pesta ulang tahun, di garasi rumah tetangga, di pentas seni supermarket.

Scene punk L.A. belum terbentuk saat itu, sudah ada band-band seperti Dickies atau Fear atau Germs atau Descendents tapi siapa peduli? Mereka bergerak sendiri-sendiri, main di panggung mana pun yang gampang digaet. Bayangkan empat anak teriak-teriak, melotot-lotot pengen nyekek orang, bernyanyi lagu frustrasi tentang ditendang keluar dari sekolah dan teler-teleran di got bekas cebokan American Dream. Ginn sibuk memutar otak biar bandnya dapat terus celah manggung, bahkan untuk satu-dua cheap trick, cukup perlu ia lakukan.

Suatu hari Black Flag punya jadwal main di Polliwog Park, sebuah taman danau di Manhattan Beach. Sore itu angin pantai merujuk asri dipayungi sinar matari hangat kibar pepohonan metro L.A., dengan anak-anak kecil tersandung berlarian dan para orang tua mereka tertawa gemas membingkai potret piknik akhir pekan yang sempurna milik sebuah keluarga bahagia Amerika, ketika anjing-anjing mister rumput saling berkencan diam-diam.

“...Tempat itu konyol,” cetus Morris tiba-tiba timbul dari tawon mikrofon Eric Blair di 2003. “Anak-anak kecil itu berhamburan seperti evakuasi kota Tokyo, ketika Godzilla bertarung versus Mothra!”

“Greg Ginn telah menipu manajer taman itu habis-habisan. Big band orkestra jazz Angkatan Udara yang seharusnya tampil di acara itu batal main karena semua anggotanya terserang flu. Ginn berhasil meyakinkan manajernya kalau Black Flag adalah sebuah band jazz yang mengkover lagu-lagu Fleetwood Mac,” lanjut Morris.

Infografik Black Flag

Infografik Black Flag. tirto.id/Ecun

"Baru sekitar 60 detik lagu pembuka dimainkan, sang manajer geleng-geleng kepala tak percaya menyaksikan kehancuran yang terjadi, keluarga-keluarga bahagia itu melemparkan sisa-sisa isi piring ke arah panggung, semangka, tulang-tulang ayam Kentucky Fried Chicken, makanan anjing, kulit pisang. Bombardir hujan sampah."

Chuck sempat tersambit sepotong sandwich yang masih utuh mendarat di kakinya, lalu ia pungut dan mengunyahnya sambil main bass. Mereka benci Black Flag. Manajer taman itu bilang setengah panik kalau di sana ada banyak keluarga dan anak kecil. Maka teriakannya wajar: no four letter word.

"Saya tidak mengerti apa maksudnya, karena itu bisa saja meth atau love atau hate, rant, atau cash," kata Morris pura-pura bodoh.

Mungkin itulah asal mula dari kebiasaan rusuh main lempar-lemparan benda sialan di konser-konser Black Flag kemudian hari. Psychedelic Violence, kalau menuruti istilah Ginn tadi, ya memang begitulah adanya.

Keith Morris sesuai adatnya adalah sumbu mercon. Ia bermulut besar, seorang raja hiperbolis yang cerewet tak mau stop bicara. Ocehannya pahit seperti Johnny Rotten, tapi juga jenaka layak abang-abangan pesulap. Bakat sinisnya meminta kita untuk menggunting lidahnya, yang saking pedasnya justru membuat kita terhibur dan memilih mempercayai semua yang disemburnya. Tapi karena ia stoner ia kool. Ia vokalis hardcore punk paling kool sepanjang masa.

Sampai hari ini masih mengenakan kaus Listen To The Germs ke mana-mana, punya gimbal menyentuh lantai seperti skater tua, bawel mengocehi sebuah band baru bernama Icarus Line, yang disebutnya hasil entot Stooges dan Spacemen 3. Mondo bizzaro—kakinya tak bisa tenang efek basian cold turkeydon’t want nothing from no one. Alangkah menyenangkan bila kita bisa meluangkan waktu mengobrol dengannya. Mentraktir dua pint atau tiga di pinggir ramps.

“Band utama acara itu,” Morris melanjutkan cerita. “Eddie and the Subtitles, gagal tampil karena kisruh yang dibikin Black Flag. Band sebelum kami, The Tourist, anggotanya adalah Steven McDonald—30 tahun kemudian dia akan bergabung di OFF!—dan Jeffrey McDonald dan Greg Hetson yang membentuk Circle Jerks dan di kemudian hari masuk Bad Religion. Benih Circle Jerks yang sebenarnya ditabur melalui Black Flag.”

Baca juga artikel terkait BLACK FLAG atau tulisan lainnya dari Rio Tantomo

tirto.id - Musik
Kontributor: Rio Tantomo
Penulis: Rio Tantomo
Editor: Nuran Wibisono