Menuju konten utama

BKKBN: Angka Stunting di Enam Provinsi Meningkat selama 2022

Enam provinsi tersebut antara lain Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat, NTB, Sumatera Barat dan Kalimantan Timur.

BKKBN: Angka Stunting di Enam Provinsi Meningkat selama 2022
Anggota Ikatan Konselor Laktasi Klaten mengukur postur tinggi bocah dan memberikan sosialiasi pemberian gizi bayi untuk mencegah kegagalan tumbuh kembang anak (stunting) saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Klaten, Jawa Tengah, Minggu (22/4). ANTARA FOTO/Maulana Surya.

tirto.id - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan enam provinsi harus mewaspadai pembangunan kualitas keluarganya karena mengalami kenaikan angka prevalensi stunting pada tahun 2022.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyebut enam provinsi yang mengalami kenaikan angka stunting berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2022 adalah Sulawesi Barat dari 33,8 persen pada tahun 2021 naik menjadi 35 persen pada 2022, Papua dari 29,5 persen naik menjadi 34,6 persen, NTB dari 31,4 persen naik menjadi 32,7 persen, Papua Barat naik dari 26,2 persen menjadi 30 persen, Sumatera Barat naik dari 23,3 persen menjadi 25,2 persen, dan Kalimantan Timur naik dari 22,8 persen menjadi 23,9 persen.

"Angka tersebut masih melebihi rata-rata angka stunting nasional yang kini sudah 21,6 persen dan ditargetkan menjadi 14 persen pada tahun 2024 sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021," kata Hasto dalam Webinar Penguatan Kebijakan Pemeriksaan Kesehatan Catin dalam Implementasi Pencegahan Stunting yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (21/2/2023), seperti dilansir Antara.

Hasto meminta pemerintah daerah terkait agar tidak mengabaikan situasi tersebut, mengingat pada tahun 2035 pemerintah sudah menetapkan semua target yang dituangkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tercapai.

Jika semakin banyak anak stunting baru yang lahir, kata dia, dikhawatirkan pada tahun 2035 di mana penduduk Indonesia mulai memasuki transisi penuaan demografi, banyak anak muda yang harus menanggung beban lebih banyak.

"Dikhawatirkan Indonesia tidak bisa memetik bonus demografi yang berkualitas sehingga bisa berbahaya dalam pembangunan bangsa di masa depan," katanya.

“Rata-rata orang tua kita itu pendidikannya 8,3 tahun dan ini beban yang cukup serius. Kalau stunting, anak tidak bisa tumbuh optimal, kecerdasannya kurang bahkan mudah sakit diabetes, darah tinggi, stroke dan kencing manis begitu usia 40. Artinya, penduduk kita jadi tidak produktif,” ujar Hasto.

Pemerintah daerah dalam mengatasinya, menurut Hasto, perlu memperhatikan penyebab dari meningkatnya angka stunting di daerahnya. Misalnya, stunting yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis, kekurangan protein hewani, anak terkena penyakit berulang akibat tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap atau kondisi lingkungan dan sanitasi yang kotor.

Hasto mengatakan BKKBN dalam mengawal terciptanya keluarga yang berkualitas sudah membentuk Tim Pendamping Keluarga (TPK) untuk mengawal kesehatan keluarga yang berisiko stunting.

Di dalamnya, juga sudah dihadirkan Aplikasi Elsimil yang bermanfaat untuk mendata setiap kondisi kesehatan calon pengantin yang ingin menikah. Dengan demikian, segala bentuk anomali seperti calon ibu terkena anemia atau kekurangan gizi bisa diintervensi sebelum anak dilahirkan.

“Untuk menyiapkan sel telur berkualitas butuh 90 hari dan sperma 75 hari. Sebelum itu harus kita koreksi dengan baik, kita siapkan. Perempuannya minum tablet tambah darah, konsumsi asam folat dan vitamin D. Laki-lakinya mohon berhenti merokok atau berhenti minum alkohol dulu, kalau kita loyo (tidak saling bahu membahu) tidak bisa (mewujudkan Indonesia Unggul). Jadi, penyuluh dan kita semua harus kerja keras,” katanya.

Baca juga artikel terkait STUNTING

tirto.id - Kesehatan
Sumber: Antara
Editor: Restu Diantina Putri