Menuju konten utama
Obituari

BJ Habibie dan ICMI: Jembatan Soeharto Meraih Dukungan Umat Islam

Soeharto butuh orang untuk mendekati kalangan Muslim modernis perkotaan. Orang yang tepat? Siapa lagi kalau bukan Habibie.

BJ Habibie tertawa saat pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI tahun 2017 di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Jumat (8/12/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pras/ama.

tirto.id - Kabar duka baru saja menyelimuti tanah air. Presiden ke-3 Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia pada Rabu (11/9/2019) di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Habibie merupakan kombinasi unik yang lahir dari latar belakang sipil, akademik, dan kesalehan Islami. Sosoknya dicitrakan religius sekaligus genius. Sebagai birokrat dan teknokrat yang besar di era Orde Baru, ia dianggap tidak terikat dengan kepentingan politik manapun.

Ketika pulang dari Jerman ke Indonesia atas permintaan Soeharto pada 1974, Habibie dipandang sebagai sosok pemecah masalah terkait program-program pembangunan Orde Baru yang ambisius. Cita-cita Soeharto tentang "era tinggal landas"—sebuah masa ketika Indonesia dibayangkan telah maju dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi—bisa dimulai dengan kedatangan Habibie.

Habibie kemudian ditempatkan Soeharto sebagai Menteri Riset dan Teknologi sekaligus mengepalai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Lambat laun, setelah popularitasnya semakin menanjak dan namanya menjadi sinonim kegeniusan, Habibie juga berhasil menampilkan dirinya sebagai sosok yang saleh. Dia lah orang yang dianggap representasi paling absah dari perpaduan "iptek" (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan "imtak" (iman dan takwa)—dua jargon populer di masa jaya Orde Baru.

Citra perpaduan iptek-imtak itu pula yang membuat Habibie mudah diterima kalangan Muslim modernis perkotaan dan dekat dengan mereka. Paling tidak, Habibie bisa memperoleh dukungan politik dari golongan tersebut.

Soeharto Mulai Melirik Islam

Soeharto paham betul situasi itu. Di saat yang sama, pada awal 1990-an, Soeharto mulai melepaskan ketergantungannya dari, dan mulai tidak percaya kepada, kelompok militer. Bos Habibie dan bos kita semua pada zaman itu pun mulai melirik golongan yang selama ini ia abaikan: kaum Islam modernis perkotaan.

Merle Calvin Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013: 407) menyebut bahwa sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an, Orde Baru memang cenderung mencari dukungan dari kalangan Islam. Kecenderungan ini menghasilkan sejumlah konsesi, salah satunya memperkuat pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah.

Soeharto lalu menginisiasi berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai wadah para intelektual Muslim perkotaan. Orang yang paling tepat untuk mengawal lembaga ini? Siapa lagi kalau bukan Habibie.

Sebenarnya Habibie agak keberatan ketika diminta memimpin ICMI. Pada 1990 ia didekati sekelompok mahasiswa dan cendekiawan Malang yang memintanya menjadi nakhoda ICMI. Sayang, Habibie berulang kali mengelak.

“Saya bukan Kyai, bukan pula manusia ahli agama. […] Tetapi saya sadari bahwa di belakang ilmu pengetahuan, manusia harus mempunyai iman,” kata Habibie dalam diskusi dengan para kiai dan tokoh-tokoh Islam yang dipimpin Ketua MUI K.H. Hasan Basri, seperti dikutip A. Makmur Makka dalam The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan (2008: 148-149).

Meskipun sempat dikabarkan ragu menerima maksud baik para mahasiswa, izin dari Soeharto atas pembentukan ICMI meluruskan jalan Habibie ke kursi ketua umum. Tidak kurang dari 49 cendekiawan muslim se-Jawa berhasil membulatkan suara dukungan terhadap pengangkatan Habibie sebagai sebagai Ketum ICMI. Surat tersebut kemudian disetujui Soeharto pada Januari 1991.

Menurut A. Makmur Makka, pencalonan Habibie sebagai ketua umum oleh beberapa cendekiawan Muslim Malang didasarkan pada beberapa hal. Pertama, prestasi dan komitmen Habibie sebagai cendekiawan Muslim sudah tidak diragukan lagi. Kedua, nama baiknya di bidang politik dan akademik sudah dikenal masyarakat luas (hlm. 145).

Infografik ICMI Orba

Infografik ICMI Orba

Membesarkan ICMI

Sementara itu, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008: 668), Merle Calvin Ricklefs menyatakan bahwa ICMI selama berada di bawah pimpinan Habibie telah berhasil mengubah konteks politik dan religius di Indonesia. Selama hampir satu dekade, ICMI secara gemilang sukses memulihkan hubungan antara negara dengan Islam modernis di bidang ilmu pengetahuan.

Menurut pewartaan Kompas (27/8/1991), ICMI di bawah Habibie memiliki misi melebur iptek ke dalam agama. Ini ditunjukkan dengan usaha meningkatkan kualitas umat Islam berlandaskan ilmu pengetahuan. Saat itu ICMI menyalurkan ribuan buku ilmu pengetahuan, manajemen, dan literatur ke pesantren-pesantren.

Habibie pun mengakuinya di hadapan para kiai dan tokoh-tokoh Islam bahwa dirinya bukan orang yang tepat untuk membina pesantren-pesantren agar menjuarai MTQ tingkat nasional dan internasional. Sebaliknya, ia bersedia “memimpin cedekiawan muslim se-Indonesia untuk membina umat menjadi lebih pintar dan mandiri menguasai IPTEK, sehingga bisa menentukan nasib dan masa depannya sendiri.”

Ricklefs tak lupa mencatat, di bawah kepemimpinan Habibie, keanggotaan ICMI naik tajam menjadi 11.000 orang hanya dalam kurun waktu dua tahun. Sekitar Maret 1993, anggotanya melompat menjadi 40.000 orang. Setidaknya hampir sebagian besar intelektual Islam terkemuka di Jakarta menggabungkan diri dengan ICMI.

Dalam konteks inilah Habibie benar-benar berperan menjadi jembatan antara Soeharto dengan kaum Muslim modernis. Setelah itu Soeharto makin percaya diri meninggalkan kelompok militer hingga ia jatuh dari kursi kekuasaan pada 21 Mei 1998.

Baca juga artikel terkait BJ HABIBIE MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Politik
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan