Menuju konten utama

Bitcoin, Emas Digital yang Tidak Ramah Lingkungan

Meroketnya harga Bitcoin diklaim meningkatkan jumlah konsumsi energi listrik global yang berasal dari bahan bakar fosil.

Bitcoin, Emas Digital yang Tidak Ramah Lingkungan
Suasana Ducatus Cafe, cafe pertama non tunai yang menerima 'cryptocurrency' seperti Bitcoin, di hari pembukaan di Singapura, Kamis (21/12/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Edgar Su

tirto.id - Meroketnya harga Bitcoin dan statusnya sebagai emas digital telah menjadi topik utama yang diperbincangkan sepanjang tahun 2017. Pada awal tahun 2018, optimisme pasar mengenai mata uang digital ini masih berlanjut meski tak sekuat bulan sebelumnya. Optimisme itu membuat harga Bitcoin bertahan di atas 13.000 dolar AS. Di saat yang sama, kewaspadaan mengenai Bitcoin sebagai sebuah aset investasi juga terus disuarakan oleh pemerintah, ekonom dan bank sentral di beberapa negara.

Di tengah hiruk pikuk ini, Alex de Vries (28 tahun), konsultan dari PwC dan pendiri situs Digiconomist (sebuah situs analisis Bitcoin), melakukan perhitungan yang menyoalkan dampak lingkungan dari aktivitas penambangan dan transaksi Bitcoin sebagai mata uang digital. Alex melakukan estimasi penggunaan energi listrik Bitcoin dengan melihat penghasilan dari para penambang Bitcoin kemudian melihat pengeluaran mereka dalam pembayaran listrik.

Saat ini, perhitungan Digiconomist mengklaim aktivitas penambangan global Bitcoin menghabiskan 36,63 Terawatt-jam (TWh) energi listrik pada 31 Desember 2017. Pada tanggal yang sama, penggunaan listrik Bitcoin mendekati angka konsumsi listrik Bulgaria. Menurut estimasi ini juga, setiap transaksi Bitcoin menghasilkan 146,97 kg karbon dioksida.

Baca juga: Bitcoin: Emas atau Batu Akik Digital?

Relasi antara Bitcoin dan emisi karbon dioksida yang buruk untuk lingkungan dibentuk karena pemanfaatan energi dari pembangkit listrik batu bara oleh fasilitas penambangan (produksi Bitcoin melalui tenaga komputasi) Bitcoin. Menurut studi oleh Hilman dan Rauch (2017) dari University of Cambridge, 58 persen fasilitas penambangan Bitcoin berlokasi di Cina. Negara yang konsumsi energinya masih didominasi oleh tenaga pembangkit listrik batu bara yang murah, tetapi buruk untuk lingkungan mengingat jumlah emisi karbon dioksidanya yang besar. Dalam satu jam, 1 kilogram CO2 dapat diproduksi oleh pembangkit listrik tenaga batu bara.

Dalam penelitian yang sama ditemukan bahwa penambangan mata uang digital di Cina mengkonsumsi paling banyak energi listrik jika dibandingkan negara lain untuk mencapai 111 Megawatt. Provinsi Sichuan bahkan sudah menjalin kerja sama dengan pembangkit listrik tenaga air untuk memberikan biaya listrik yang murah.

Tak hanya penambangan, dari segi transaksi Bitcoin juga diklaim tidak efisien dalam konsumsi energi jika dibandingkan dengan metode transaksi lain seperti Visa atau Ethereum (mata uang digital jenis lain). Bitcoin diestimasikan mengkonsumsi sebanyak 200 kilowatt-jam energi listrik per transaksi dibandingkan dengan Visa yang hanya menggunakan 0,1 kWh dan Ethereum yang membutuhkan 37 kWh. Sebagai konteks, menurut estimasi dari Teunis Brosens, seorang ekonom dari ING Think, 200 kWh merupakan konsumsi energi listrik selama empat minggu di Belanda dengan rata-rata penggunaan 45 kWh per minggu.

infografik dampak lingkungan bitcoin

Mengapa Bitcoin Begitu Boros Listrik?

Secara sederhana, salah satu cara untuk mendapatkan Bitcoin adalah dengan melakukan penambangan yaitu memecahkan kode persamaan hash—jika berhasil menjadi yang pertama memberikan solusi persamaan ini melalui perangkat komputer ia akan mendapatkan imbalan berupa block dari Bitcoin. Saat ini, Bitcoin baru diproduksi 10 menit sekali oleh sistem komputerisasinya.

Ketika melakukan penambangan ini, dibutuhkan sistem komputer dengan kemampuan prosesor yang tinggi yang berarti membutuhkan konsumsi energi yang juga tinggi. Saat ini, para penambang harus menggunakan mesin khusus bernama Application Specific Integrated Circuit (ASIC). Selain itu, mengingat sistem penambangan Bitcoin yang menguntungkan buat mereka yang tercepat para penambang Bitcoin juga bersaing satu sama lain untuk menambah kemampuan komputer yang mereka miliki.

Baca Juga: Meroketnya Bitcoin, Untungnya Nvidia

Budi Rahardjo, Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB yang sedang meneliti teknologi mata uang digital dan teknologi blockchain, menjelaskan para penambang Bitcoin memang menggunakan CPU secara intensif dalam proses penambangan. “Memverifikasi transaksi, yang menggunakan miners, biasanya disebut proof-of-work, seseorang harus bekerja keras untuk mendapatkan hasil yaitu menghitung persamaan hash sehingga menghasilkan nilai tertentu,” kata Budi ketika dihubungi Tirto via sambungan telepon (02/01/18).

Budi juga menerangkan penggunaan teknologi komputasi yang canggih juga diperlukan mengingat jumlah Bitcoin bukan mata uang digital muda dan peredaraannya sudah bertambah banyak mengingat euforia mengenai nilainya. Untuk itu, proses perhitungan persamaan hash juga semakin rumit yang akhirnya juga membutuhkan tenaga komputerisasi yang tak main-main.

Akan tetapi, ia juga menjelaskan tak semua teknologi blockchain (teknologi yang menjadi basis Bitcoin) memerlukan proses komputasi yang intensif. Misalnya, ada proses verifikasi transaksi lain bernama proof-of-stake dalam teknologi blockchain yang tidak perlu berebut melainkan telah ditunjuk oleh sistem dan dilakukan secara bergantian. Prosedur verifikasi ini jauh lebih efektif secara energi listrik karena tak perlu berlomba-lomba memecahkan persamaan matematika.

Dalam studi Hilman dan Rauch (2017) yang sama, diterangkan bahwa penggunaan komputer super canggih yang membutuhkan tenaga listrik yang besar diperlukan untuk menjaga keamanan transaksi Bitcoin sebagai mata uang digital yang terdesentralisasi di luar aturan bank. Untuk itu prosedur penambangan berbasis persamaan matematika yang rumit menjaga sistem Bitcoin dari para peretas.

Perhitungan Alex de Vries terhadap konsumsi energi Bitcoin telah juga dikritik oleh Christian Catalini, asisten Profesor di Massachusetts Institute of Technology, yang ahli di bidang inovasi teknologi, wirausaha dan manajemen strategis. Dalam wawancaranya untuk Washington Post, ia menjelaskan bahwa tren penggunaan energi yang besar oleh Bitcoin tidak akan terus berlanjut.

“Alasan para penambang beinvestasi begitu besar di Bitcoin adalah mereka ingin mendapatkan token yang nilainya akan meningkat dalam waktu yang akan datang. Untuk itu, mereka mau untuk berinvestasi dalam hal modal dan biaya listrik untuk menang dalam kompetisi memproduksi Bitcoin ini,” kata Christian kepada Washington Post. Ia menjelaskan—mengingat Bitcoin memiliki jumlah maksimal keping yang beredar yaitu 21 juta—ketika jumlah Bitcoin yang bisa didapatkan berkurang nantinya para penambang harus beralih ke biaya transaksi untuk mendapatkan keuntungan.

Sebagai respons terhadap tuduhan mengenai penambangan Bitcoin yang tak ramah lingkungan, saat ini telah ada start-up bernama HydroMiner yang mengklaim menggunakan energi yang dapat diperbarui untuk menambang Bitcoin. Para penambang ini menggunakan 600 Kilowatt tenaga dari pembangkit listrik tenaga air di pengunungan Alpen di Austria.

Baca juga artikel terkait BITCOIN atau tulisan lainnya dari Terry Muthahhari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Terry Muthahhari
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti