Menuju konten utama

"Bisnis Vapor Tergantung Regulasi Pemerintah"

Vapor atau rokok elektronik merupakan subtitusi rokok konvensional bakar yang mulai dipergunakan kalangan muda menengah atas. Banyak yang mencoba vaping –istilah untuk mengisap vapor-- setelah melihat teman atau kenalan melakukannya. Vapor yang mulai masuk Indonesia tahun 2013, mengalami pasang dan surut.

Owner JVS, Budiyanto. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Jakarta Vapor Shop merupakan salah satu toko penjual berbagai pelengkapan vaping di Jakarta. Bahkan bisa disebut toko terbesar, sehingga Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) juga berkantor di salah satu lantai JVS, di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan.

“Ini bukan hanya tempat menjual, tapi kita memfasilitasi teman-teman untuk berbagi info. Berkumpul sesama komunitas vaporizer (pemakai vapor),” kata Budiyanto, pemilik Jakarta Vapor Shop, kepada Aditya Widya Putri dari tirto.id, di JVS, pada Selasa (27/9/2016).

Bagaimana awal mula Budiyanto mengenal vapor? Lalu mengapa tergerak menjalankan bisnisnya? Apa saja kendala berbisnis vapor di Indonesia? Berikut wawancaranya:

Kapan JVS mulai berdiri dan bagaimana perkembangannya?

JVS berdiri tahun 2013. Awal berdirinya, saya perokok berat yang sehari bisa habis tiga bungkus. Lalu saya coba vapor dan berhenti merokok. Jadi kemudian saya berpikir, tak ada salahnya membuka usaha ini. Kemudian mencoba jualan online. Berselang satu bulan, saya buka toko di bawah (lantai 1), toko kecil-kecilan saja. Memang antusiasme pembeli membludak sekali pada tahun 2013. Tapi kita juga mengalami penurunan. Pada tahun 2015 drop total, sekarang baru mulai naik lagi.

Penurunan sampai berapa persen?

Pertama buka booming sekali. Mungkin karena terlalu ramai, muncul berita-berita negatif tentang vapor. Akhirnya orang pada berhenti vaping. Ada yang balik ke rokok konvensional, ada yang berhenti total. Dari situ, pasarnya sudah drop. Itu sekitar 2014 akhir sampai 2015. Penyebabnya berita miring, bahwa vaping lebih jahat dari pada merokok.

Pada saat booming tahun 2013, ada sekitar 300 toko. Kemudian drop hanya tinggal 40 toko. Banyak yang gulung tikar. Kalau kami dulu dari 100 persen, drop tinggal 10-20 persen. Tapi sekarang balik lagi.

Apa saja yang dijual di JVS?

JVS cabangnya di sini sama SCBD. Toko kita yang terlengkap di Jakarta, karena kita punya semua varian. Kalau alat ada buatan AS dan Cina. Kalau liquid-nya ada macam-macam. Mulai AS, Cina dan produk lokal. Kalau alat yang paling banyak dicari produk Cina karena harganya lebih bagus. Bisa buat semua orang.

Produk AS sama Cina beda pada material sama chipnya. Mesinnya ada chip, sehingga buatan AS lebih mahal. Chip itu berpengaruh pada kinerja vaping, sehingga pembakarannya jadi lebih stabil. Lebih bagus tapi harganya lebih mahal di atas Rp1 juta. Kalau Cina harganya hanya Rp300 ribu sampai Rp2 jutaan. Tapi secara kualitas dibilang beda jauh juga tidak. Sebab Cina sudah mulai membuat chip yang mendekati produk AS. Jadi tidak terlalu beda.

Kalau produk buatan lokal?

Kalau lokal yang diproduksi hanya liquid saja. Kita ada macam-macam liquid, mulai lokal, AS dan Malaysia yang kisaran harganya antara Rp90 ribu - Rp300 ribuan. Tapi yang paling banyak dicari produk lokal yang harganya berkisar Rp150 ribuan. Taste dan seleranya pas buat pasar Indonesia. Kalau liquid Malaysia terlalu manis, sedangkan liquid AS tidak terlalu manis.

Indonesia main di tengahnya, tidak terlalu dingin, tidak terlalu cream, tapi manisnya pas. Liquid lokal yang banyak disuka itu rasa strawberi, coklat dan susu. Juga yang aroma buah segar seperti jeruk dan mangga.

Daya beli konsumen dari total 100 persen, sekitar 80 persen pembeli produk lokal. Sisanya pembeli produk US dan Malaysia. Sehari kami bisa menjual sekitar 30-40 buah liquid. Sementara yang AS dan Malaysia hanya 10 buah. Kalau device kami bisa jual 5-10 buah.

Pelanggan dari mana saja?

Notabenenya banyak dari daerah selatan Jakarta. Mereka ke sini belanja sekalian nongkrong. Ini bukan hanya tempat menjual, tapi kita memfasilitasi teman-teman untuk berbagi info. Berkumpul sesama komunitas vaporizer. Misalnya bertukar informasi bikin kawatnya yang bisa dimodifikasi, atau koilnya bisa di-replacement. Jadi ada yang bisa dibeli, ada yang bisa dibikin. Itu berpengaruh untuk asap dan uap.

Jadi antara orang berbeda selera. Ada yang suka asapnya banyak, ada juga tidak mau asap banyak tapi rasanya lebih enak. Banyak tidaknya asap tergantung kawat dan kapasnya. Jadi makin mendetail, makin jauh kualitasnya. Tapi kalau pemula, kita sarankan beli saja yang sudah jadi yang tinggal isi liquid, tinggal pakai. Kalau yang sudah lama baru boleh lakukan modif. Takutnya bingung, tidak mengerti, malah salah menggunakan device.

Berapa kisaran umur pelanggan?

Pelanggannya kisaran umur 20 tahun ke atas. Ada juga costumer 50 tahun, tapi kebanyakan usia 20-30 tahunan.

Apa saja yang dibutuhkan untuk merawat satu device dan berapa lama liquid habis?

Jangka waktu penggunaan device bisa lama tergantung maintenance. Tinggal dibelikan koilnya saja. Perawatannya hanya beli koil seminggu sekali. Koil harganya Rp40 ribu - Rp50 ribu. Liquid habisnya tergantung. Ada yang seminggu, ada yang 2-3 hari tergantung seberapa sering vapingnya. Rata-rata 4 hari habis.

Bagaimana tanggapan Anda selaku pelaku bisnis terhadap berita negatif mengenai vapor?

Saya sendiri dulu perokok berat dan sekarang jadi tidak merokok. Kalau berita soal device meledak, itu murni kesalahan pengguna. Kan ada aturan limit watt. Misal limitnya hanya 40 watt, tapi orang memaksakan sampai 100 watt agar dapat asap yang tebal. Kan batere atau chipnya tidak kuat, jadi meledak. Memang semakin tinggi watt-nya, semakin banyak uapnya. Tapi saya tidak pernah mendapat customer seperti itu.

Saat ini vapor bukan hanya tren, banyak customer yang bisa berhenti merokok karena vaping. Pada akhirnya justru berhenti dua-duanya. Sebab perokok berat yang berpindah vaping sudah menemukan rasa yang pas. Di London, vaping bahkan disarankan oleh dokter untuk terapi berhenti merokok. Tapi kalau di sini kan tidak bisa. Sepertinya anjuran dokter seperti itu tidak mungkin di negara kita, karena masih banyak pabrik rokok.

Apa perbedaan vapor dengan rokok konvensional?

Bedanya rokok biasa ada TAR, vapor tidak ada. Kalau nikotin sama-sama ada. Makan cabai saja ada ada nikotinnya. Semua liquid di seluruh dunia ada ukuran nikotinnya. Ada yang 0,3 milligram - 0,6 milligram. Tapi batas nikotin memang belum ada regulasinya.

Vapor memakai liquid yang mengandung propylene glycol (PG) dan vegetable glycerin (VG) atau gliserin nabati yang juga banyak terdapat pada makanan. Belum ada penelitian ilmiah yang mengatakan bahwa vapor dampaknya lebih berbahaya dari rokok konvensional.

Bagaimana prediksi bisnis ini ke depan?

Perkembangannya cukup bagus. Banyak pengguna baru yang tertarik setelah temannya pada berhenti merokok. Prediksi ke depan, dalam setahun ini masih bagus. Tergantung regulasi pemerintah juga. Kan kita tidak tahu bagaimana ke depannya. Seperti vaping yang dilarang di Singapura, negara lain tidak ada yang jelas. Pemerintah juga belum punya payung hukumnya. Kita ini abu-abu, makanya saya agak takut mengulas karena takut menjadi sorotan. Padahal di beberapa negara, vapor dijadikan resep dokter untuk berhenti merokok.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Mild report
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti