Menuju konten utama

Bisnis Pakaian Bekas, Bisnis Ramah Lingkungan

Pakaian tak terpakai adalah jenis sampah yang kerap tak disadari. Donasi dan jual-beli pakaian bekas adalah salah satu cara yang bisa dilakukan umat manusia untuk mengurangi sampah pakaian dan menghemat sumber daya.

Bisnis Pakaian Bekas, Bisnis Ramah Lingkungan
Sejumlah calon pembeli melihat pakaian bekas impor di Pasar Senen, Jakarta. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - Minggu sore di Pasar Senen, pedagang pakaian bekas tumpah ruah memadati trotoar hingga ke bibir jalan. Para pembeli dari berbagai usia dan jenis kelamin membuat trotoar dan bibir jalan itu kian padat.

“Lima ribuan! Lima ribuan!” teriak seorang pedagang.

“Sepuluh ribu aja! Bayar sepuluh ribu, sudah bisa pakai celana baru!” teriak pedagang di sebelahnya.

“Bekas, bang!” protes seorang calon pembeli.

Para calon pembeli yang lain, tampak sibuk sendiri, memilah-milah pakaian mana yang sesuai dengan ukuran badannya, atau pasangannya, atau anaknya. Mereka juga memeriksa dengan sangat hati-hati, melihat kecerahan warna, kelengkapan kancing, dan memastikan tak ada bagian pakaian yang sobek.

Jika beruntung, mereka bisa mendapatkan pakaian bermerek dengan harga seperdelapan kali lebih murah dari harga barunya di mal-mal. Pakaian bermerek ini tentu tak ada di tumpukan lima ribuan, para pedagang biasanya memisahkannya dan mematok harga jual lebih mahal. Meskipun begitu, ia tetap jauh lebih murah dari harga barunya, dengan kualitas 80 hingga 95 persen.

Di dalam pasar, pemandangan juga tak jauh berbeda. Gerai-gerai yang menyediakan pakaian seharga lima ribuan akan ramai oleh kerumunan. Gerai-gerai yang menjual pakaian lebih mahal, tampak lebih sepi.

Kalau di Jakarta ada Pasar Senen, di Medan ada Pajak Melati. Dalam bahasa sehari-hari orang Medan, pajak berarti pasar. Pajak Melati juga menjual pakaian bekas. Pengunjungnya tak hanya orang-orang yang penghasilannya rendah. Mereka yang transportasi sehari-harinya menggunakan mobil pribadi pun menjadi pelanggan setia Pajak Melati.

Pasar pakaian bekas ini ada I hampir setiap kota. Di Bandung ada Cimol Gedebage, di Makassar ada Pasar Terong, di Surabaya ada Pasar Gembong, dan di Bali ada Pasar Kodok.

Menjamurnya perdagangan online membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan pakaian bekas dengan harga murah. Banyak anak muda yang menggunakan platform Instagram dan Facebook untuk menjual pakaian bekas.

Pembeli tak perlu lagi berdesak-desakan di pasar yang sumpek untuk memilih pakaian bekas. Mereka tinggal melihat-lihat koleksi lewat ponsel, komunikasi dengan penjual, melakukan pembayaran via transfer, lalu menunggu paket pakaian bekas datang.

Pakaian bekas yang dijual online juga tak melulu berasal dari pasar atau importir pakaian bekas. Beberapa berasal dari pakaian bekas penjual itu sendiri. Ada sebuah platform jual beli pakaian bekas yang mulai populer di kalangan pecinta pakaian bekas, Carousell namanya. Ia memungkinkan para penggunanya menjual dan membeli pakaian bekas atau barang bekas lainnya.

Dari tahun ke tahun, perdagangan pakaian bekas ini dianggap mengancam industri pakaian di Indonesia. Pemerintah hingga kalangan pengusaha pun semakin gencar menekan peredaran pakaian bekas ini.

Sejak tahun lalu, peraturan presiden (perpres) tentang pakaian bekas impor disiapkan. Pakaian bekas nantinya akan dimasukkan ke dalam daftar barang yang dilarang diperdagangkan di dalam negeri.

"Sesungguhnya pelarangan impor pakaian bekas itu sudah ada, namun dalam penanganannya ada kelemahan. Kami sedang mempersiapkan perpres yang akan mengatur tiga hal," kata Direktur Impor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Thamrin Latuconsina seperti dikutip Antara, Juli tahun lalu.

September lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Sulawesi memusnahkan pakaian bekas impor hasil penindakan sebanyak 3.139 bal. Satu bal biasanya berisi 200-400 potong pakaian, tergantung jenis pakaian apa yang ada di dalam bal itu. Jika diuangkan, 3.139 bal ini setara Rp7,37 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun ikut menyayangkan Indonesia masih menjadi tujuan ekspor pakaian bekas. Menurutnya, ini menggambarkan bahwa pasar industri mode di Indonesia sangat besar, dan ini seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri dalam negeri.

Dari perspektif pertumbuhan industri mode dalam negeri, perdagangan pakaian bekas barangkali berdampak buruk. Tetapi bagaimana dampaknya terhadap lingkungan?

Natural Resources Defense Council (NDRC) menyatakan air yang digunakan untuk memproduksi satu ton kain bahan celana dan kaos yang setiap hari kita pakai adalah 200 ton. Lembaga non-profit berbasis di New York itu juga mengatakan bahwa seperlima dari polusi air di dunia berasal dari pabrik tekstil. Ini karena dalam memproduksi kain, digunakan 20 ribu bahan kimia.

Tahun 2006, produsen celana jeans asal Amerika, Levi's, mengemukakan bahwa dalam membuat satu celana jeans, dibutuhkan 920 galon air, 400 mega joule energi, dan melepaskan 32 kilogram karbon dioksida. Ini setara dengan menjalankan air mancur di taman selama 106 menit, berkendara sejauh 125,5 km, dan menyalakan komputer selama 556 jam.

Infografik Pakaian Bekas

Menurut World Wildlife Fund (WWF), satu bahan utama yang tidak dimunculkan dalam label-label pakaian adalah air. Sementara untuk memproduksi satu kaos dibutuhkan 2.700 liter air, selain kapas yang juga adalah sumber daya.

Sementara itu, data dari Agen Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau yang biasa dikenal dengan Environmental Protection Agency (EPA) menunjukkan bahwa setiap tahunnya, satu orang membuang 31,75 kg pakaiannya.

Pakaian-pakaian bekas di Pasar Senen, Pajak Melati, Pasar Kodok, Pasa Gembong, Gedebage, dan pusat-pusat penjualan pakaian bekas lainnya hanya akan menjadi sampah jika tak diperjualbelikan. Membeli pakaian baru dan terus-menerus membuang pakaian bekas hanya akan menghabiskan sumber daya.

Organisasi berbasis lingkungan seperti Oxfam sekalipun mendukung perdagangan pakaian bekas. Dalam laporannya yang berjudul "The Impact of Secondhand Clothing on Developing Countries" (2005) dengan tegas organisasi ini menyatakan perdagangan pakaian bekas tidak akan merugikan industri pakaian di negara berkembang. Menurut Oxfam, perdagangan pakaian bekas juga menciptakan lapangan pekerjaan dan memutar roda ekonomi.

Sebab cara paling efektif untuk mengurangi limbah pakaian adalah dengan membeli pakaian bekas dan mendonasikan atau menjual pakaian bekas yang tidak lagi terpakai. Membuangnya, atau membiarkannya mengendap dalam lemari—sampai suatu waktu rusak—hanya menciptakan sampah-sampah baru.

Baca juga artikel terkait BISNIS atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani