Menuju konten utama

Bisnis Mal, Mentok di Jakarta Berkembang di Kota Penyangga

Stagnasi bisnis mal di Jakarta tak menyurutkan minat untuk membangun mal baru. Kota-kota penyangga juga kian getol membangun mal baru.

Bisnis Mal, Mentok di Jakarta Berkembang di Kota Penyangga
Sejumlah pengunjung bermain wahana" ice skating" di pusat perbelanjaan Cibinong City Mall, Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/12/2017). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Wajah Jalan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat nampak berbeda beberapa bulan terakhir, bangunan besar dengan kondisi yang belum tuntas menghiasi di sisi selatan jalan. Bangunan ini adalah proyek shopping mall Pesona Square yang sedang dikebut pengerjaannya siang-malam. Berjarak 20 km di sisi selatan, tepatnya di Jalan MH Thamrin, Sentul City, Bogor, calon pusat perbelanjaan AEON Mall sudah nampak berdiri megah menunggu penyelesaian akhir.

AEON Mall dan Pesona Square hanya segelintir calon pusat perbelanjaan atau mal baru yang siap beroperasi di kawasan Bodetabek. Selebihnya masih banyak nama lainnya seperti AEON Mall Deltamas hingga Plaza Indonesia Jababeka yang keduanya ada di Bekasi. Berdasarkan data Colliers International (PDF), terdapat beberapa mal baru yang akan beroperasi pada 2018-2020.

Enam mal baru antara lain di tiga wilayah Jakarta, yakni dua mal di Jakarta Barat, dua mal di Jakarta Selatan, dan dua mal di Jakarta Pusat. Total luas mal baru itu mencapai 325.000 meter persegi. Pada 2017, luas mal di Jakarta sudah menembus 4,6 juta meter persegi.

Pembangunan pusat perbelanjaan baru juga menyasar ke pinggiran Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Berdasarkan data Colliers International, sedikitnya akan ada enam mal baru dalam kurun 2018-2020.

Enam mal yang akan berdiri tersebar di tiga kota penyangga, yakni dua mal di Bogor, satu mal di Depok dan tiga mal di Bekasi. Total luas mal baru dari ketiga kota itu mencapai 315.685 meter persegi. Adapun, total luas mal di Bodetabek saat ini mencapai 2,5 juta meter persegi.

“Bekasi akan menyumbang 55 persen dari total luas pusat perbelanjaan baru di Bodetabek hingga 2020,” kata Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia, kepada Tirto.

Pembangunan mal di pinggir Jakarta tak terpisahkan dari perkembangan kota penyangga dan kebijakan di Jakarta. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di era Fauzi Bowo melakukan moratorium izin pembangunan mal pada 2011, dampaknya banyak proyek mal berdiri di luar Jakarta.

Namun bukan berarti pembangunan mal baru di Jakarta lantas terhenti. Pembangunan mal di Jakarta tetap terjadi karena sebagian sudah mengantongi izin sebelum adanya kebijakan moratorium, tapi bisnis para pengelola mal di Jakarta tak menunjukkan pertumbuhan yang signifikan.

Okupansi Terendah, Kinerja Lemah

Tingkat okupansi mal di Jakarta pada tahun lalu mencapai level terendah dalam 3 tahun terakhir ini, yakni 83,6 persen (PDF). Pada 2015, tingkat okupansi mal sempat mencapai 86,8 persen (PDF) dan turun menjadi 85,4 persen (PDF) pada 2016. Kondisi pasar ritel di Jakarta yang melambat turut menyumbang kondisi itu.

Menurunnya okupansi mal diperparah dengan bertambahnya jumlah mal. Namun demikian, jumlah mal yang bertambah juga tidak sekencang tahun-tahun sebelumnya. Pada 2015, total luas mal di Jakarta mencapai 4,45 juta meter persegi. Pada tahun berikutnya, total luas mal bertambah 2,7 persen menjadi 4,57 juta meter persegi.

Pada 2017, pertumbuhan luas mal di Jakarta melambat dengan hanya naik 1,8 persen menjadi 4,65 juta meter persegi. Besar kemungkinan pertumbuhan luas mal masih akan melambat pada tahun berikutnya. Colliers mencatat bakal ada satu mal baru yang beroperasi di Jakarta dengan luas 60.000 meter persegi pada 2018. Apabila benar, maka pertumbuhan luas mal di Jakarta pada 2018 hanya 1,3 persen menjadi 4,71 juta meter persegi.

Menurunnya tingkat okupansi juga bukan tanpa sebab. Biaya hidup yang membesar, dan pola konsumsi masyarakat yang bergeser, memberikan tekanan yang besar bagi industri ritel pada tahun lalu. Selain itu, bisnis online yang menjamur juga kian menekan industri ritel. Meski tekanan bisnis online terhadap industri ritel saat ini masih minim, tidak menutup kemungkinan bakal membesar pada tahun-tahun berikutnya.

Besarnya tekanan membuat banyak pelaku ritel besar menutup gerainya. Contoh, Matahari menutup gerainya di Pasaraya Blok M, Pasaraya Manggarai dan Mal Taman Anggrek. Gerai Debenhams di Lippo Mal Kemang dan Senayan City juga ditutup.

Di Jakarta, penurunan tingkat okupansi sepanjang 2017 terjadi hampir di seluruh jenis mal. Colliers mencatat tingkat okupansi mal kelas menengah atas, dan menengah bawah anjlok 3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kondisi okupansi yang menurun nampaknya beriringan dengan kinerja korporasi pengelola mal yang portofolio bisnisnya lebih banyak di Jakarta. Beberapa perusahaan pengembang yang fokus pada pusat perbelanjaan khususnya di Jakarta memang mengalami pertumbuhan tapi tak mengalami kenaikan yang signifikan. Misalnya PT Metropolitan Kentjana Tbk. Perusahaan dengan kode emiten MKPI ini membukukan pendapatan dari mal sebesar Rp857,48 miliar, tumbuh 3 persen dari 2016 sebesar Rp829,78 miliar.

Dari mal, laba usaha yang berhasil didapatkan oleh Metropolitan Kentjana senilai Rp503,48 miliar, tumbuh 3,5 persen dari laba usaha 2016 sebesar Rp486,30 miliar. Metropolitan Kentjana adalah pengelola Pondok Indah Mall di Jakarta, dan beberapa mal papan atas di ibu kota.

Pengelola mal lainnya PT Agung Podomoro Land Tbk juga membukukan hasil yang cukup positif. Pada 2017, pendapatan mal perseroan tercatat Rp1,04 triliun. Angka itu naik tipis 3 persen dari pendapatan mal 2016 sebesar Rp1,01 triliun. Saat ini, mal-mal Agung Podomoro kebanyakan berada di Jakarta. Contoh, Central Park Mal, Senayan City, Kuningan City, Lindeteves Trade Center (LTC), dan Emporium Pluit Mall. Perseroan juga memiliki mal di Bandung, yakni Festival Citylink.

Kondisi lebih parah justru terjadi pada PT Plaza Indonesia Realty Tbk. Pendapatan mal dari emiten berkode PLIN ini mencapai Rp677,81 miliar sepanjang 2017, turun 4 persen dari pendapatan tahun lalu sebesar Rp702,14 miliar. Imbasnya, laba usaha dari mal perseroan tergerus 8 persen dari sebelumnya sebesar Rp475,26 miliar, menjadi Rp437,90 miliar. Adapun, perseroan merupakan pengelola Plaza Indonesia yang berlokasi di Jakarta Pusat.

Yang menarik, kinerja perusahaan pengelola mal yang fokus di luar Jakarta justru kinclong. PT Nirvana Development Tbk. Emiten ini berhasil membukukan pendapatan dari mal sebesar Rp299,79 miliar pada 2017, naik 32 persen dari 2016 sebesar Rp226,44 miliar. Dari pendapatan itu, laba kotor yang diraup emiten berkode NIRO ini mencapai Rp103,45 miliar, naik 13 persen dari laba kotor 2016 sebesar Rp91,47 miliar.

Mal-mal yang dikelola perseroan fokus di kota-kota besar di luar Jakarta , antara lain SuperMall di Cianjur dan Sukabumi, Plaza Jembatan Merah di Bogor, Citimall di Sumatera Selatan, Citimall Kuala Kapuas di Kalimantan Tengah, Borneo Mall Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah dan lain sebagainya.

Infografik Mal Mal baru di jabodetabek

Mal Harus Ganti Strategi

Saat ini tujuan masyarakat berkunjung ke pusat perbelanjaan, tidak lagi sekadar membeli barang. Hal yang dicari pengunjung di mal, terutama generasi milenial di kota besar adalah mencari pengalaman. Colliers menilai perubahan pola dari masyarakat saat ini sebenarnya bukan menjadi ancaman bagi pengelola mal. Perubahan pola konsumsi itu justru memicu pengelola mal untuk dapat lebih mengembangkan konsep mal-nya.

“Inovasi berada di garis depan industri ritel. Perusahaan harus mengembangkan konsep baru untuk meningkatkan pengalaman para pelanggan, dan memberikan nilai tambah pada standar belanja ketika berkunjung ke mal,” ujar Ferry.

Upaya pengelola mal melakukan inovasi yang sesuai dengan perubahan zaman juga dapat menjadi senjata untuk menahan gempuran bisnis-bisnis online yang kian menjamur. Untuk itu, penting bagi pengelola mal untuk berinovasi secara berkelanjutan.

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menilai pemilik mal memang harus lebih kreatif untuk dapat bertahan, seiring dengan berbagai tekanan yang memengaruhi kinerja mal. “Orang saat ini mencari tempat keren, yang asik, yang bagus buat selfie. Jadi bukan sekadar belanja, tetapi orang juga mencari experience. Nah, mal harus bisa menyediakan itu kalau mau bertahan,” kata Stefanus Ridwan, Ketua Umum APPBI kepada Tirto.

Menjamurnya bisnis online diakui APPBI menjadi faktor yang cukup menekan okupansi mal terutama di ibu kota. Namun, bisnis online bisa menjadi peluang bagi mal. Menurut Stefanus, bisnis online justru membutuhkan juga toko fisik untuk mengembangkan bisnisnya.

Untuk mendongkrak kunjungan, pengelola mal juga didorong untuk lebih aktif menggelar acara-acara yang dapat menyedot perhatian masyarakat. Misalnya, mulai dari fashion show, perlombaan dan lain sebagainya. Pendekatan teknologi juga bisa dilakukan, seperti yang sudah diterapkan di Cina dengan konsep new retail atau memadukan toko fisik dan online.

Bila melihat kinerja beberapa emiten di atas, bisnis mal masih memberikan keuntungan yang cukup baik terutama di luar Jakarta. Sehingga tak mengherankan geliat pembangunan mal di pinggir Jakarta masih jadi pilihan pengusaha.

Baca juga artikel terkait MALL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Marketing
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra