Menuju konten utama

Bisnis 'Heroin Elektronik' Mobile Legends

Ada bisnis legit di tiap lapis olahraga virtual e-Sports.

Bisnis 'Heroin Elektronik' Mobile Legends
Ilustrasi Mobile Legends: Mmmmonster KILL. Tirto/Sabit

tirto.id - Revolusi digital memindai gaya hidup orang Indonesia. Gim online berbasis ponsel seperti Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) merangsek pelbagai ruang. Anda jadi lebih sering melihat orang-orang bermain gim di warung-warung, kantor, hingga sekolahan. Mereka lebih terobsesi main gim daripada ngobrol, makan, atau tidur.

“Dulu waktu saya ngejar top global rank itu main gim 20 jam sehari,” ungkap Afrindo Valentino, 22 tahun, kepada reporter Tirto. Hasilnya, ia menjadi pemain terbaik di musik ke-7 di seluruh negara yang jadi persebaran MLBB.

Afrindo adalah kapten tim NXL yang berinisial “G”, yang awal April lalu menyabet juara pertama Mobile Professional League (MPL).

Di Indonesia, e-Sports atau olahraga virtual berkembang pesat. Ada lebih dari 9,5 juta penggemar e-Sports, di antaranya 2,8 juta tinggal di Vietnam dan 2 juta di Indonesia. Olahraga ini minim risiko cedera dan tak perlu otot besi. Tapi, sebagaimana olahraga dengan pemain lebih dari satu orang, ia membutuhkan kerja sama tim, strategi, kecepatan berpikir, dan yang menjadi pembedanya: jari yang gesit.

Berdasarkan riset Newzoo, antara 2014 hingga 2016, audiens e-Sports tumbuh sebanyak 43 persen dari 204 juta menjadi 292 juta. Proyeksi pada 2019, audiens ini akan melebihi 427 juta. Industri e-Sports dalam dua tahun ini juga meningkat dari 194 juta dolar AS menjadi 463 juta dolar AS. Diperkirakan, tahun tahun 2020 bakal mencapai keuntungan sekitar 1,5 miliar dolar AS.

Penelitian Newzoo menunjukkan Asia Tenggara adalah kawasan industri e-Sports dengan pertumbuhan tercepat. Lebih dari setengah penggemar paling bersemangat olahraga virtual ini ada di kawasan Asia Pasifik. Angka ini dilaporkan akan berlipat ganda pada 2019. Rencananya, e-Sports akan menjadi olahraga resmi pada Asian Games 2022 yang akan dihelat di Hangzhou, Tiongkok.

Mulai Menjamur Perusahaan Manajemen e-Sports

Iklim bisnis yang bagus ini berkembang perlahan di Indonesia. Berbiak perusahaan yang berfungsi sebagai manajemen para atlet e-Sports.

Contohnya seperti EVOS eSports, Rex Regum Qeon (RRQ), atau Bigetron Player Kill. Perusahaan manajemen tim ini punya divisi terdiri para atlet dari pelbagai gim, misalnya MLBB, Dota 2, Point Blank, Arena of Valor (AOV), atau League of Legends.

Mereka berjejaring secara global lewat investor yang sama. Selain itu, tiap perusahaan manajemen tim e-Sports memiliki brand ambassador.

Rizal Fauzi, manajer pengembangan bisnis RRQ, menjelaskan perusahaannya mendapatkan pemasukan dari sponsor, kerja sama endorsement, hingga penjualan merchandise.

Management RRQ mencari pemain dengan kemampuan dan attitude yang baik,” ucap Rizal kepada Tirto.

Setiap atlet yang bergabung tetap dibebaskan untuk menjadi YouTubers, menjual akun Mobile Legends, menjual item, menjual diamond, atau sebagai joki player. Syaratnya: asalkan mereka tak mengabaikan tanggung jawab melaksanakan kewajiban sebagai pemain di manajemen tim tersebut.

Muhammad Ikhsan atau Lemon, anggota tim RRQ divisi Mobile Legends, membuka jasa joki untuk kenaikan level. Satu kali main, ia memasang tarif antara Rp4.000 hingga Rp25 ribu.

Seperti olahraga kompetitif tradisional, e-Sports membutuhkan keterampilan, strategi, taktik, konsentrasi, komunikasi, koordinasi, kerja tim, dan pelatihan intensif.

Di RRQ, hanya divisi Dota 2 yang memiliki pelatih sendiri. Sisanya, tiap tim berlatih sendiri. Biasanya mereka menganalisis dan menonton tayangan ulang pertandingan besar atau bertanding melawan tim lain.

Wilbert Marco, manajer tim bagi RRQ divisi gim Dota 2 & Arena Of Valor, menjelaskan pihak manajemen bertugas memberikan tempat tinggal, fasilitas internet, katering makanan, memperkenalkan pemain melalui akun media sosial, transportasi, hingga mengatur event jumpa fans.

“Gaji per bulan mereka di atas UMR Jakarta,” ujarnya. Upah minimum Provinsi Jakarta tahun 2018 sebesar Rp3,6 juta.

Sementara Aldean Tegar Gemilang, manajer umum EVOS Esports, mengatakan gaji bulanan atlet MLBB di tempatnya sekitar Rp2 juta hingga Rp3 juta. Gaji bulanan di tim NXL divisi MLBB tergolong kecil. Afrindo Valentino dan rekannya dibayar Rp500 ribu per bulan.

Infografik HL Indepth Mobile Legend

Setiap gim punya masa pamornya masing-masing. Seperti misalnya Dota 2 atau League of Legends, yang mulai meredup setelah kehadiran Mobile Legends: Bang Bang.

Seringkali hal itu memicu sentimen. Karena pemain MLBB tak perlu mouse, keyboard, headset, dan komputer dengan spesifikasi tinggi, pemain gim lain mengejek pemain MLBB: “Moba kok analog?” Sindiran ini pun dibalas, “Moba kok bluescreen?”

Wilbert Marco menuturkan RRQ turut memikirkan masa depan tiap atlet e-Sports jika gim itu sudah kalah pamor. “Jika sudah tidak bermain gim, jalur yang bisa ditempuh seperti menjadi manajer, streamer, dan coach,” ujarnya.

e-Sports adalah Candu?

Budaya e-Sports tumbuh pada banyak sisi. Ia menjadi lahan bisnis baru. Ia memfasilitasi pertumbuhan pasar perangkat gim sekaligus berkontribusi pada pembentukan kelompok besar pencandu gim online.

Tren terakhir itu bahkan punya istilahnya sendiri: 'heroin elektronik'. Ia dibuat untuk mengutuk industri gim yang terus berkembang. Gim dianggap merampas minat belajar para remaja.

Kelompok psikolog di Cina pada 2007 menyatakan "kecanduan main gim internet adalah masalah kesehatan jiwa". Mereka menganggapnya sebagai gangguan mental dengan gejala lekas marah, kecemasan, dan depresi.

Begitu juga di Jepang. Berdasarkan riset Daria J. Kuss, bertajuk “Kecanduan Game Internet: Perspektif Saat Ini”, pemerintah Jepang mengakui kecanduan gim merupakan masalah kejiwaan. Pemerintah membentuk pusat rehabilitasi untuk mengobatinya.

Di sisi lain, menjadi atlet gim online punya nilai positif, dengan catatan: harus ada pengaturan untuk menyiasati atau mengantisipasi dampak buruknya. Ini dikatakan oleh Katryna Starks, psikolog Universities Sunshine Coast, yang bilang gim bisa mengedukasi dan menanamkan budaya.

Sebagai atlet e-Sports, Afrindo Valentino mengakui ia dulu kerap dilarang orangtuanya untuk bermain gim. Orangtuanya enggan Afrindo menanggalkan kewajiban menempuh jenjang kuliah. Namun, setelah tahu Afrindo dan timnya sering menang turnamen, sikap orangtuanya melunak.

“Untuk orang-orang yang memikirkan gim e-Sports itu jelek, menurutku salah, sih. Kalau player berniat untuk mencapai prestasi, itu baik,” kata Afrindo.

Baca juga artikel terkait MOBILE LEGENDS atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam