Menuju konten utama

Bisnis Go-Ride Disiapkan untuk Tak Dapat Untung?

Bisnis inti Go-Jek adalah Go-Food, sedangkan Go-Ride sebagai "penjaring" massa. Di atas itu semua, tujuan utamanya adalah Go-Pay.

Bisnis Go-Ride Disiapkan untuk Tak Dapat Untung?
Seorang pengemudi Go-Jek mengendarai dengan seorang pelanggan di Jakarta, Indonesia, Jumat 26 April 2016. (AP Photo / Tatan Syuflana)

tirto.id - Pada medio Agustus 2018, Go-Jek ekspansi bisnis di Vietnam. Kota Ho Chi Minh jadi pijakan awal Go-Jek mengaspal dengan nama Go-Viet. Hampir empat bulan berlangsung, Go-Viet kini menguasai 35 persen pangsa pasar ride-sharing, khususnya ojek online di Vietnam. Ia menempel ketat Grab yang lebih dulu ada di Vietnam.

Capaian Go-Viet diperluas, Sejak Selasa (20/11), anak usaha Go-Jek yang dipimpin Nguyen Vu Duc mengujicoba Go-Food, layanan pemesanan dan pengantaran makanan berbasis aplikasi. Dilansir laman Vietnam Investment Review, Vu Duc mengklaim menginginkan Go-Viet menjadi “super-app.” Aplikasi yang menawarkan beragam jasa berbasis ojek online. Strategi ini persis seperti yang diterapkan di perusahaan induknya di Indonesia.

Kemunculan Go-Food di Vietnam berselang hampir sebulan selepas Grab menawarkan jasa yang sama di negeri itu bernama GrabFood. Jerry Lim, Country Head Grab Vietnam, sebagaimana diwartakan Deal Street Asia, mengatakan kemunculan jasa baru berbasis aplikasi terjadi karena “konsumen Vietnam sangat suka mencoba hal-hal baru”.

Selain faktor konsumen, keberadaan aplikasi pemesanan dan pengantaran makanan dilakukan karena faktor pasar. Firma analis finansial Euromonitor mencatat pasar bagi aplikasi pemesanan dan pengantaran makanan memiliki potensi pasar yang tinggi di Vietnam. Pada 2018 pasar aplikasi jenis ini bernilai $33 juta. Pada 2020 nilainya diperkirakan meningkat menjadi $38 juta. Secara umum, pasar aplikasi ini meningkat hingga 11 persen tiap tahunnya.

Apakah jasa ojek online tak cukup memberi keuntungan bagi Go-Jek (Go-Viet) dan Grab?

Pada Agustus 2018, dalam pemberitaan yang dimuat Channel News Asia dipacak dari Reuters, Chief Executive Officer (CEO) Go-Jek, Nadiem Makarim, menyebut segala lini jasa yang dijalankan Go-Jek “sangat dekat” untuk memperoleh profit, kecuali lini transportasi mencakup Go-Ride dan Go-Car.

Padahal, kala pemberitaan itu dirilis, secara keseluruhan Go-Jek memproses lebih dari 100 juta transaksi dengan 20 hingga 25 juta pengguna aktif bulanan. Nadiem lalu melanjutkan, bisnis inti Go-Jek adalah Go-Food, bukan menyebut Go-Ride alias ojek online.

Di Indonesia, Go-Food merupakan layanan pemesanan dan pengantaran makanan berbasis aplikasi terbesar di Indonesia. Hingga kini, ada 300 ribu merchant atau penjaja makanan yang tergabung dalam platform Go-Food.

Catherine Hidra Sutjahyo, Chief Commercial Expansion Go-Jek menyebut Go-Jek memperoleh keuntungan dengan cara menarik fee atau cut dari makanan yang dibeli konsumen via Go-Food “dari Go-Food ada cut dari merchant yang sudah kita hitung baik-baik” yang melibatkan group sales Go-Food yang duduk bersama penjual makanan.

Model bisnis yang beda ini tentu sangat wajar ada perbedaan antara Go-Jek sebagai jasa antar pesan makan dan transportasi. Ini bisa jadi jawaban mengapa Nadiem melihat Go-Food sebagai bisnis inti dari Go-Jek, bukan Go-Ride. Padahal jasa transportasi atau Go-Ride adalah citra bisnis Go-Jek sejak awal muncul pada 2015. Bisnis transportasi ojek online belum menguntungkan. Salah satu faktonya adalah persoalan tarif yang sangat sensitif, bagi para driver dan para penggunanya.

Sistem tarif pada jasa ride-sharing ini memang tak sederhana atau kompleks. Hingga Juni 2018, tarif Go-Ride dipatok sebesar Rp2.200 hingga 3.300 per kilometer. Dengan catatan, 5 kilometer awal dihargai Rp10.000 sebagai tarif minimum. Misalnya, jika pengendara Go-Jek membawa penumpang sejauh 6 kilometer, ongkosnya berarti sekitar Rp12.000.

Namun, sejak minggu lalu, tarif tersebut berubah. Nur Muharom, pengemudi Go-Jek, mengatakan bahwa tarif Go-Jek kini berada di angka Rp1.200 per kilometer. Fikri, pengemudi Go-Jek lain membenarkan. Menurutnya, mengantar pelanggan sejauh 5 kilometer yang dahulu dihargai Rp10.000 kini menurun menjadi Rp8.000. Atas perubahan itu, Fikri mengaku ia kini lebih selektif menerima orderan Go-Ride. Ia lebih memilih menerima order yang berjarak tak jauh dari 5 kilometer, alias jarak pendek.

Salah satu alasan mengantar jarak pendek lebih disukai tak lepas dari bonus poin yang bisa diperoleh. Sekali mengantar penumpang, pengemudi Go-Jek memperoleh 1 poin. Poin bisa bertambah +1 atau +2 manakala pengemudi mengantar di jam-jam khusus, yakni Senin-Jumat pukul 16.00-20.00, atau di lokasi-lokasi khusus. Poin-poin itu bisa diakumulasikan. 12 poin misalnya senilai dengan uang Rp10.000. Bila sanggup memperoleh 30 poin dalam sehari, pengemudi Go-Jek mendapat ganjaran kontan senilai Rp20.000.

Ucapan Nadiem pada Agustus lalu bahwa bisnis transportasi belum menguntungkan memang tak terpisahkan dari tarif yang berlaku dan yang tak kalah penting, lini bisnis transportasi (Go-Ride) sejak awal bisa jadi disiapkan hanya sebagai "penjaring" massa. Para driver Go-Jek tentu patut melihat aspek ini, mereka adalah pihak yang sangat dirugikan soal kebijakan pemangkasan tarif.

Michael Say, VP Corporate Affair Go-Jek, menuturkan keputusan menurunkan tarif tujuannya sebagai bagian dari menjaga aspek penawaran dan permintaan. Grab, satu-satunya pesaing Go-Jek di Indonesia, menawarkan harga yang lebih ramah konsumen. “Kalau (tarif) nggak disesuaikan (kondisi pasar) demand-nya nanti pindah.”

Menurut klaim Michael, tarif yang diterima pengemudi Go-Jek merupakan yang tertinggi di pasar, mengalahkan kompetitor. Perubahan tarif hanya merupakan penyesuaian kondisi. Meski tarif diturunkan, pihak Go-Jek tetap berupaya menjaga agar tidak terjadi penurunan pendapatan bagi pengemudi. Salah satu yang dilakukannya ialah melakukan promo agar masyarakat lebih tertarik menggunakan ojek online dari Go-Jek.

Murahnya tarif ojek online yang ditetapkan Go-Jek salah satunya terjadi karena tidak ada regulasi yang mengatur jenis transportasi ini. Tidak ada batas bawah atau batas atas tarif bagi ojek online yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi keberlangsungan perusahaan, pengemudi, maupun konsumen.

Alasannya, sepeda motor dianggap bukanlah moda transportasi umum. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, transportasi umum hanyalah transportasi yang pengemudinya memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) Umum. SIM Umum hanya ada pada SIM A dan B, sedangkan SIM C, SIM yang ditujukan bagi pengemudi sepeda motor tak memiliki versi “Umum.”

Tarif murah ojek online merupakan bentuk strategi Go-Jek menjaga pasar dan menaikkan permintaan. Tarif murah Go-Ride merupakan bentuk user acquisition cost bagi Go-Jek untuk menarik pengguna menggunakan Go-Food, Go-Send, dan berbagai jasa yang ditawarkan Go-Jek lainnya.

Dan di atas unit-unit usaha itu semua, aspek fintech -- melalui Go-Pay -- yang menjadi sasaran utama dari Go-Jek. Mendapatkan pengguna sebanyak-banyaknya, atau user acquisition, melalui bujuk rayu berbagai unit usaha (dari Go-Ride sampai Go-Food), menjadi penting untuk meningkatkan transaksi Go-Pay. Inilah inti dari Go-Jek, bukan Go-Food seperti klaim Nadiem yang sudah diungkapkan di awal tulisan.

Strategi serupa juga diterapkan Go-Jek di Vietnam melalui Go-Viet. Go-Ride memang belum atau bisa jadi bakal sulit menguntungkan bagi Go-Jek. Namun, di situlah pintu Go-Jek menawarkan jasa lain yang menguntungkan bagi bisnisnya, rekam jejak itu sudah terjadi di Indonesia dan Vietnam.

Baca juga artikel terkait GO-JEK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra