Menuju konten utama

Bisnis Department Store di 2019: Masih Diliputi Awan Mendung?

Melempemnya kinerja bisnis department store diprediksi akan kembali berlanjut di 2019. Namun, pengamat masih yakin akan prospek bisnis ritel.

Bisnis Department Store di 2019: Masih Diliputi Awan Mendung?
Kaos pada Gantungan Baju di Toko. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Cerita department store yang tutup bukan lagi hal yang baru, khususnya di Jakarta. Awal tahun ini saja, Centro Department Store yang eksis di Plaza Semanggi sejak 15 tahun silam terpaksa angkat kaki seiring dengan menurunnya jumlah kunjungan.

Kabarnya, Matahari Department Store bakal mengisi lapak yang ditinggalkan Centro. Namun, rencana department store milik Lippo Grup untuk berlabuh di Plaza Semanggi tersebut tak kunjung terealisasi hingga saat ini.

Kondisi yang ada justru malah memprihatikan, Nevada Store — yang merupakan gerai khusus atau specialty store di bawah bendera Matahari Department Store — saat ini justru menyusul Centro untuk tidak lagi beroperasi di Plaza Semanggi.

Untuk diketahui, Nevada Store merupakan gerai yang menjual berbagai barang dengan merek Nevada, mulai dari pakaian hingga parfum. Nevada mulai beroperasi di Plaza Semanggi sejak 2017, dan saat ini lapaknya sudah diisi oleh Ace Hardware.

Bergugurannya gerai department store yang menjual barang-barang fashion memang sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini. Banyak hal yang membuat pamor department store ini meredup, mulai dari daya beli yang menurun, pola belanja yang berubah, jual beli daring hingga persaingan bisnis ritel yang ketat.

Pelbagai tantangan tersebut pada akhirnya memengaruhi penjualan dari department store, seperti PT Matahari Department Store Tbk. Pada 2018, penjualan Matahari naik tipis sekitar 2 persen menjadi Rp10,24 triliun dari 2017 sebesar Rp10,02 triliun.

Padahal, rata-rata pertumbuhan penjualan Matahari selama lima tahun terakhir ini sekitar 9 persen per tahun. Kondisi ini juga merembet ke laba bersih perseroan. Tahun lalu, laba bersih Matahari anjlok 42 persen menjadi Rp1,09 triliun.

Melempemnya bisnis department store juga dirasakan PT Mitra Adiperkasa Tbk. Perusahaan membukukan penjualan bersih dari segmen department store sebesar Rp2,65 triliun, turun 2 persen dari tahun sebelumnya sebesar Rp2,71 triliun.

Kendati penjualan menurun, bisnis department store Mitra Adiperkasa pada 2018 sebenarnya bisa dikatakan cukup baik. Pasalnya, pada saat bersamaan, MAPI berhasil menekan biaya yang timbul dari bisnis department store itu.

Alhasil, hasil segmen MAPI kala itu melesat lima kali lipat dari Rp33 miliar menjadi Rp202 miliar. Sebagai catatan, hasil segmen adalah penjualan bersih dikurangi beban pokok penjualan dan beban langsung; beban penjualan; serta beban umum; dan beban administrasi.

Berbeda dengan dua emiten sebelumnya, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. justru mampu menorehkan kinerja positif di bisnis department store. Penjualan Ramayana pada segmen pakaian dan aksesoris naik 10 persen menjadi Rp4,13 triliun pada 2018.

Infografik Prospek Pasar Fesyen di Indonesia

Infografik Prospek Pasar Fesyen di Indonesia. tirto.id/Nadya

Masih Prospektif?

Bagaimana dengan prospek bisnis department store di tahun ini? Jika melihat kinerja emiten-emiten yang mengelola department store pada kuartal pertama 2019, prospek menggenjot bisnis yang menyediakan barang-barang fashion ini agaknya masih diliputi awan mendung.

Matahari, misalnya, memiliki kinerja penjualan yang tidak terlalu menggembirakan. Pada kuartal I/2019, penjualan bersih perusahaan yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia ini turun 2 persen dari periode yang sama tahun lalu, menjadi sebesar Rp1,92 triliun.

Loyonya penjualan pada akhirnya berimbas ke laba bersih. Pada kuartal pertama, Matahari membukukan laba bersih senilai Rp143 miliar, atau anjlok 42 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp247 miliar.

Meski penjualan sedang seret, direksi Matahari masih optimistis dengan bisnis ritel di masa depan. Apalagi, perseroan juga terus mengembangkan omni-channel guna beradaptasi dengan perubahan sifat ritel saat ini.

"Meski penjualan melemah, kami melihat ada momentum positif dari inisiatif merchandise baru kami, khususnya di segmen youth," kata CEO dan Wakil Presiden Direktur Matahari Richard Gibson dalam siaran persnya.

Penjualan yang melempem juga terjadi pada Mitra Adiperkasa. Penjualan bersih perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki PT Satya Mulia Gema Gemilang ini dari segmen department store turun 1,27 persen, menjadi sebesar Rp622 miliar.

Namun, tidak semua departmen store mengalami masa suram. Ramayana, misalnya, masih konsisten mencatatkan pertumbuhan penjualan, meski hanya sekitar 1 persen. Pada kuartal I/2019, penjualan emiten dari segmen pakaian dan aksesoris mencapai Rp696 miliar dari sebelumnya sebesar Rp692 miliar.

Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan menilai pendapatan emiten ritel, khususnya dari department store tahun ini, masih akan tertekan. Kondisinya kurang lebih sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

"Namun, saya masih yakin dengan prospek ritel ini, terutama jika barang yang dijual sifatnya adalah kebutuhan pokok. Bagaimanapun, demand untuk sandang itu masih besar," tuturnya kepada Tirto.

Proyeksi Alfred ini sejalan dengan data dari Statista. Menurut data Statista, penjualan barang-barang fashion di Indonesia diproyeksikan tumbuh 11 persen per tahun selama periode 2019-2023, di mana nilai pasar fashion pada 2023 menembus 3,94 miliar dolar AS.

Di samping itu, penjualan yang tipis sebenarnya bukan berarti kinerja emiten ritel buruk. Hal ini lantaran strategi yang dilakukan emiten ritel saat ini adalah meminimalisir biaya guna menaikkan laba perseroan.

Ramayana, misalnya. Meski penjualan dari segmen department store hanya naik 1 persen, Ramayan berhasil meraup laba usaha Rp42 miliar pada kuartal I/2019 dari sebelumnya rugi sebesar Rp14 miliar pada kuartal I/2018.

MAPI juga demikian. Meski penjualan turun 1,27 persen, perseroan berhasil membukukan laba usaha atau hasil segmen dari bisnis department store sebesar Rp39 miliar, atau naik 26 persen dari sebelumnya sebesar Rp31 miliar.

"Jadi jika ada gerai yang ditutup itu bukan berarti pertanda buruk bagi emiten ritel. Bisa saja itu adalah hal yang bagus demi mengurangi kerugian atau menaikkan laba, sehingga kinerja bottom line mereka tetap positif," jelas Alfred.

Baca juga artikel terkait BISNIS RITEL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara