Menuju konten utama

Bisnis Criterion Colection: Antara Industri dan Edukasi


Menjual film klasik dalam rilisan fisik eksklusif.

Bisnis Criterion Colection: Antara Industri dan Edukasi
Kolase dari koleksi Criterion. FOTO/The Criterion

tirto.id - Restorasi Lewat Djam Malam dan Kisah Tiga Dara karya Usmar Ismail merupakan usaha penting merawat arsip film Indonesia. Langkah yang bisa dibilang sebagai terobosan saat selera film dibentuk jaringan bioskop komersial dan akses terhadap film-film klasik terbatas. Usaha restorasi film tadi layak mendapatkan apresiasi.

Bagi penikmat film fanatik, menonton tayangan tidak hanya menikmati cerita, tapi menikmati kualitas tayangan yang prima sekaligus mengkhidmati karya-karya sutradara yang bermutu. Mereka menikmati karya-karya yang dianggap obscure atau snobs, dalam artian tidak banyak yang paham dan bisa mengerti. Ini yang menyebabkan tayangan seperti HBO, Netflix, atau Amazon jarang ditonton para penonton film klasik yang fanatik atau cinephiles.

Meski istilah cinephiles mengalami peyorasi, tapi sebenarnya mereka adalah orang-orang yang ingin menonton film klasik bermutu yang tidak lagi beredar. Film-film tersebut menjadi obscure, langka, atau susah dilihat karena keterbatasan medium yang menayangkan.

Terobosan Criterion

Salah satu perusahaan yang menyediakan akses itu adalah Criterion Collection, distributor film-film klasik yang dianggap sebagai karya penting dalam sejarah sinema. Mereka mendistribusikan film dalam bentuk fisik dari sutradara seperti Akira Kurosawa, Luis Buñuel, Charlie Chaplin, Federico Fellini, Jean-Luc Godard, dan François Truffaut.

Giovanni Rustanto, seorang seniman visual dan penikmat film yang tinggal di Karawaci, menyebut bahwa Criterion Collection punya peran penting dalam edukasi dan arsip. Baginya menonton film-film yang dikurasi Criterion bukan semata tontonan, tapi juga proses untuk mempelajari sejarah film-film dunia dari berbagai aliran/gaya.

“Criterion tidak hanya menyajikan film sebagai hiburan tetapi mengedukasi kita sebagai penikmat film dan membuat kita menghargai film klasik terutama arthouse cinema. Memang over price tetapi menurut saya worth it, karena isinya bukan hanya filmnnya saja tetapi ada supplement menu yang bisa mengakses behind the scene atau esai tentang film tersebut,” katanya.

Giovanni menyebut, bagi banyak filmmaker atau mereka yang berkecimpung dengan seni film, produk Criterion membantu mereka untuk memahami apa itu sinematografi yang baik, cerita yang bagus, dan konsep yang segar. Criterion menghadirkan film-film yang dikurasi dengan baik berdasarkan banyak kriteria.

Misalnya jika anda menyukai film Prancis, tersedia film karya Godard sampai Resnais, atau Renoir, Marcel Carne, dan Jean Vigo. Penyusunan kurasi dan film-film yang dipilih oleh Criterion diakui sebagai salah satu yang bagus.

Dimas Jayasrana Founder dan Direktur Operasional spektakel.id, sebuah platform direktori acara seni budaya nusantara dan juga penggemar film, menyebut keberadaan Criterion penting karena dua hal: arsip film-film klasik penting dan sebagai koleksi. Ia menyebut produk Criterion berbeda dengan penjualan DVD film kebanyakan.

"DVD/Cakram yang dijualkan dikemas sedemikian rupa dengan gimik-gimik dan itu yang dicari para kolektor cinephile," katanya.

Menurut Dimas, bisnis yang dikerjakan Criterion sangat terbatas dan niche. Mereka menjual produknya lumayan mahal dalam jumlah terbatas, kadang mereka menjual produk eksklusif yang tidak lagi diproduksi dan dijual hanya sekali itu saja. Seperti boxset Akira Kurosawa atau Rialto Pictures.

Criterion di Antara Bisnis dan Edukasi

Criterion lahir dari Industri yang sudah jalan dan matang. Sehingga bagi penggemarnya mengeluarkan uang lebih banyak untuk produk premium bukan masalah. Sebagai perusahaan mereka tidak hanya memilih dan mengkurasi film yang ada, tapi juga memberikan edukasi bagi penontonnya.

Dimas memberi contoh, di mana bisa menonton film klasik dari Rhoma Irama? Atau film horor klasik dari Suzana? Ketiadaan arsip dengan mutu yang prima membuat banyak generasi muda Indonesia tak bisa mengakses film klasik bermutu.

"Kalau kita, kan, susah. Banyak tulisan membahas sejarah sinema Indonesia sembari berharap generasi muda akan peduli. Tapi mau nonton film-filmnya saja tak mungkin. Paling banter di Youtube, itu pun kualitasnya sedih sekali," kata Dimas.

infografik the criterion collection

Pada awal 2011 Hulu dan Criterion pernah membuat kesepakatan kerja sama untuk menayangkan 800 judul koleksi mereka. Dengan biaya langganan 8 dolar per bulan sudah bisa menikmati berbagai film penting dalam sejarah sinema dunia. Kerja sama ini memuaskan Hulu dan Criterion yang, pada 2013, pelanggan Hulu telah mencapai lebih dari lima juta pelanggan dan penghasilan tahunan mencapai satu miliar dolar.

Saat ini Criterion bekerja sama dengan FilmStruck dan mengakhiri kerja sama mereka dengan Hulu. Layanan terbaru ini menghadirkan lebih dari 1.100 film dari perpustakaan koleksi mereka. Ini adalah gebrakan penting setelah 30 tahun fokus pada rilisan fisik. Melalui situs resminya, presiden Criterion menyebut mereka ingin memberikan akses terhadap lebih banyak penonton untuk bisa menonton film-film klasik mereka.

Michael Hession dari Gizmodo menulis bahwa usaha Criterion meresotorasi dan memberikan catatan atau behind the scene dari film-film klasik dunia telah mengubah cara pandang terhadap film. Jika selama ini keping CD film melulu berfungsi sebagai tontonan, Criterion menjajikan perspektif yang lebih dalam. Misalnya untuk memahami film Jepang, Criterion telah merestorasi karya penting sinematografi Jepang mulai dari Akira Kurosawa, Yasujirō Ozu, Kenji Mizoguchi, hingga Shohei Imamura dalam kondisi yang paling baik.

Lee Kline, anggota editor dan perestorasi film dari Criterion menyebut usaha mereka untuk memperbaiki mutu film adalah usaha panjang. Misalnya, untuk merestorasi film Foreign Correspondent (1940) karya Alfred Hitchcock, tim dari Criterion datang langsung ke Library of Congres yang menyimpan copy versi orisinalnya. Dari sana mereka melakukan pemindaian dengan resolusi 2k frame per frame lantas mengkonversinya dalam berkas digital.

Pekerjaan ini dilakukan dengan penuh dedikasi. Dan mereka tentu tidak asal merestorasi. Ada tim tersendiri yang sebelumnya mengkurasi film apa saja yang dianggap layak direstorasi.

Tim dari Criterion akan membawa berkas film yang telah dipindai untuk perbaikan, warnanya diperbaiki, debu, baret, dan gambar rusak diperbaiki, audio ditingkatkan kualitasnya. Tim menggunakan cara manual dan digital untuk melihat secara kasat mata apa yang salah, setelah itu akan ada perangkat lunak yang mendeteksi gambar rusak dari frame film, dan re-touching akan dilakukan secara manual frame per frame.

Proses ini bisa memakan waktu dari beberapa minggu hingga beberapa bulan, tergantung kualitas film yang didapat. Setelah dianggap selesai, direktur pengawasan seni Criterion Eric Skillman akan membuat kemasan yang memukau untuk film tersebut.

Giovanni menyebut bahwa dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini, televisi bisa menghasilkan gambar dengan kualitas 4k. Ia merasa restorasi bisa membantu menghadirkan pengalaman berbeda menonton film-film klasik. Ia menilai film tidak melulu cuma soal cerita dan gambar, tapi juga bagaimana penggambilan gambar dan segi visual lainnya.

“Saya mengoleksi Criterion bukan bedasarkan produk Criterion-nya tetapi lebih daripada minat saya pada filmmaker yang memang saya pelajari dan saya hargai,” katanya.

Giovanni dan Dimas sepakat bahwa beberapa film hasil kurasi Criterion tak bisa dinikmati semua orang. Misalkan film eksperimental dan bisu yang mungkin akan susah dipahami orang. Criterion membuat banyak penonton dan pemilik cakram fisiknya memiliki gengsi tersendiri. Tapi, menurut Giovanni, ini bukan soal gengsi yang paling penting, tetapi bagaimana penonton mengapresiasi sinema.

“Menurut saya Criterion buat orang yang ingin tau dan belajar tentang sinema balik lagi bukan hanya hiburan. Criterion for education rather than entertainment,” katanya.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Marketing
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS