Menuju konten utama
Dampak Pandemi Corona

Bisakah Strategi Jokowi Genjot Konsumsi Selamatkan RI dari Resesi?

Peneliti Indef Abdul Manap khawatir komponen konsumsi rumah tangga tak bisa meningkat maksimal di Q3 2020 agar pertumbuhan ekonomi positif.

Bisakah Strategi Jokowi Genjot Konsumsi Selamatkan RI dari Resesi?
Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin rapat kabinet terbatas mengenai percepatan penanganan dampak pandemi COVID-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Pool/wsj.

tirto.id - Realisasi anggaran terus menjadi perhatian Presiden Joko Widodo dalam beberapa bulan terakhir. Ia selalu meminta para pembantunya di kabinet menggenjot penyerapan anggaran agar pertumbuhan ekonomi kuartal III (Q3) 2020 bisa terselamatkan.

Selasa (11/8/2020) lalu, ia meminta penyaluran bansos dipercepat terutama untuk menggenjot konsumsi rumah tangga. Sejalan dengan itu, upaya meningkatkan serapan anggaran juga didorong melalui perpanjangan bansos sampai Desember 2020, gaji ke-13 ASN TNI-Polri, dan bantuan Rp600 ribu bagi karyawan bergaji di bawah Rp5 juta.

Beberapa hari sebelumnya, larangan perjalanan dinas yang semula ditujukan menghemat anggaran demi penanganan COVID-19 dicabut. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi meminta kementerian di bawahnya melakukan rapat di 8 destinasi wisata.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan menggenjot belanja Rp1.700 triliun di Q3-Q4 2020 dengan Rp700 triliun di Q3. Harapannya pertumbuhan Q3 2020 bisa positif.

“Bapak Presiden tadi pagi (12/8/2020) mendorong agar belanja dipacu. Kalau belanja dipacu diharapkan kita bisa masuk jalur (pertumbuhan ekonomi) positif,” ucap Airlangga dalam pembukaan virtual rapat kerja dan konsultasi APINDO, Rabu (12/8/2020).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan ragu bila ramuan menggenjot belanja ini bisa menggenjot ekonomi secara signifikan di Q3 2020. Ia bilang banyak kementerian/lembaga tak tahu harus membuat program apa seperti tergambar tingginya porsi anggaran yang tak memiliki Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) mencapai 40% dari Rp695 triliun.

Belanja pemerintah juga banyak terkendala data. Misalnya penyaluran bansos menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tahun 2015 yang tak mutakhir sehingga sulit menjamin ketepatan sasarannya. Hal ini semakin menyulitkan niat pemerintah mendorong konsumsi yang porsinya 57,85% PDB Q2 2020 lantaran daya beli masyarakat terbawah tidak banyak terkerek.

Bantuan UMKM yang berkontribusi 60% PDB juga terkendala. Realisasi PEN cukup rendah hanya 26,4% dari Rp123,46 triliun. Sebabnya terkendala siapa yang sebenarnya layak menerima di samping kendala komunikasi UMKM dan perbankan.

Keadaan itu diperburuk dengan kecilnya peran konsumsi pemerintah terhadap PDB, hanya 8,67% dari PDB di Q2 2020. Kalau pun sudah disalurkan sebanyak-banyaknya, dampaknya tidak seberapa jika tidak dibantu komponen lain seperti konsumsi rumah tangga apalagi penyalurannya tak tepat sasaran.

“Kenapa itu tidak maksimal kemarin? Banyak masalah,” ucap Manap dihubungi reporter Tirto, Rabu (12/8/2020).

Persoalan semakin pelik usai belanja yang digenjot justru kontraproduktif dengan penanganan COVID-19. Ia bilang menggenjot perjalanan dinas dan rapat di destinasi wisata justru berpotensi memperparah lonjakan kasus dan klaster baru meski dalihnya mendongkrak ekonomi.

Tim Covid-19 Analytics MIT Operations Research Center memperkirakan kasus COVID-19 di Indonesia akan melonjak jadi 200.000 per September 2020 dan menjadi 300.000 di November 2020.

Manap mengingatkan tingginya kasus COVID-19 akan membuat sebagian masyarakat terutama menengah dan atas menahan konsumsinya akibat ketidakpastian. Ia khawatir komponen konsumsi rumah tangga tak bisa meningkat maksimal di Q3 2020 agar pertumbuhan ekonomi positif.

Survei Indeks keyakinan konsumen (IKK) Juli 2020 menghasilkan angka 86,2 naik tipis dari titik terendah 83,8 (Mei). Karena nilainya di bawah 100, maka persepsi konsumen masih pesimis terutama untuk konsumsi dan belanja.

Survei penjualan eceran BI yang menghasilkan Indeks Penjualan Riil (IPR) mencatat pada Juni 2020 masih terkontraksi 17,1% yoy, sedikit membaik dari Mei 2020 yang terkontraksi 20,6%. Kontraksi ini menggambarkan penjualan hampir seluruh kelompok komoditas belum pulih karena masih mengalami penurunan.

Ia pun tak heran bila insentif bantuan gaji karyawan swasta nanti berpotensi malah disimpan saja. Sebab masyarakat justru mengantisipasi krisis yang ingin dihindarkan pemerintah lewat stimulus itu sendiri.

“Harusnya COVID-19 diperbaiki dulu, baru ekonomi mengikuti,” ucap Manap.

Sementara peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan tanpa adanya jaminan COVID-19 berakhir, maka masyarakat akan menahan konsumsi. Ia memperkirakan pertumbuhan konsumsi Q3 masih tertahan di kontraksi 2-3% meski sedikit lebih baik dari Q2 kontraksi 5,3%.

Imbasnya ekonomi juga tidak akan banyak bisa berdenyut. Industri menahan diri lantaran penambahan kapasitas terasa percuma tanpa kenaikan permintaan.

Efeknya dapat menghambat realisasi anggaran stimulus yang diharapkan bisa mendorong pemulihan. Sebab sebagian stimulus justru menunggu dulu adanya perusahaan yang mau beraktivitas lagi seperti halnya modal kerja, padat karya, dan penjaminan pinjaman korporasi.

Dalam situasi ini, Yusuf menilai kontraksi di Q3 2020 bisa jadi tak terhindarkan. Ujungnya peluang resesi teknikal akibat kontraksi 2 kuartal berturut-turut terus terbuka.

“Jika kasus COVID-19 masih meningkat, sampai dengan akhir Agustus saja, maka akan sulit berharap pertumbuhan ekonomi di kuartal III untuk tidak terkontraksi,” ucap Yusuf saat dihubungi, Rabu (12/8/2020).

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz