Menuju konten utama

Bisakah Silicon Valley Gulingkan Dominasi Hollywood?

Netflix bergabung dengan Motion Picture Association of America, sebuah paguyuban studio-studio film Amerika Serikat.

Bisakah Silicon Valley Gulingkan Dominasi Hollywood?
Ilustrasi Hollywood. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Penulis skenario, sutradara, sekaligus produser film Paul Haggis memutuskan pindah tempat tinggal dari Hollywood ke negara bagian lain Amerika Serikat. Dalam penuturannya pada The Guardian, keputusannya hengkang dari Hollywood salah satunya karena wilayah itu "dikelola oleh sekelompok studio dan korporasi raksasa yang bikin sesuatu hanya kalau bisa dijual".

Akibatnya, lanjut Haggis, dalam hal kreativitas Hollywood sering ketinggalan dibandingkan tempat-tempat lainnya di Amerika Serikat.

“Los Angeles adalah kota yang berorientasi pada satu industri (film), dan percakapan di dalamnya jadi itu-itu saja,” ungkap Haggis.

Hollywood, sebuah kawasan yang terletak di Los Angeles, California, terkenal sebagai pusat industri film, bukan hanya bagi Amerika Serikat, tapi juga dunia. Studio-studio besar ada di sini, dari Walt Disney Studios, 21 Century Fox, hingga Paramount Studio. Sayangnya, keperkasaan Hollywood kian memudar. Salah satu indikasinya, sebagaimana dilaporkan Vanity Fair, adalah tingkat keterisian kursi bioskop mencapai titik terendah dalam 19 tahun terakhir, dengan total pendapatan yang hanya mencapai $10 miliar. Angka itu disebut-sebut hanya senilai pergerakan saham Amazon, Facebook, atau Apple dalam satu hari saja. Padahal, penjualan tiket bioskop adalah penopang utama pemasukan studio-studio Hollywood.

Salah satu masalah yang menggelayuti Hollywood adalah adanya ketimpangan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian yang dilakukan University of Southern California, dari 1.100 film yang dibuat selama 11 tahun terakhir oleh Hollywood, hanya 4 persen yang disutradarai oleh perempuan. Artinya, hanya ada satu di tiap 22 sutradara film-film Hollywood.

Penelitian juga menemukan bahwa karier sutradara perempuan lebih pendek. Mereka rata-rata memulai karier lebih belia dan berakhir lebih awal daripada laki-laki. Dalam catatan penelitian tersebut, 83,7 persen perempuan tidak pernah menyutradarai film kedua. Sementara sutradara laki-laki yang hanya sekali menyutradari film sebanyak 55,3 persen.

Merosotnya pamor Hollywood kontras dengan Silicon Valley, sebuah kawasan di Teluk San Fransisco, California, yang menjadi markas perusahaan-perusahaan teknologi seperti Google, Facebook, Intel, hingga Apple.

“Silicon Valley adalah Hollywood di abad ke-21,” tutur Bebe Chuen, pendiri Atrium, firma hukum yang membantu proses legal startup.

Pamor Silicon Valley menanjak sejak 2008, ketika perusahaan-perusahaan IT besar yang hari ini berjaya mulai menampakkan tajinya dan para lulusan Ivy League (kampus-kampus terbaik di Pantai Timur AS) memutuskan untuk tidak hijrah ke Wall Street. Anak muda dengan karakteristik berbeda dari generasi-generasi sebelumnya ini berlabuh di Silicon Valley.

“Anda tak perlu bertahun-tahun memanjat tangga perusahaan konvensional untuk sukses. Anda bisa mewujudkannya ketika berusia 22 tahun di sini, di Silicon Valley,” tegas Belani.

Menurut Troy Carter, mantan manajer Lady Gaga yang kini hijrah ke Silicon Valley untuk menjadi investor, tempat barunya itu adalah “pembalasan dendam para kutu-buku”, orang-orang yang dulu dianggap tidak keren karena gemar menghabiskan waktu di depan komputer dan kini luar biasa sukses.

Sebagai kawasan yang menghadirkan perspektif baru, Silicon Valley membawa kesetaraan. Dalam laporan Recode, perusahaan-perusahaan asal Silicon Valley memiliki tingkat kesetaraan antarkaryawan paling baik. Indikasinya, gaji kepala eksekutif dengan rata-rata gaji karyawan di perusahaan tidak terlalu jauh. Twitter, Alphabet (Google), memiliki perbedaan gaji bahkan hanya “0x” (0 kali lipat). Di Tesla, perbedaan gaji antara kepala eksekutif dengan rata-rata gaji karyawan sebesar “0,9x.”

Bandingkan misalnya dengan gaji di Hollywood. Seorang juru kamera, yang memperoleh gaji rata-rata dalam proses penciptaan film, dapat membawa pulang uang sekitar $300 ribu untuk satu film. Di sisi lain, eksekutif studio minimal memperoleh pendapatan sebesar $5 juta.

Sayangnya, meski terlihat tanpa cela, Silicon Valley juga memiliki wajah buruk yang tak berbeda dengan Hollywood. Sebagaimana dilaporkan Bloomberg, ada kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam hal gaji. The Carta, yang meneliti 180 ribu karyawan menemukan fakta bahwa para perempuan hanya memperoleh 47¢ dari tiap $1 yang diterima karyawan laki-laki.

“Saya merasa tidak dihargai dengan layak,” kata narasumber dalam laporan Bloomberg.

Selain ada kesenjangan, Silicon Valley adalah tempat yang didominasi laki-laki. Startup-startup yang lahir di sini umumnya dirintis laki-laki. Sebagian besar pendanaan dari investor jatuh ke startup-startup tersebut. Tercatat, hanya 2,2 persen pendanaan yang masuk ke startup yang didirikan perempuan pada 2017 lalu.

Lalu, masalah lain yang menjangkiti Silicon Valley adalah harga properti di kawasan tersebut telah melejit hingga mencekik para pekerja di Silicon Valley. Rata-rata harga sewa apartemen dengan dua kamar tidur di Silicon Valley dipatok $4.200 per bulan. Rata-rata itu, jauh lebih tinggi daripada lokasi manapun di AS. Untuk mengatasi masalah ini, Zapier, salah satu startup di Silicon Valley, memulai program pemberian uang senilai $10 ribu jika pegawainya mau meninggalkan Silicon Valley.

Ketika Netflix Pindah Haluan

Pada 2005, dalam laporan “The Cost of Movie Piracy” yang diterbitkan Motion Picture Association, studio-studio Hollywood mengalami kerugian hingga $6,1 miliar akibat pembajakan film. Angka kerugian tersebut kini diperkirakan meningkat. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya jumlah kunjungan ke situs-situs pembajakan di seluruh dunia. Pada 2017, menurut Variety, ada 300 miliar kunjungan ke situs-situs pembajakan. Dari angka tersebut, sebagian kunjungan dibantu oleh raksasa-raksasa Silicon Valley, baik melalui fasilitas mesin pencari maupun media sosial.

Merujuk pasal 230 Communications Decency Act, perusahaan seperti Facebook, Google, dan raksasa internet lainnya terlindungi dari tuduhan pembajakan. Pasalnya, konten-konten bajakan khususnya film diunggah oleh pengguna. Konten-konten ini termasuk dalam kategori “user-generated-content”. Selama Google, Facebook, dkk., mau menghapus konten bajakan di layanan mereka ketika diminta Hollywood, perusahaan-perusahaan IT tersebut aman.

Inilah sebabnya Hollywood-Silicon Valley tak akur. Hollywood merupakan industri yang hidup dari menjual konten, sementara Silicon Valley hidup dengan memberikan kemudahan apapun bagi penggunanya. Termasuk kemudahan mengkonsumsi konten, meskipun bajakan.

Netflix, merupakan perusahaan dengan posisi unik dalam Hollywood vs Silicon Valley. Di awal kemunculannya sebagai penyaji layanan streaming film, Netflix adalah perusahaan teknologi. Salah satu buktinya, sebagaimana dilaporkan Wired, Netflix merupakan anggota Internet Association sejak 2013. Internet Association merupakan grup yang terdiri dari 50 perusahaan IT besar di Amerika Serikat, yang salah satu tugasnya melakukan lobi-lobi politik.

Sayangnya, sebagai penyedia konten, Netflix tak luput dari pembajakan. Masih dalam pemberitaan Variety, 53 persen pembajakan menimpa layanan-layanan streaming, termasuk Netflix.

Infografik Hollywood Valley

Infografik Hollywood Valley. tirto.id/Fuad

Akibatnya, sejak akhir Januari 2019 Netflix memutuskan “hengkang” dari Silicon Valley untuk bergabung dengan Hollywood dan masuk Motion Picture Association of America (MPAA), sebuah paguyuban studio-studio Hollywood yang salah satu tugasnya menekan pemerintah agar membuat perusahaan-perusahaan IT ditindak atas penyebaran film bajakan di internet.

“Tujuan utama kami menciptakan konten terbaik [...] dan tidak terjebak dalam model bisnis teknologi,” tegas Reed Hastings, Kepala Eksekutif Netflix.

Netflix memang berbeda dibandingkan perusahaan Silicon Valley lainnya. Sejak 2017, mereka tergabung dalam aliansi anti-pembajakan Alliance for Creativity and Entertainment. Selain itu, guna membendung pembajakan mereka pun merilis Black Mirror: Bandersnatch, film interaktif yang sulit dibajak. Black Mirror: Bandersnatch memang muncul di jejaring Pirate Bay, gudang pembajakan di Internet. Namun tak satu pun versi yang beredar memberikan pengalaman interaktif yang sama dengan film aslinya di Netflix.

Berkembangnya pembajakan film di dunia maya secara umum adalah bagian dari disrupsi teknologi. Masyarakat meninggalkan kaset, CD, Vinyl karena ingin mendengarkan playlist yang yang bisa dibongkar pasang sesuka hati. Di industri media, koran atau majalah dianggap merepotkan dan lambat. Orang memilih aplikasi yang bisa menyeleksi berita yang benar-benar mereka butuhkan.

Spotify, Joox, Flipboard, Google News terbukti telah melibas pemain-pemain lama yang lambat beradaptasi. Yang tenggelam berikutnya mungkin Hollywood.

Baca juga artikel terkait PERUSAHAAN TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf