Menuju konten utama

Bisakah Polisi Campur Tangan Berantas Mafia Sepak Bola Indonesia?

Kepolisian berencana memberantas mafia sepak bola Indonesia. Salah satunya membentuk satgas pemberantasan pengaturan skor. Tapi apa secara hukum mungkin?

Bisakah Polisi Campur Tangan Berantas Mafia Sepak Bola Indonesia?
Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi memaparkan program pencapaian prestasi sepak bola Indonesia di Medan, Sumatera Utara, Rabu (5/12/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana

tirto.id - Pengaturan skor dalam sepak bola di Indonesia adalah rahasia umum. Hampir saban tahun, selalu ada kasus yang muncul ke permukaan. Kejahatan itu tak mengenal kasta kompetisi. Ia bisa terjadi di level tertinggi maupun kelas teri.

Dalam acara Mata Najwa bertajuk “PSSI Bisa apa?” yang disiarkan 28 November 2018 lalu, Manajer Madura FC Januar Herwanto mengungkapkan dirinya pernah ditawari untuk mengatur skor saat timnya bersua PSS Sleman di babak kualifikasi Liga 2 2018. Orang yang menawari Januar adalah elite PSSI.

“Oknum Exco [Komite Eksekutif] PSSI itu awalnya minta ketemu saya sebelum pertandingan saat laga babak penyisihan. Kami away ke Sleman. Komunikasi itu mulai tanggal 1 dan 2 Mei lalu,” kata Januar.

Tak lama setelah itu, Senin (3/12/2018), anggota Exco PSSI Hidayat mundur dari jabatannya. Hidayat mundur setelah dituduh terlibat dalam skandal pengaturan skor yang disebut Januar.

Bahkan tadi malam di acara yang sama, mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Andi Darussalam Tabusalla (ADT)--yang kerap disebut godfather dalam dunia sepak bola Indonesia--mengaku kalau praktik pengaturan skor memang masih terjadi, dan PSSI bukanlah organisasi yang bersih.

Kepolisian RI berencana turut serta memberantas mafia ini. Mereka akan membuat satuan tugas pemberantasan pengaturan skor.

“Bareskrim menugaskan direktur pidana umum untuk bekerja sama dengan PSSI guna mengantisipasi pengaturan skor. Akan ada semacam satgas untuk memberantas hal tersebut,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Selasa (18/12/2018).

Niat polisi jelas patut diapresiasi, tapi dari sisi aturan, bisakah mereka melakukan itu?

Banyak Aturan Bisa Dipakai

Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai polisi memang bisa masuk ke ranah tersebut, bahkan tanpa perlu membuat kesepakatan dengan PSSI. Malah sebaiknya begitu, kata Fickar, sebab jika diformalkan justru para mafia akan lebih berhati-hati.

“Kalau buat MoU, para mafia jadi berhati-hati,” kata Fickar kepada reporter Tirto, Rabu (19/12/2018).

Ada beberapa delik yang bisa disangkakan bagi pelaku pengaturan skor. Ini dilakukan seperti penyelidikan tindak pidana pada umumnya.

“Tidak harus meneken MoU. Dengan kewenangannya, polisi bisa menerobos bila ada indikasi tindak pidana,” katanya.

Polisi bisa turun tangan menangani skandal pengaturan skor karena termasuk tindak pidana perjudian, kata Fickar. Perjudian itu diatur dalam Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pada pasal tersebut tertulis: “Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.”

“Perjudian merupakan delik biasa bukan delik aduan. Polisi bisa menyelidiki tidak hanya perjudian, tapi juga bisa tindak pidana perbuatan curang atau penipuan,” jelas Fickar. Tindak pidana perbuatan curang atau penipuan juga diatur dalam KUHP.

Polisi, kata dia, juga bisa menerapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang dalam skandal pengaturan skor.

“Jadi tidak perlu dasar hukum baru,” tambah Fickar.

Hal serupa pernah diungkapkan pegiat antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho. Ia mengatakan kalau contoh soal itu di negara lain sudah ada, yaitu di Singapura pada 2015. Kala itu, kata Emerson, komisi antikorupsi Singapura (CPIB) turun tangan menangani perkara pengaturan skor pertandingan antara Malaysia vs Timor Leste di Sea Games 2015. Dalam perkara itu, CPIB berhasil menyeret 3 pelaku ke meja hijau, salah satunya adalah Nasiruddin, warga negara Indonesia.

Sementara peneliti hukum olahraga di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Eko Noer Kristiyanto menyebut aturan lain yang juga bisa dipakai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Kata Eko, regulasi itu berbeda dengan aturan suap dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Menurut dia, Undang-Undang tersebut tidak terbatas pada penyelenggara negara. Selain itu, kata Eko, UU ini juga mengandung pasal yang menjerat penerima suap.

“Itu sangat relevan diterapkan di suap-suap yang konteksnya di swasta, termasuk di sepak bola seperti ini,” kata Eko, Jumat (14/12/2018).

PSSI Harus Inisiatif

Wartawan senior Kompas sekaligus pengamat olahraga, Budiarto Shambazy, mengatakan perlu waktu lama untuk menumpas mafia pengaturan skor di Indonesia. Ini tak akan lebih cepat meski polisi benar-benar turun tangan. Diperlukan juga niat dari PSSI sendiri sebagai induk sepak bola Indonesia, kata bekas anggota Tim Sembilan ini.

“Kalau tidak ada keseriusan dari PSSI, hal ini akan menjadi ancaman terus-menerus. Apalagi makin modern, suap makin susah dideteksi,” ujar Budiarto kepada reporter Tirto.

Masalahnya, kata Budiarto, PSSI di bawah kepemimpinan Edy Rahmayadi saat ini cenderung pasif.

“Ketua Umum PSSI harus inisiatif. Paling tidak ia bicara ke media, jangan bungkam. Teriak ke publik [soal niat membasmi skandal], kalau diam saja jadinya hanyut, tidak kelar,” pungkas Budiarto.

Baca juga artikel terkait PENGATURAN SKOR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abul Muamar