Menuju konten utama

Bisakah Piutang Lapindo Digunakan untuk Bayar Talangan Ganti Rugi?

SKK Migas menyebut piutang yang dianggap Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya ‎hingga saat ini masih merupakan unrecovered cost.

Bisakah Piutang Lapindo Digunakan untuk Bayar Talangan Ganti Rugi?
Seorang ibu bersama anaknya korban lumpur Lapindo menunjuk pusat semburan dari titik 25 tanggul penahan lumpur Lapindo saat aksi memperingati 12 tahun semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (29/5/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Pembayaran utang dari PT Minarak Lapindo Jaya kepada pemerintah untuk ganti rugi korban lumpur Sidoarjo tampaknya bakal berlarut-larut. Sebab, perusahaan yang ditunjuk Lapindo Brantas, Inc. itu mengajukan permohonan 'tukar guling' buat melunasi kewajibannya sebelum masa jatuh tempo pada 11 Juli mendatang.

Berdasarkan rilis Lapindo yang diterima Tirto, 25 Juni 2019, mereka mengklaim punya piutang terhadap pemerintah sebesar 138,2 juta dolar AS atau (sekitar Rp1,9 trilliun) yang telah diketahui BPKP saat melakukan Special Audit terhadap pembukuan perusahaan.

Untuk memperkuat upaya "tukar guling" itu, Lapindo juga menyertakan surat SKK Migas bernomor SRT-0761/SKKMA0000/2018/S4 yang menyebut piutang mereka bisa diganti pemerintah (cost recoverable).

Permohonan tukar guling itu dibenarkan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Isa Rachmawarta. Lewat surat bernomor 586/MGNT/ES/19, kata Isa, Direksi Lapindo meminta utang berjumlah Rp773.382.049.559 empat tahun lalu "diperjumpakan" dengan piutang yang diklaim perusahaan.

Meski demikian, ia menyebut piutang tersebut masih perlu dikonfirmasi ke SKK Migas, terutama soal verifikasi penghitungan cost recovery tersebut.

"Kami harus cek ke SKK Migas, apakah itu bisa di-recovery [atau tidak]. Dan apakah benar sudah ada surat dari SKK Migas yang mengatakan bahwa itu bisa di-recovery," ungkap Isa di Jakarta, Selasa (25/4/2019).

Tak hanya itu, Kemenkeu juga bakal berkonsultasi dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Kejaksaan Agung terkait cost recovery tersebut.

"Apalagi isu utang Lapindo kepada pemerintah untuk menalangi ganti rugi masyarakat dengan cost recovery ini sebetulnya dua isu yang berbeda," kata Isa menambahkan.

Bisakah Skema "Tukar Guling" Dilakukan?

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmi Radhy menilai klaim piutang tersebut merupakan dampak dari perpanjangan izin operasi Lapindo Brantas, Inc. di Sidoarjo yang diberikan Kementerian ESDM tahun 2018.

Karena itu, kata Fahmi, sah-sah saja jika perusahaan milik Bakrie tersebut mengklaim dana penanggulangan lumpur sebesar Rp1,9 triliun pada 2006-2007 itu sebagai piutang.

Sebab, dalam skema cost recovery, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) harus menyediakan modal awal yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatan eksplorasi hingga pengembangan lapangan. Seluruh modal awal itu, termasuk biaya penanggulangan lumpur dijamin pemerintah dan dapat dikembalikan dalam bentuk bagi hasil setelah operasi dilakukan.

Meski demikian, kata Fahmi, skema tukar guling tetap tidak bisa dilakukan sebab hingga saat ini Lapindo belum mulai berproduksi. Karena itu, Lapindo tetap harus melunasi dana talangan yang diberikan pemerintah tahun 2015 silam.

"Kalau Lapindo menemukan cadangan dari eksplorasi, mungkin ya. Tapi kemudian timbul bencana lumpur yang merugikan negara sampai sekarang dan belum ada produksi yang dihasilkan. Sehingga penagihan dalam bentuk cost recovery itu tindakan yang mengada-ada," ucap mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini.

Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Reforminer Institui Komaidi Notonegoro. Ia mengatakan skema cost recovery baru bisa diberikan pemerintah setelah bagi hasil 85-15 persen dilakukan dan piutang tersebut akan mereduksi pendapat pemerintah.

Karena masa berlaku pembayaran cost recovery tersebut berbanding lurus dengan sisa masa kontrak, Lapindo bisa terus menagihnya sampai masa kontrak habis. "Karena sekarang, kan, belum habis masa kontraknya jadi biaya itu tetap bisa tercatat sebagai piutang," ucap Komaidi.

Cost recovery yang menjadi piutang juga bisa hilang pada jangka waktu tertentu jika perusahaan tak kembali berproduksi. Hal itu, kata Komaidi, sesuai dengan aturan pengembalian biaya operasional alias cost recovery Lapindo yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Namun, kata Komaidi, bisa jadi piutang yang diklaim tersebut memang merupakan dana penanggulangan lumpur yang belum dibayarkan. Sebab, kata dia, pasca-semburan lumpur di Sidoarjo ditetapkan sebagai bencana nasional, ada dana yang dikeluarkan oleh Lapindo yang belum tergantikan oleh APBN.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Wisnu Prabawa Taher, mengungkapkan ‎piutang yang dianggap Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya ‎hingga saat ini masih merupakan unrecovered cost.

Soalnya, kata dia, biaya penggantian kegiatan pencarian migas (cost recovery) dari negara ke operator itu--dalam hal ini Minarak Lapindo Jaya‎ di Wilayah Kerja (WK) Migas Brantas--harus sesuai dengan kontrak kerja sama yang telah disepakati.

Karena itu, Wisnu menegaskan, mekanisme pembayaran biaya tersebut juga dilakukan saat wilayah kerja yang diberikan kepada Lapindo sudah mulai berproduksi.

"Mekanismenya, sepanjang ada produksi dari WK tersebut dengan dibatasi jangka waktu WK, atas revenue yang diperoleh dapat digunakan untuk bayar unrecover cost yang nilainya akan subject to be audit," kata dia menjelaskan.

Baca juga artikel terkait LUMPUR LAPINDO atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz