Menuju konten utama

Bisakah Milenial Menabung untuk Naik Haji?

Kunci berhaji di usia muda: menabung.

Anak-anak taman kanak-kanak Indonesia bergerak di sekitar replika tempat suci umat Islam, Ka'bah, ketika mereka mensimulasikan haji di masjid Istiqlal di Jakarta, Indonesia, Sabtu, 3 November 2012. AP Photo / Achmad Ibahim

tirto.id - Umumnya, keinginan atau kesempatan untuk menunaikan ibadah haji muncul ketika menjelang atau saat senjakala usia. Salah satu faktor penyebabnya adalah biaya.

Ongkos naik haji memang tidak murah. Menurut Kementerian Agama, biaya naik haji sudah mencapai 36 juta rupiah per orang. Bagi generasi muda yang baru merintis karier atau sedang membangun bahtera rumah tangga, angka itu tentu terbilang tak sedikit.

Guna mengatasi masalah itu, pemerintah, melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), meluncurkan program bernama "Gerakan MINA" (Mari Tunaikan Haji Selagi Muda) yang bertujuan untuk mendorong kelompok usia muda bisa menjalankan ritus suci di Mekkah.

“MINA diharapkan menjadi satu gerakan nasional untuk menggaungkan keinginan berhaji sejak dini, khususnya bagi generasi milenial,” ujar Anggota Badan Pelaksana BPKH, Iskandar Zulkarnain, dalam siaran persnya.

Dalam melaksanakan Gerakan MINA, BPKH bekerjasama dengan 31 bank daerah dan syariah di Tanah Air, seperti BTN, Danamon, Maybank, OCBC Syariah, Muamalat, BNI Syariah, BCA Syariah, dan CIMB Niaga Syariah.

Bank-bank tersebut nantinya akan menyediakan tabungan khusus haji. Maybank, misalnya, menawarkan pembuatan tabungan khusus haji dan umrah bernama MyArafah yang diluncurkan pada Agustus 2018 kemarin.

Tidak Mudah

Ibadah haji tak cuma menuntut kemampuan finansial dan keilmuan, tapi juga fisik yang tangguh.

Di Indonesia, sebagian besar jemaah haji umumnya berusia senja. Catatan Kementerian Agama menyebutkan, dari 203.065 jemaah yang menunaikan ibadah haji pada 2017, sekitar 63 persen di antaranya berusia di atas 50 tahun.

Faktor itu mendorong pemerintah untuk menyediakan ruang dan kesempatan bagi kelompok usia muda untuk berhaji. Pertanyaannya: mampukah mereka secara finansial?

Andi, 32 tahun, sudah lama mendambakan untuk berhaji. Namun, sampai sekarang niat itu masih belum terealisasi. Warga asal Cibubur ini mengaku sulit menyisihkan uang untuk berhaji karena banyaknya pengeluaran yang harus dipenuhi.

“Selain masih ada cicilan KPR, saya juga susah untuk menekan kebutuhan sehari-hari. Jadi, kepake terus uangnya. Mungkin [menabung untuk berhaji] kalau beban pengeluaran sudah lebih ringan,” tuturnya kepada Tirto.

Senada dengan Andi, Reza, 30 tahun, warga asal Bandung, juga mengaku kesulitan menabung untuk keperluan haji karena diharuskan memenuhi kebutuhan mendesak lainnya.

Langkah pemerintah membidik kalangan milenial untuk berhaji memang tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi, ada anggapan, kebutuhan generasi milenial saat ini lebih banyak ketimbang generasi-generasi sebelumnya.

Di era sekarang, kebutuhan pokok masyarakat tidak lagi berkutat pada sandang, pangan, dan papan. Ada kebutuhan lain yang muncul imbas dari penetrasi internet yang kian masif. Pulsa, misalnya, yang dulunya dikenal sebagai kebutuhan sampingan, kini sudah berubah jadi kebutuhan pokok.

Dalam catatan Susenas BPS 2016 dijelaskan, rata-rata belanja pulsa dan internet per bulan di Indonesia mencapai Rp28.591 per kapita, atau setengah dari rata-rata pengeluaran beras yang senilai Rp64.566 per kapita.

Untuk beberapa kota, rata-rata pengeluaran pulsa bahkan sudah di atas Rp50.000 per kapita. Ambil contoh Jakarta Selatan (Rp57.648 per kapita), Tangerang (Rp56.669 per kapita), dan Jakarta Utara (Rp51.740 per kapita).

Di saat bersamaan, gaya hidup milenial juga cenderung konsumtif. Faktor pendorongnya tak lain dan tak bukan ialah kehadiran media sosial yang "menuntut" anak-anak muda ini mencoba hal-hal baru.

“Milenial memang banyak godaannya saat ini. Jiwa mereka itu exploring. Ingin mencoba hal-hal baru,” kata Budi Raharjo, Perencana Keuangan dari OneShildt Financial Planning, kepada Tirto.

Kendati begitu, menyisihkan uang untuk berhaji di usia muda tetaplah memungkinkan jika perencanaan keuangan disusun secara matang. Dalam perencanaan keuangan, prioritas pengeluaran tidak dilihat dari urutan kebutuhan pokok.

Bila prioritas seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, bisa saja ia mendahulukan kepentingan tersebut ketimbang lainnya. Tentu, konsekuensi yang akan dihadapi nantinya yakni tertundanya kebutuhan yang lain.

“Untuk memenuhi seluruh kebutuhan kita dalam satu waktu itu umumnya jarang terwujud. Jadi, ada tahapannya. Misal, sekarang cicil rumah, setelah selesai baru berhaji. Atau bisa juga pilih berhaji, tapi rumah ngontrak dulu,” Budi menambahkan.

Infografik Haji Milenial

Infografik Haji Milenial

Menurut Budi, keinginan berhaji mungkin akan berbenturan dengan keinginan membeli atau mencicil rumah karena faktor harga rumah yang relatif lebih mahal daripada kebutuhan pokok lainnya.

Terlepas dari bagaimana implementasinya nanti, bagi Ade Marfuddin, dosen UIN Syarif Hidayatullah, inisiatif pemerintah untuk mengajak anak-anak muda berhaji patut diapresiasi. Alasannya, gerakan ini dapat berandil dalam mengantisipasi panjangnya antrean haji yang mencapai 10 tahun lebih.

“Catatan saya, jangan sampai gerakan ini justru terkesan sebagai cara mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya di BPKH, sehingga menjadi semacam kolektor uang umat. BPKH harus mulai transparan,” tegas Ade.

Berhaji di usia muda sebenarnya bukanlah hal yang mustahil, asalkan memang ada niat untuk menyisihkan uang untuk menabung dan bersedia berkompromi dengan kebutuhan pokok lainnya. Langkah awal yang bisa ditempuh: menurunkan standar gaya hidup yang berkiblat pada gemerlap Instagram.

Baca juga artikel terkait IBADAH HAJI atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Maulida Sri Handayani