Menuju konten utama

Bisakah Diatur Tarif atau Upah Minimum Bagi Driver Ojek Online?

Selain tarif minimum, juga ada ide berlakunya upah minimum terhadap penyedia jasa ojek online. Namun, apakah ide ini bisa diterapkan dari aturan yang sudah ada?

Bisakah Diatur Tarif atau Upah Minimum Bagi Driver Ojek Online?
Pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia atau Garda melakukan aksi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

tirto.id - “Saya sepakat yang diutamakan adalah bagaimana para ojek itu dapat suatu perlindungan jumlah tarif yang memadai. Namun, pemerintah tidak akan masuk dalam perundingan.”

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi melontarkan pernyataan itu saat menggelar konferensi pers, di Kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Jakarta, Senin (2/4/2018). Budi berdalih, pemerintah akan fokus mengatur hal-hal lain terkait keselamatan dan keamanan transportasi ojek online.

Pria kelahiran Palembang ini beralasan, penentuan tarif ojek online tidak sama dengan taksi online. Menurutnya, tarif batas atas dan bawah taksi online diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek.

Sedangkan regulasi yang mengatur ojek online sebagai angkutan umum belum ada. Berdasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan ojek bukan termasuk transportasi umum.

Sikap pemerintah tersebut mendapat kritik dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Ia merujuk pada UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Berdasarkan regulasi itu, Iqbal menilai apapun yang terjadi, maka negara wajib memberikan pelayanan dan perlindungan bagi para pekerja, termasuk pengemudi ojek online.

“Berarti negara harus melindungi setiap warga negaranya yang bekerja dan memberikan pekerjaan bagi yang belum bekerja. Jelas itu perintah konstitusi,” kata Iqbal kepada Tirto, Selasa (3/04/2018).

Merujuk pada aturan tersebut, menurutnya pemerintah dapat membuat terobosan yang mengakomodir para pengemudi ojek online. Salah satunya, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai pengganti UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tujuannya agar memberikan penjelasan mengenai status kendaraan roda dua.

“Di situ bisa dibuat Perppu bahwa [kendaraan] roda dua bisa dibuat sebagai angkutan penumpang. Jadi bisa terlindungi hak-hak pekerja atau driver online,” kata Iqbal.

Dalam konteks ini, Iqbal menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melalukan intervensi dan membiarkan para pengemudi ojek online berunding dengan pihak perusahaan. Alasannya, kata Iqbal, posisi perusahaan dan driver ojek online tidak setara, sehingga perundingan tidak akan berjalan efisien.

“Kalo drivernya diajak berembuk kepada pemilik modal [pihak perusahaan], sopir ojek online ketakutan dong. Takut disuspend. Takut diputus mitranya. Harusnya pemerintah yang mempunyai daya paksa memaksa pengusaha mengikuti konstitusi dan harus melindungi para drivernya,” kata Iqbal.

Ide Upah Minimum Driver Ojek Online

Iqbal menilai, pengemudi ojek online masih memiliki payung hukum lain, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Merujuk pada regulasi itu, khususnya Pasal 1 terdapat relasi hubungan kerja antara pihak perusahaan dan mitra ojek online, sehingga pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) bisa mengambil alih masalah ini.

“Dari pasal 1 saja udah terlihat jelas jika ada tenaga kerja, perusahaan, dan juga upah. Seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan juga [bisa] ambil alih. Mereka yang pasang badan, yang pro aktif,” kata Iqbal.

Hal senada juga diungkapkan Fahmi Panimbang, peneliti dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane. Menurut Fahmi, merujuk pada UU Ketenagakerjaan itu tidak menutup kemungkinan berlakunya upah minimum bagi pengemudi ojek online.

“Menurut saya bisa, karena relasi kerjanya ada seorang yang bekerja, lalu ada pemberi kerja, seperti UU Nomor 13. Jadi yang dilakukan para sopir dan aplikator itu kan sudah jelas masuk ke Undang-Undang Ketenagakerjaan sehingga harus mengikuti regulasi soal upah minimum,” kata Fahmi kepada Tirto.

Namun, ia menambahkan regulasi soal upah minimum ini juga harus diatur kembali. Alasannya, dengan jam kerja yang beragam oleh masing-masing pengemudi ojek online, maka para aplikator bisa menghitung durasi kerja para driver ojek online dalam sehari melalui aktivasi aplikasi mereka.

Menurut Fahmi, perusahaan aplikasi bisa melihat berapa jam para sopir ojek online bekerja mencari penumpang di jalanan. Artinya, ketentuan upah minimumnya berbeda dengan perusahaan atau pabrik yang bekerja 8 jam sehari atau 48 jam per minggu.

“Kalau dia sudah bekerja sesuai peraturan, dia berhak untuk upah minimum yang sesuai [dengan yang ditentukan] pemerintah,” kata Fahmi.

Merujuk pada Pasal 88-89 UU Nomor 13/2003 telah diatur mengenai pengupahan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan serta upah minimum diatur berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

Menurut Fahmi, pemerintah bisa membuat regulasi agar pendapatan para pengemudi ojek online sesuai dengan upah minimum, seperti di daerah-daerah terkait yang berada di kisaran angka Rp2.000.000-Rp3.500.000.

Cara lain adalah dengan penetapan tarif batas bawah. Dalam penetapan tarif tersebut nantinya dihitung besaran jumlah pendapatan selama sebulan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) di tempat kerja sopir ojek online tersebut.

“Jadi penetapan tarif itu mencerminkan setidak-tidaknya upah layak yang diterapkan selama ini [masing-masing provinsi]. Tuntutan teman-teman kemarin kan Rp4.000/km. Menurut saya layaklah tuntutan teman-teman kalau segitu. Soalnya kalau tarif kemarin, yaitu Rp1.600/km terlalu murah,” kata Fahmi.

Fahmi menambahkan Kementerian Tenaga Kerja memiliki peran yang penting dalam polemik antara sopir ojek online dan perusahaan atau penyedia aplikasi. Menurutnya, mitra ojek online termasuk angkatan kerja yang harus dilindungi oleh Kemenaker dengan regulasi-regulasi yang ada.

“Kan Kemenaker harus melihat ini angkatan kerja yang juga harus dilindungi [oleh] Kemenhub dan Kemenaker. Jadi Kemenaker harus turut campur seperti dalam aspek perlindungan mereka. Dengan terus membuat aturan-aturan regulasi yang memastikan kalau para perusahaan-perusahaan online ini tidak sewenang,” katanya..

Dalam konteks ini, Kemenhub mengusulkan agar tarif ojek online menjadi Rp2.000 per kilometer. Tarif tersebut sudah termasuk keuntungan dan biaya jasa, karena berdasarkan perhitungan yang dilakukan, harga tarif pokok yang pantas yakni di kisaran Rp1.400-Rp1.500.

“Kemenhub memiliki perhitungan harga tarif pokok ojek online, dengan keuntungan dan jasanya sehingga tarifnya menjadi Rp2.000. Namun Rp2.000 itu harus bersih, jangan dipotong menjadi Rp1.600, karena ini yang menjadi modal untuk secara internal mereka menghitung,” kata Budi Karya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (29/3/2018).

Tanggapan Kemenaker

Pihak Kemenaker masih mengkaji mengenai pola hubungan kerja antara pihak mitra ojek online dengan perusahaan penyedia aplikasi. Kepala Biro Humas Kemenaker Sahat Sinurat mengatakan, pihaknya juga merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan melihat tiga aspek yaitu: perintah (tugas kerja dari perusahaan), pekerja, dan upah.

“Jadi pertanyaannya di sana terpenuhi enggak unsur-unsur tersebut? Jadi kami tidak hanya melihat dua pihak, yaitu tenaga kerja dan perusahaan. Sampai sekarang belum kami putuskan karena masih dikaji,” kata Sahat.

Sahat mengatakan, pihaknya turut mengawasi polemik tarif ojek online yang belakangan ini marak. Menurutnya, pihaknya akan melakukan intervensi jika sudah terbukti bahwa pola hubungan antara mitra sopir ojek online dan perusahaan sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

“Kami kan enggak mungkin melakukan intervensi dalam bentuk pembinaan kalau belum masuk domain kami. Ini makanya masih dikaji,” kata Sahat.

Ketika ditanya mengenai upah minimum, Sahat mengatakan, pihaknya belum membahas hal tersebut. Sahat menjelaskan upah minimum bagi ojek online akan dikaji jika pola hubungan mereka sudah sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

“Kalau kami sudah menyatakan upah, berarti sudah punya rumus, sedangkan kami masih pengkaji pola hubungan kerja. Jadi jangan ngomong upah dulu. Biarlah mereka dulu menyelesaikan masalahnya baru kami lihat kembali aspek hukumnya,” katanya.

Untuk mengetahui sampai mana proses negosiasi antara perusahaan aplikator dan mitra ojek online, Tirto berusaha menghubungi Rindu Ragillia selaku PR Manager GoJek Indonesia dan Ridzki Kramadibrata selaku Managing Director Grab Indonesia. Namun, keduanya belum memberikan respons.

Di luar persoalan negosiasi tarif antara perusahaan aplikator dengan mitra driver, pemerintah termasuk DPR harus memberikan kepastian dalam menyikapi hubungan kerja dan kesejahteraan di bisnis ride-sharing. Bila masih mengacu dari peraturan yang ada saat ini, tentu bakal sulit masalah ojek online ini bisa tuntas.

Baca juga artikel terkait TARIF OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Abdul Aziz