Menuju konten utama

Bisakah Defisit BPJS Kesehatan Diatasi lewat Penaikan Iuran 100%?

Lima tahun terakhir, BPJS Kesehatan didera masalah defisit. Bisakah menaiakkan iuran menyelesaikan masalah itu?

Bisakah Defisit BPJS Kesehatan Diatasi lewat Penaikan Iuran 100%?
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kota Palu saat berunjuk rasa di Depan Kantor BPJS Kesehatan Cabang Palu di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (13/11/2019). NTARA FOTO/Mohamad Hamzah/aww.

tirto.id - Mulai 1 Januari 2020, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan naik hingga 100 persen. Penaikan iuran berlaku untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan bukan pekerja.

Presiden Jokowi sudah menandatangani penaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Peraturan Presiden No. 75/2019 tentang Perubahan atas PP 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam Perpres itu penaikan iuran untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan.

Menurut pasal 34 Perpres 75/2019, dengan kenaikan itu, iuran per bulan yang harus dibayarkan untuk kelas III sebesar Rp42.000; kelas II Rp110.000; dan kelas I Rp160.000.

Defisit Parah

BPJS Kesehatan memang dirundung defisit besar. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut defisit BPJS Kesehatan yang makin lebar karena angka iuran peserta yang belum sesuai perhitungan aktuaria.

Presiden Jokowi mengaku pemerintah sudah mengeluarkan dana hingga Rp115 triliun untuk membantu BPJS kesehatan. Itu pun baru sampai 2018 dan belum termasuk iuran yang disubsidi pemerintah. Saat ini, pemerintah mensubsidi iuran untuk 37 juta jiwa masyarakat tidak mampu dan 17 juta anggota TNI/Polri.

Berdasarkan laporan terakhir yang diterima Presiden Jokowi, jumlah anggota Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat sudah mencapai 222 juta jiwa, naik hampir dua kali lipat dari 133 juta jiwa pada 2014.

Dari jumlah itu, 96 juta adalah masyarakat tidak mampu sehingga tidak dipungut biaya, mendapatkan subsidi dari pemerintah pusat maupun daerah.

Jumlah anggota Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yang meningkat membuat keuangan BPJS Kesehatan menjadi defisit. Pada 2014, angka defisit tercatat Rp1,9 triliun dan menjadi Rp9,4 triliun pada 2015.

Tren defisit terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.

Pada 2016, angka defisit sempat turun menjadi Rp6,4 triliun berkat penyesuaian iuran setiap dua tahun sekali. Namun, pada 2017, defisit naik tajam menjadi Rp13,8 triliun dan pada 2018 naik menjadi Rp19,5 triliun.

Sri Mulyani memperkirakan defisit BPJS Kesehatan pada 2019 mencapai Rp32,8 triliun dari prediksi BPJS Kesehatan Rp28,9 triliun. Adapun defisit itu telah menguras uang pemerintah hingga Rp25,7 triliun dalam lima tahun terakhir.

Presiden Jokowi menyebut permasalahan defisit BPJS Kesehatan terletak pada institusi, bukan di rumah sakit.

Defisit BPJS Ganggu Rumah Sakit dan Pasien

Masalah keuangan yang membelit BPJS Kesehatan bukan hal yang bisa disepelekan. Defisit keuangan membuat arus kas keuangan atau cashflow rumah sakit yang menjadi rekanan BPJS Kesehatan terganggu.

Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Kuntjoro Adi Purjanto mengatakan rumah sakit memerlukan biaya operasional setiap hari. Jika piutang tidak lancar, lama-kelamaan rumah sakit akan kehabisan modal kerja.

Ia mengungkapkan sudah banyak rumah sakit yang menunda pembayaran jasa ke dokter dan pegawai karena keuangan tidak lancar. Karena itu PERSI berharap cashflow BPJS Kesehatan bisa semakin baik, terutama setelah ada penaikan iuran.

Harapan yang sama diutarakan Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Agung Sapta Adi. Menurutnya, keterbatasan keuangan pada akhirnya membuat dokter harus memutar akal untuk menyelamatkan pasien.

Defisit berkepanjangan bisa menjadi bom waktu. Segala upaya dilakukan pemerintah guna mengatasi masalah defisit, di antaranya dengan menaikkan iuran. Namun, sejumlah kalangan menyangsikan itu. Bahkan, tak menutup kemungkinan peserta BPJS justru menurunkan kelasnya.

Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) mengungkapkan kenaikan iuran tidak akan berpengaruh besar terhadap masalah defisit BPJS Kesehatan. Kesimpulan itu didasarkan pada penelitian pada 2015 dan 2016 ketika iuran dinaikkan 30 persen.

Hasil penelitian menunjukkan 24 persen dari total peserta BPJS menurunkan kelas layanan dari kelas I ke kelas II; dan dari kelas II turun ke kelas III.

“Itu yang kenaikannya kurang dari 100 persen, apalagi yang naiknya 100 persen,” jelas Kepala Grup Penelitian Kemiskinan dan Perlindungan Sosial LPEM FEB UI, Teguh Dartanto, seperti dilansir dari Antara.

Selain turun kelas, kenaikan iuran dikhawatirkan membuat peserta berhenti membayar. “Tetap saja defisit,” kata Teguh.

Dia menilai mengatasi defisit dengan menaikkan iuran sebagai solusi kurang tepat. “Karena dulu logika matematikanya sederhana, ketika kurang maka dinaikkan, tanpa berpikir mengenai pola perilaku masyarakat,” jelasnya.

Hal senada disampaikan YLKI. Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan kenaikan iuran akan membuat masyarakat turun kelas atau menunggak.

“Kebijakan ini bisa memicu hal yang kontraproduktif bagi BPJS Kesehatan itu sendiri,” kata Tulus.

Namun, kekhawatiran itu ditepis oleh Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf. Ia mengatakan penurunan kelas layanan peserta sudah diperhitungkan oleh BPJS sehingga penaikan iuran diharapkan tetap bisa membantu mengatasi persoalan defisit.

“Penurunan kelas sudah diperhitungkan. Komponen kepesertaan tidak hanya segmentasi mandiri,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Nurul Qomariyah Pramisti
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Ringkang Gumiwang