Menuju konten utama

Bisakah Andi Arief Dipidana Karena Kicauan 7 Kontainer Surat Suara?

Dua pendukung Jokowi yakni Hasto Kristiyanto dan Ade Irfan Pulungan yakin betul cuitan Andi Arief memenuhi unsur pidana. Tapi ahli hukum pidana, peneliti pemilu, dan KPU berpendapat beda.

Bisakah Andi Arief Dipidana Karena Kicauan 7 Kontainer Surat Suara?
Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief memberi keterangan pada wartawan usai pertemuan dengan petinggi Partai Demokrat di kediaman SBY, Jakarta, Jumat (10/8/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id -

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) blusukan ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara untuk memeriksa kebenaran informasi tentang adanya 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos.

Kabar itu menyebar dalam bentuk rekaman suara di aplikasi Whatsapp dan makin jadi sorotan usai ditwitkan Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Andi Arief melalui Twitter.

Apa isi twitan Andi? "Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya. Karena ini kabar sudah beredar.1," tulis Andi di akun twitter pribadi miliknya @AndiArief_, Rabu (2/1/2018) pukul 20.05 WIB.

Di Tanjung Priok, KPU dan Bawaslu ternyata tidak menemukan bukti apa pun soal 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos. Kontroversi pun terjadi. Kubu Jokowi-Ma'ruf yang merasa dirugikan dengan twitan Andi, buru-buru menuding Andi sebagai penyebar hoaks.

"Pernyataan Andi sangat provokatif, cermin kekerdilan jiwa, mental prejudice, dan sangat berbahaya," kata Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf yang juga Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Hasto menilai pernyataan Andi sebagai usaha menciptakan persepsi publik bahwa pemilu yang akan diselenggarakan April nanti sarat akan kecurangan. Ia menilai apa yang diucapkan Andi sudah memenuhi syarat untuk dipersoalkan secara hukum. "Pernyataan jalanan tanpa dasar tersebut sudah memenuhi delik hukum untuk dipersoalkan," ujar Hasto.

Andi tidak tinggal diam dengan tuduhan Hasto. Ia menilai Hasto buta huruf karena tidak bisa membaca isi kicauannya dengan benar. Menurut Andi, yang ia maksudkan dari kicauannya adalah mengimbau agar dilakukan pengecekan soal informasi tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos.

"Hasto Sekjen PDIP buta huruf. Suruh baca tweet saya dengan jelas. Saya mengimbau supaya dicek. Karena isu itu sudah dari sore muncul. Bahkan Ketua KPU sendiri mengakui dia mendapat kabar dari sore. KPU bergerak setelah himbauan saya," tulis Andi di akun Twitter-nya.

Andi juga tidak khawatir jika ia dilaporkan ke polisi gara-gara kicauannya. "Silahkan saja kalau Saya mau dilaporkan, tinggal aparat hukum mau berfihak pada Hasto Sekjen PDIP yang buta huruf membaca tuit saya, atau berfihak pada saya yg ingin menyelamatkan pemilu supaya jurdil," lanjut Andi.

Rachland Nashidik, kolega Andi di Partai Demokrat mengatakan Hasto mestinya berterima kasih kepada Andi, bukan justru mempolisikannya. "Hasto perlu belajar menanam dan memelihara rasa terima kasih. Andi Arief justru membantu kubu petahana, yang jadi sasaran kecurigaan, dengan meminta KPU mengecek kebenaran berita yang katanya sudah beredar kemana-mana itu," kata Rachland lewat rilis yang diterima wartawan Tirto.

Ade Irfan Pulungan, Direktur Hukum dan Advokasi TKN Jokowi-Ma'ruf punya pikiran yang sejalan dengan Hasto. Ia melaporkan Andi Arief ke Bareskrim Mabes Polri dengan tuduhan telah menyebarkan informasi bohong melalui Twitter. Laporan itu teregistrasi dengan Nomor Laporan LP/B/0013/I/2019/BARESKRIM bertanggal 3 Januari 2019.

"Jelas ini akan berdampak sistemik kepada masyarakat. Informasi hoaks yang telah disebarkan oleh politikus Partai Demokrat melalui media sosial harus segera ditindaklanjuti oleh Polri," ucap dia di kantor Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Kamis (3/1/2019).

Ia juga melaporkan pemilik suara yang menyatakan adanya surat suara sudah dicoblos melalui rekaman. “Ada tiga bukti rekaman suara yang sudah kami serahkan kepada penyidik. Kami ingin Polri menelusuri siapa orang yang membuat rekaman suara yang meresahkan masyarakat," kata Irfan.

Mereka menyangkakan terlapor dengan Pasal 517 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 14 juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) serta Pasal penghinaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 207.

Apakah Twitan Andi Memenuhi Unsur Pidana?

Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai twit Andi Arief sukar untuk diseret ke ranah hukum sebagaimana harapan Hasto. Fickar menjelaskan model berita hoaks yang bisa dijerat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Di antaranya adalah hoaks yang merugikan konsumen, hoaks bernuansa SARA yang memicu kebencian dan konflik di masyarakat

Model hoaks lainnya yakni bisa dijerat pidana adalah menyebarkan berita tidak lengkap atau sepotong-sepotong yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Biasanya, kata Fickar polisi akan menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk menjerat pelaku penyebaran hoaks.
Terakhir, yakni model hoaks yang bertujuan merugikan perorangan atau sering disebut penipuan.

Dari unsur-unsur tersebut, kata Fickar, Andi Arief tak memenuhi seluruhnya sehingga agak sulit untuk menjeratnya. Pasalnya, Fickar melihat twitan Andi Arief itu sekadar mengingatkan agar KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu bisa segera menyikapi kabar yang sudah lebih dahulu beredar.

Namun, kata Fickar dimungkinkan kepolisian akan menggunakan pidana sesuai undang-undang pemilu untuk menjerat Andi Arief lantaran dianggap mengganggu tahapan penyelenggaraan Pemilu.
"Mungkin dapat dijerat dengan UU pemilu yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mengganggu ketertiban tahapan pemilu," kata Fickar kepada Tirto.

Normatif

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menilai cuitan Andi Arief sebenarnya biasa saja atau sangat normatif. Ia pun berpendapat Andi sulit dikategorikan sebagai penyebar hoaks.

"Narasinya memang biasa saja. Tapi bagi banyak orang yang sebelumnya tak dapat pesan dari Whatsapp Grup, contoh saya yang baru tahu isu itu setelah lihat cuitan beliau," kata Titi.

Titi mengatakan polisi mestinya mengusut orang yang menyebarkan informasi bohong melalui rekaman suara soal ada tujuh kontainer surat suara yang sudah tercoblos ini. "Nah ini harus ditindaklanjuti siapa sesungguhnya aktor yang sebarluaskan hoaks ini. Itu yang penting," ungkap Titi kepada Tirto.
Titi menilai penyebar informasi hoaks soal pemilu bisa dijerat dengan pidana pemilu, yakni mengganggu penyelenggaraan pemilu.

Menurut Titi, salah satu indikator terciptanya pemilu yang bebas dan adil adalah pemilih bebas dari kebohongan, pengaruh menyesatkan, serta bebas dari tekanan. "Jadi sudah jelas bahwa berita bohong ini bagian dari upaya merongrong proses pemilu yang bersih dan adil dengan tujuan agar masyarakat percaya bahwa proses pemilu kita ini ada kecurangan dan tidak kredibel," pungkas Titi.

KPU telah melaporkan kasus penyebaran informasi bohong adanya tujuh juta kontainer surat suara yang telah dicoblos ke Bareskrim Mabes Polri. Namun, berbeda dengan sikap Hasto dan pendukung Jokowi-Ma'ruf, KPU sama sekali tidak melaporkan kicauan Andi Arief.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika & Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Jay Akbar