Menuju konten utama
Misbar

Birds of Prey: Ramai-Ramai Melawan Maskulinitas Beracun

Harley Quinn putus dengan Joker. Jadilah Birds of Prey.

Birds of Prey: Ramai-Ramai Melawan Maskulinitas Beracun
Trailer Birds of Prey. FOTO/Warner Bros. Pictures

tirto.id - Dari berbagai alasan yang bisa muncul untuk menyaksikan Birds of Prey, film terbaru DC Universe di 2020, hal yang menarik bagi saya adalah lagu Edith Piaf, Hyme à l'amour, menjadi soundtrack pada trailer film itu. Dalam Bahasa Inggris lagu ini diterjemahkan jadi The Hymn to Love. Piaf, penyanyi asal Perancis, menulis lagu tersebut pada 1950, satu tahun setelah kekasihnya, Marcel Cerdan, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat.

Pada dasarnya Hyme à l'amour memang cocok dengan Harley Quinn. Dalam lagu itu, Piaf mendeskripsikan dirinya yang rela melakukan apapun yang diminta kekasihnya dan bahwa seluruh persoalan di dunia jadi tak berarti ketika sedang jatuh cinta. Kurang lebih begitulah dekskripsi Harley Quinn yang diperankan Margot Robbie dalam Suicide Squad (2016). Ia tergila-gila pada Joker dan mau melakukan hal-hal gila yang diminta musuh Batman itu.

Namun, dalam Birds of Prey, yang terjadi justru sebaliknya. Harley baru putus dari Joker dan ingin merayakan kebebasannya dari hubungan beracun itu. Ia ingin membuktikan bahwa tanpa Joker, ia hidupnya akan baik-baik saja. Nyatanya Harley tak sendiri. Ada tiga perempuan lain di Gotham yang tengah menjalankan misi serupa; Helena Bertinelli/Huntress (Mary Elizabeth Winstead), Dinah Laurel Lance/Black Canary (Jurnee Smollett-Bell), Renee Montoya (Rosie Perez), dan Cassandra Cain (Ella Jay Basco), yang tanpa sepengetahuan mereka harus berurusan dengan mafia brutal dan seksis, Roman Sionis/Black Mask yang diperankan Ewan McGregor.

Superhero perempuan seringkali digambarkan sebagai sosok yang sulit berdiri sendiri. Misalnya Wonder Woman yang dirilis DC pada 2017, film ini berusaha dengan baik menyisipkan pesan-pesan feminisme dalam ceritanya, bahkan untuk film yang berlatar Perang Dunia I. Dalam adaptasinya, Wonder Woman berusaha menampilkan perempuan yang kuat, jenaka, penuh semangat, dan percaya diri. Namun, film ini kecolongan ketika menggambarkan perempuan yang bisa menentukan nasibnya sendiri dan sedih berlarut-larut ketika ditinggal kekasihnya.

Karakter Diana yang diperankan Gal Gadot sulit pulih dari luka akibat kehilangan Steve Trevor (Chris Pine) yang tewas saat perang. Diana masih sulit berdamai dengan masa lalu di Justice League (2017) yang mengambil latar puluhan tahun setelah Perang Dunia I.

Untungnya Birds of Prey tidak jatuh ke dalam jebakan tersebut. Dalam pembuatan film itu pada 2016, Margot Robbie sempat bilang bahwa “’Harley butuh teman’, Harley suka berinteraksi dengan banyak orang, jadi jangan buat ia jadi karakter yang berdiri sendiri.” Robbie membuktikan karakter superhero perempuan yang baru putus cinta tak harus selalu nampak menyedihkan, juga tak perlu buru-buru harus mencari pasangan baru.

Putus cinta atau kehilangan adalah satu hal. Tapi bagi Harley, hidup harus tetap berjalan. Maka, jadilah dalam Birds of Prey, Harley Quinn membentuk tim yang semua anggotanya perempuan. Mereka adalah Black Canary, Huntress, Cassandra Cain, dan Renee Montoya.

Birds of Prey disutradarai oleh Cathy Yan, mantan jurnalis yang lahir di Cina dan tumbuh besar di Amerika, tepatnya di Washington. Ia diminta menyutradarai Birds of Prey pada 2018 karena Robbie ingin film itu disutradarai oleh perempuan. Setelah Petty Jenkins yang menyutradarai Wonder Women, Yan adalah perempuan kedua yang menyutradarai film superhero DC.

Yan lantas menjadi wanita keturunan Asia pertama yang menyutradarai film terbaru DC atau film superhero pada umumnya. Dalam sebuah wawancara, Yan pernah bilang bahwa enjadi sutradara bisa dibilang mustahil baginya. Ia jarang melihat perempuan bekerja di belakang kamera, apalagi perempuan keturunan Asia.

Sebagai keturunan Asia, Yan tentu saja bereksperimen dengan aktris-aktris dengan latar belakang beragam; Jurnee Smollett-Bell yang punya darah Afrika, Rosie Perez yang keturunan Puerto Rico, serta pelawak Ali Wong dan Ella Jay Basco yang keturunan Asia.

Ia pun membangun dinamika cerita dengan rapi dan menarik. Yan berusaha merajut Birds of Prey lewat karakter-karakter perempuan yang terpinggirkan, memendam amarah, dan muak akan masyarakat yang patriarkis.

Infografik Misbar Bird Of Prey

Infografik Misbar Birds Of Prey. tirto.id/Quita

Misalnya, Renee Montoya, seorang detektif brilian Gotham yang juga lesbian. Meski piawai, kerja-kerjanya seringkali tak dihargai. Rekan kerjanya kerap kali mengklaim hasil kerja keras Montoya dan mendapat promosi jabatan. Mantan pacarnya, Ellen Yee, bahkan masuk ke kasus yang sedang ia tangani dan malah berbuat curang di akhir cerita.

Latar belakang Huntress atau Canary boleh jadi lebih sederhana. Huntress adalah perempuan yang ingin balas dendam karena keluarganya dihabisi oleh mafia yang punya kaitan dengan Sionis, sementara Canary sudah lelah hanya dianggap peliharaan oleh Sionis. Namun, Yan menempatkan keduanya lewat adegan maskulinitas beracun Sionis. Di depan umum, pria itu menggunakan kekuasaannya untuk menakuti seorang perempuan; menyuruhnya menari dan memaksa mencopot gaun yang ia kenakan. Canary dan Huntress jelas-jelas benci dengan kelakuan Sionis itu, Canary bahkan sampai menangis. Namun keduanya memilih untuk tidak jadi pahlawan kesiangan.

Masa lalu Harley Quinn juga diceritakan dengan baik dan bukan cuma tempelan cerita. Mulai dari bagaimana ia dibesarkan, menempuh pendidikan hingga tingkat doktoral, bekerja di rumah sakit jiwa, dan meninggalkan segala kewarasaannya saat bersama Joker. Namun, Harley bukannya benar-benar gila. Lihat bagaimana gadis itu beberapa kali menceramahi Huntress soal trauma masa lalu, seolah ia masih jadi terapis handal.

Dari sinilah nampak kepiawaian Yan mengolah cerita. Ia mahir menyusun fragmen demi fragmen yang membentuk semesta Birds of Prey. Perempuan-perempuan dari latar belakang berbeda disatukan dalam keadaan genting untuk menyelamatkan Cassandra Cain. Yang menarik, perbedaan latar belakang perempuan-perempuan tersebut tak menjadikan salah seorang jadi lebih superior dibanding yang lainnya.

Bukankah memang demikian seharusnya girl squad atau gerakan perempuan dijalankan?

Baca juga artikel terkait FILM BIOSKOP atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Film
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Windu Jusuf