Menuju konten utama
Riset Mandiri Tirto

Bioskop Alternatif di Mata Penonton

Setidaknya sepuluh tahun terakhir, ruang-ruang pemutaran film di luar bioskop besar menjamur khususnya di Jakarta. Siapa saja penontonnya?

Bioskop Alternatif di Mata Penonton
Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

tirto.id - “Film memerlukan forum,” demikian tulis Gotot Prakosa dalam Film Pinggiran: Antologi Film Pendek, Film Eksperimental dan Film Dokumenter (2008: hal 108). Namun, tidak lantas semua film dapat mudah diputar di sembarang ruang pemutaran. Bagi sebagian film berlabel “box office”, pemutaran di gedung bioskop komersial seperti jaringan Cinema XXI dan sebagainya tentu tak jadi soal. Begitu pula berbagai jenis film populer lainnya. Selama mampu mendatangkan banyak penonton sehingga menghasilkan laba yang besar, pasti sebuah film akan ditayangkan bioskop komersial.

“Film alternatif” lain lagi nasibnya. Menurut Gotot Prakosa, kategori “film alternatif” mencakup “film-film jenis dokumenter, film animasi, eksperimental, film pendek bercerita, film cerita panjang yang tidak mungkin ditampung di gedung-gedung bioskop komersial/umum, dan film-film berbagai jenis lainnya” (2008: hal 108-109). Praktik umum yang berlaku, film-film alternatif menemukan audiensnya di festival-festival film di dalam dan luar negeri.

Ruang putar festival tentu sangat terbatas. Meskipun menyediakan ruang untuk forum kuratorial dan jejaring antarpemain dalam industri dan komunitas film, daya ekspos festival cenderung tersegmentasi.

Para penggemar film alternatif di Jakarta tentu tidak asing dengan nama Kineforum. Terletak di dalam kompleks kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta, Kineforum adalah bioskop mini yang memutar film-film alternatif. Sebagai bagian dari program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), ruang putar alternatif Kineforum merupakan perkembangan lanjut dari dari Kine Klub DKJ, yang disebut-sebut berdiri kurang lebih setahun setelah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meresmikan kompleks TIM pada 10 November 1968.

Sebulan sekali, Kine Klub DKJ rutin mengadakan acara pekan pemutaran film di Teater Tertutup TIM. Sebagaimana dicatat oleh Cinema Poetica, klub film di Cikini itu menjalin kerja sama dengan berbagai pusat kebudayaan serta sineas-sineas lokal. “Usai pemutaran, para penonton bisa berinteraksi langsung dengan para tokoh dunia film tersebut.”

Aktivitas Kineforum hingga kini masih terus berjalan, mulai dari membuat program pemutaran film, serta menayangkan beragam film yang (mungkin) tidak beredar di bioskop komersial. Jenis filmnya pun bervariasi, mulai dari film pendek, klasik (baik Indonesia dan mancanegara), hingga dokumenter.

Tak hanya Kineforum yang menyediakan ruang pemutaran film alternatif di Jakarta.

Sekitar Desember 2015, Adinda Simanjuntak (Aksara), Meiske Taurisia (produser The Fox Exploits the Tiger's Might, Blind Pig Who Wants To Fly) dan Edwin (sutradara Someone's Wife in the Boat of Someone's Husband, Postcards from the Zoo, Blind Pig Who Wants To Fly) merespon minat penonton Jakarta akan film-film alternatif dengan membuka Kinosaurus, sebuah ruang dengan fungsi yang mirip Kineforum. Bedanya, jika Kineforum adalah bagian dari DKJ—yang sesekali mendapatkan hibah pemerintah—operasional Kinosaurus berjalan secara mandiri.

Nama-nama lain juga bermunculan. Sebut saja Paviliun 28, Cine Space, Radiant Cinema, Sinema Sang Akar di Tebet dan lain sebagainya. Ruang-ruang menonton film alternatif ini kerap kerap berkolaborasi dengan komunitas untuk menyusun program. Kelompok komunitas Sinema Rabu, misalnya, yang cukup sering menggunakan ruang putar di Paviliun 28. Atau Sinema Sang Akar yang kolaborasi bersama Kineforum/Kinosaurus untuk memutar beberapa film dalam program bertajuk Sejarah Adalah Sekarang di Bulan Film Nasional 2018 ini.

Yang juga menarik adalah para penontonnya. Saat Kine Klub DKJ berkembang di era 1980n, audiens film alternatif diketahui berasal dari beragam latar belakang, baik dari mahasiswa seni, pekerja kantoran, seniman dan berbagai kelompok sosial lainnya.

Bagaimana dengan penonton hari ini? Antara 20 hingga 26 Maret 2018, Tirto melakukan survei terhadap penonton di ruang-ruang pemutaran film alternatif. Dengan melibatkan 116 responden, riset kuantitatif berikut bertujuan untuk mengetahui perilaku penonton pemutaran film di bioskop-bioskop alternatif di wilayah DKI Jakarta.

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Profil Responden Riset

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Sepertiga Penonton Ruang Putar Alternatif Berpotensi Menjadi “Penonton Langganan”

Riset ini menemukan bahwa sebagian besar penonton di ruang putar alternatif masih bertipe penonton film acak—dengan kata lain, bukan penonton loyal film alternatif. Kelompok penonton ini bukanlah tipe pecandu film (cinephile) seperti halnya anggota Kine Klub DKJ dulu. Kendati demikian, asumsi ini masih perlu diperdalam mengingat ada pula penonton yang memang suka berburu film dan ruang-ruang pemutaran alternatif memberi kemudahan untuk itu.

Pembentukan kebiasaan penonton yang telah dilakukan oleh bioskop komersial menjadi salah satu faktor yang menentukan bagaimana khalayak mengapresiasi film. Kebiasaan yang dibangun oleh bioskop komersial membuat film diapresiasi sebagai hiburan, yang juga diukur melalui kepopuleran dan penjualan tiket.

Sebagian besar responden menjawab “tidak tentu” (48,28%) saat ditanya tentang frekuensi menonton di ruang pemutaran alternatif setiap bulannya. Menariknya, terdapat sekitar 31,03 persen responden yang menyatakan bahwa mereka suka menonton 2-4 kali tiap bulan. Kelompok responden ini menunjukkan bahwa sepertiga penonton ruang pemutaran alternatif berpotensi menjadi “penonton langganan”. Inilah kelompok penonton yang berpotensi menjadi cinephile. Dengan keberadaan calon pecandu film ini, kegiatan pemutaran film di ruang putar alternatif dimungkinkan tidak saja berlangsung sebatas event belaka.

Sekalipun kecil, ada pula para penonton baru. Survei ini menemukan sekitar 4,31 persen responden mengaku “baru pertama coba” menonton di ruang pemutaran alternatif.

Adapun perihal lokasi, sebagian besar responden menyebut nama Kineforum (82,76%) sebagai tempat untuk menonton. Sementara itu, Kinosaurus lebih dikenal oleh 42,24 persen responden. Beberapa responden juga mendatangi pusat-pusat kebudayaan asing (11,21%) untuk nonton film.

Namun, survei ini menggunakan istilah “bioskop alternatif” secara ketat, yakni untuk ruang pemutaran yang memiliki program yang dijalankan dengan skema kurasi, jadwal pemutaran, dan ruang pemutaran. Untuk hal ini, model yang paling tepat adalah Kineforum dan Kinosaurus, yang juga diikuti oleh ruang-ruang pemutaran lainnya—entah yang memiliki program atau sekadar menyediakan ruang pemutaran untuk komunitas (penonton) film.

Namun demikian, di tataran pemahaman responden pada umumnya, semua ruang putar alternatif di DKI Jakarta dengan mudah disederhanakan sebagai “bioskop alternatif” saja.

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Film Jadi Sumber Ketertarikan

Karena ruang putar alternatif sudah sejak awal membangun segmentasi yang spesifik, maka tipe penontonnya pun mudah dibaca.

Survei menemukan bahwa ketertarikan responden dalam menonton pemutaran film didasarkan pada “jenis filmnya” (77,59%). Namun angka ini patut dibaca dengan seksama. Responden juga menyatakan “ingin mendapatkan pengalaman resepsi film yang berbeda” (46,55%), “pernah membaca reviewnya” (46,55%) dan soal adanya kegiatan diskusi (37,07%). Artinya, ada semacam harapan yang tinggi dari penonton terhadap kegiatan yang tengah berlangsung di ruang pemutaran alternatif itu.

Penonton di ruang putar alternatif mungkin menjadikan pengalaman menonton tipe-tipe film “tidak biasa” itu sebagai sesuatu yang menarik perhatian. Rata-rata jawaban mereka menyatakan bahwa kegiatan diskusi di luar pemutaran film jadi daya tarik tersendiri. Aspek ini pulalah yang perlu digarisbawahi lagi: bahwa penonton film di ruang putar alternatif adalah para orang-orang yang mencari pengalaman menonton film yang berbeda.

Ada kemungkinan bahwa para responden ini memperlakukan film bukan saja sekadar produk hiburan komersial belaka, namun juga sebagai produk budaya. Melalui film, mereka mendapatkan perspektif dan wawasan baru tentang sinema.

Media sosial (90,52%) jadi sarana informasi utama responden untuk mengakses informasi soal pemutaran film. Selain itu, informasi juga bersumber dari teman/kolega/keluarga (43,10%). Artinya, ekspos soal ruang alternatif dan kegiatan pemutarannya berjalan dalam model jejaring digital plus keintiman.

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Daur hidup informasi ini muncul dalam model pertukaran informasi berdasarkan kedekatan personal. Orang yang pernah berkunjung ke ruang pemutaran alternatif memberi tahu kawannya, demikian seterusnya. Jika pola ini konsisten dan berlanjut, komunitas penonton yang terbangun mungkin akan memiliki pola jejaring sosial melingkar ke dalam. Artinya, orang yang terhubung satu sama lain berasal dari satu atau dua jaringan sosial yang sama. Tentu dengan modal seperti ini perubahan pola jejaring menjadi basis komunitas (atau klub) dalam konteks resepsi seni dimungkinkan terjadi.

Lantas, apa yang mereka tonton? Film Indonesia (84,48%) menjadi pilihan utama. Selain itu, sesuai dengan tujuan ruang pemutaran alternatif itu sendiri , “tipe-tipe film pendek” (72,41%) menjadi film kedua yang paling banyak ditonton.

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Bergantung Asing, Percaya Konsep Donasi Publik

Dengan pola jejaring sosial melingkar ke dalam/basis komunitas, sebuah pertanyaan pun muncul: apakah dukungan jejaring penonton seperti ini memungkinkan ruang putar alternatif yang berkelanjutan (sustainable)?

Umumnya para penonton film menerima tak mempermasalahkan harga tiket. Mayoritas responden (86,21 persen) menyatakan bahwa harga tiket pemutaran film (donasi) di bioskop alternatif tidak termasuk dalam kategori mahal. Sementara 13,79 persen responden menyatakan harga tiket pemutaran film (donasi) termasuk dalam kategori mahal.

Model tiket dengan skema donasi publik ini pula yang mereka sepakati sebagai model ideal pertukaran dalam kegiatan pemutaran film. Artinya, sudah ada basis “kemauan” untuk mengembangkan potensi partisipasi publik ini—khususnya jika dikaitkan kembali dengan sepertiga penonton yang berpotensi menjadi “penonton langganan”. Mayoritas responden (96,55 persen) survei menyatakan setuju dengan model donasi sebagai sistem tiket pemutaran film.

Infografik Riset Mandiri Ruang Putar Alternatif

Menariknya, sebagian besar kelompok responden juga percaya (atau cenderung tergantung?) dengan sistem pendanaan asing/hibah pusat kebudayaan asing. Sekitar 62,07 persen responden menyatakan bahwa model yang ideal untuk pendanaan ruang putar alternatif adalah melalui “bantuan pusat kebudayaan asing/mancanegara” (62,07%).

Pola pendanaan “hibah pemerintah” (42,24%) menjadi pilihan terakhir responden. Artinya pola kemandirian non-pemerintah cenderung jadi pilihan sekunder. Bisa jadi hal ini disebabkan persepsi bahwa pemerintah dianggap kurang bisa diandalkan dalam urusan film, termasuk untuk urusan gerakan ruang putar alternatif ini. Atau bisa jadi, karena melalui pusat-pusat kebudayaan asing itulah film alternatif justru berkembang.

Baca juga artikel terkait RISET MANDIRI atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Film
Reporter: Frendy Kurniawan
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Windu Jusuf