Menuju konten utama

Biografi Singkat Brigjen Katamso, Tokoh Pahlawan Revolusi

Biografi Brigjen Katamso salah satu pahlawan revolusi dari Yogyakarta.

Biografi Singkat Brigjen Katamso, Tokoh Pahlawan Revolusi
Brigjen TNI ANM. Katamso. Foto/istimewa

tirto.id - Brigjen (Anumerta) Katamso Darmokusumo dikenal sebagai salah satu tokoh Pahlawan Revolusi yang tewas terbunuh di Yogyakarta. Ia diculik dan dibunuh oleh PKI pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta tahun 1965.

Katamso Darmokusumo lahir pada tanggal 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Katamso hanya mengenyam pendidikan hingga Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO/ setara SMP). Setelah lulus dari MULO, ia tidak sempat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena saat itu Jepang sudah datang menjajah Indonesia.

Karier Militer Brigjen Katamso

Karier militer Katamso dimulai di masa penjajahan Jepang. Saat itu ia mengikuti pendidikan militer pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang ada di Bogor.

Begitu menamatkan pendidikannya di sana, Katamso diangkat menjadi Budanco atau komandan regu di Dai II Daidan (Batalyon 2) di Solo. Pada tahun 1944, pangkat Katamso naik menjadi Shodanco atau komandan peleton.

Setelah Indonesia merdeka, Katamso bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat atau TKR (sekarang TNI). Ia juga naik pangkat menjadi kapten di tahun 1946 dan sempat menjabat sebagai komandan kompi di Klaten Jawa Tengah.

Katamso pun kerap terlibat pertempuran mengusir penjajah, terutama saat masa-masa agresi militer Belanda. Saat itu Katamso memimpin pasukan di Batalyon 351 Brigade V yang kemudian digabung dalam Batalyon 417 Brigade V Resimen Infanteri 15.

Di masa awal-awal kemerdekaan, Indonesia juga dipenuhi dengan konflik pemberontakan di berbagai daerah. Salah satunya pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Saat itu Katamso terlibat dalam Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Operasi ini bertujuan menumpas pemberontakan Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII di Jawa Tengah.

Tahun 1955, Katamso mendapat kenaikan pangkat sebagai mayor dan dipercaya menjabat sebagai Wakil Komandan Batalyon 441 Resimen Infanteri 13. Namun beliau sempat dipindahkan ke Batalyon 439 dan Batalyon 436.

Di tahun 1958, Indonesia juga mengalami konflik pemberontakan oleh Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/ Permesta).

Di masa itu Katamso diangkat menjadi Komandan Batalyon A Komando Operasi 17 Agustus untuk menumpas PRRI di Sumatera Barat. Operasi militer ini dipimpin langsung oleh Kolonel Ahmad Yani dan pemberontakan pun berhasil diredam kala itu.

Prestasi Katamso di medan tempur membuat beliau dipercaya untuk menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro di Yogyakarta pada tahun 1963. Di masa-masa inilah Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai merajalela di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta.

Katamso sendiri tergolong orang yang anti PKI dan menentang segala bentuk komunisme di Yogyakarta. Bahkan untuk menghadapi PKI, beliau aktif membina mahasiswa dengan memberikan pelatihan militer.

Peristiwa Penculikan dan Pembunuhan Katamso oleh PKI

Tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, PKI melakukan Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta yang bertujuan menghabisi jenderal-jenderal Angkatan Darat. PKI mengaku melakukan misi itu demi mencegah kudeta atau perebutan kekuasaan oleh Dewan Jenderal AD terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.

Usai melaksanakan misinya, masih di tanggal yang sama, PKI mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi melalui siaran RRI. Dewan Revolusi ini bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan pemerintah.

Tak hanya di Jakarta, PKI juga membentuk Dewan Revolusi di berbagai daerah, termasuk di Yogyakarta tempat Katamso berada.

Katamso yang saat itu berpangkat Kolonel langsung bertindak cepat dengan menggelar rapat staf. Ia juga mengutus ajudannya agar segera pergi ke Semarang untuk menggali informasi lebih banyak.

Katamso hari itu harus menghadiri rapat di Magelang dan bertemu Pangdam Diponegoro, Brigjen Suryosumpeno. Kepergian Kolonel Katamso pun membuat antek-antek PKI semakin leluasa menjalankan rencananya.

Ironisnya, antek-antek PKI tersebut adalah para bawahan Kolonel Katamso sendiri. Dipimpin oleh Kepala Seksi Korem 72/Pamungkas Mayor Mulyono, para pengikut PKI ini mulai mengambil alih kekuasaan militer di Korem 72/Pamungkas.

Kolonel Katamso yang masih sibuk di Magelang sama sekali belum mengetahui pengkhianatan yang dilakukan oleh anak buahnya. Ia baru tahu ketika sudah sampai di Yogyakarta pada sore hari sepulang dari rapatnya di Magelang.

Mengutip dari laman Warta Budaya, Saat itu Kolonel Katamso dipaksa menandatangani berkas yang menyatakan dukungan terhadap pembentukan Dewan Revolusi.

Dari sinilah rencana penculikan dimulai. Sejumlah prajurit bersenjata lengkap mendatangi kediaman Kolonel Katamso dan menangkapnya. Ia lalu dibawa paksa ke Kompleks Batalyon L di daerah Kentungan, Sleman.

Berdasarkan buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional, Katamso bukan satu-satunya orang yang diculik hari itu. Letkol Sugiyono yang merupakan Kepala Staf Korem 72/Pamungkas juga ikut diculik dan dibawa ke Kentungan.

Malam hari di markas Batalyon L, beberapa tentara berunding soal rencana eksekusi mati Kolonel Katamso. Tanggal 2 Oktober 1965 sekitar jam 2 dini hari, mereka juga melakukan persiapan lain dengan menggali lubang kubur di belakang markas.

Sertu Alip Toyo selaku Komandan Regu Montir 8 Kompi Bantuan ditunjuk sebagai algojo yang akan mengeksekusi Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono. Tak lama setelah itu sebuah Jeep Gaz yang membawa Letkol Sugiyono datang ke lokasi pembantaian.

Letkol Sugiyono langsung dibunuh, kepalanya dihantam dengan mortir dan tubuhnya dibuang di lubang kubur yang sudah disiapkan. Tak lama setelah eksekusi tersebut, datanglah Jeep Gaz kedua yang membawa Kolonel Katamso.

Kolonel Katamso turun dari mobil dalam kondisi tangan terikat dan matanya ditutup. Ia sempat berjalan beberapa langkah, lalu kepalanya dihantam dengan kunci mortir seberat 2 kilogram hingga terjatuh berlumuran darah.

Saat itu Kolonel Katamso masih hidup, bahkan sempat mengucapkan kata-kata terakhir yang menyatakan kalau ia masih mencintai Presiden Soekarno.

Melihat targetnya masih bernafas, Sertu Alip Toyo kembali memukul Kolonel Katamso hingga benar-benar tewas. Setelah itu jasadnya dibuang ke lubang yang sama dengan Letkol Sugiyono.

Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono gugur pada 2 Oktober 1965 dini hari. Jenazahnya baru ditemukan pada 12 Oktober 1965. Delapan hari kemudian baru dilakukan penggalian dan jenazah keduanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.

Berdasarkan SK Presiden No.118/KOTI/1965 tertanggal 19 Oktober 1965, Kolonel Katamso diberi gelar Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen).

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN REVOLUSI atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Dipna Videlia Putsanra