Menuju konten utama
Hari Pahlawan

Biografi Salahuddin bin Talabuddin Pahlawan Nasional dari Malut

H. Salahuddin bin Talabuddin pejuang pergerakan dan kemerdekaan RI dari Maluku Utara dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Biografi Salahuddin bin Talabuddin Pahlawan Nasional dari Malut
Buku Haji Salahuddin bin Talabudin. (ANTARA/Abdul Fatah)

tirto.id - Menyambut Hari Pahlawan, pemerintah akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 5 tokoh yang dianggap berjasa besar bagi bangsa Indonesia. Salah satunya adalah H. Salahuddin bin Talabuddin (1874-1948), tokoh pergerakan dan perjuangan kemerdekaan RI dari Halmahera Tengah, Maluku Utara (Malut).

Selain Haji Salahuddin bin Talabuddin, beberapa tokoh lainnya yang juga akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional adalah Dr. dr. H.R. Soeharto dan K.G.P.A.A. Paku Alam VIII asal Jawa Tengah, K.H. Ahmad Sanusi dari Jawa Barat, serta dr. Raden Rubini Natawisastra dari Kalimantan Barat.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada 5 tokoh terpilih tersebut akan dilaksanakan pada 7 November 2022 di Istana Negara, Jakarta, seperti yang disampaikan oleh Mahfud MD selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

“Pemerintah akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 5 tokoh yang dipilih berdasarkan usulan masyarakat dan telah melalui sejumlah proses seleksi,” ungkap Mahfud MD yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ini dilansir laman Presiden RI.

Pengusulan H. Salahuddin bin Talabuddin sebagai Calon Pahlawan Nasional (CPN) sudah dilakukan sejak beberapa waktu lalu. Seluruh prosedur dan verifikasi sejarah yang bisa menggambarkan sosok pahlawan ini telah dikaji.

“Verifikasi ini dilakukan di beberapa titik di Kota Ternate, Weda, dan Patani, Halmahera Tengah,” ungkap Irfan Ahmad, Perwakilan Penyusun Naskah Akademik CPN Salahuddin, dikutip dari Antaranews.

Biografi H. Salahuddin bin Talabuddin: Pahlawan Nasional dari Maluku Utara

Haji Salahuddin bin Talabuddin merupakan tokoh pada era pergerakan nasional yang berkali-kali ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga dihukum mati pada masa perang mempertahankan kemerdekaan RI.

“Beliau pernah dibuang ke Boven Digoel tahun 1942 dan juga dibuang ke Sawahlunto tahun 1918-1923,” ungkap Mahfud MD, Kamis (3/11/2022), dilansir laman resmi Presiden RI.

M. Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-rempah (2016) menyebutkan, Salahuddin bin Talabuddin dilahirkan pada 1874 di Gemia, Patani, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Haji Salahuddin adalah anggota dari Sarekat Islam Merah yang merupakan pecahan dari Sarekat Islam (SI) di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1928, Haji Salahuddin berhasil lolos dari penangkapan.

Tahun 1938, Haji Salahuddin bergabung dengan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) serta duduk dalam kepengurusan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Namun, tak lama kemudian, Haji Salahuddin ditangkap aparat kolonial karena aktivitas politiknya yang dianggap meresahkan.

Haji Salahuddin kemudian dikirim ke Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, untuk dipenjara. Tahun 1941, ia dipindahkan ke Boven Digoel, Papua.

Menyerahnya Belanda kepada Jepang pada 1942 dalam Perang Dunia II membuat Haji Salahuddin bebas. Ia tidak kembali ke Jawa, melainkan tetap di Papua. Haji Salahuddin memilih menyepi di Sorong dan Raja Ampat, sebelum pulang ke Maluku Utara.

Perjuangan Haji Salahuddin Hingga Dihukum Mati

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Haji Salahuddin turut mendukung kemerdekaan tersebut. Pada 1946, di Pulau Gebe, Halmahera Timur, Maluku Utara, ia mendirikan organisasi bernama Sarikat Jamiatul Iman wal Islam.

Tujuan Sarikat Jamiatul Iman wal Islam adalah mempertahankan agama Islam dan Negara Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta yang baru saja diproklamasikan. Haji Salahuddin bersama organisasinya menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan RI.

Tak lama setelah Indonesia merdeka, pasukan Belanda bersama Sekutu yang baru saja memenangkan Perang Dunia II kembali ke wilayah Nusantara, termasuk Maluku Utara. Terjadilah rangkaian polemik pada masa perang mempertahankan kemerdekaan itu.

Salah satu dampaknya adalah munculnya Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).

NIT dibentuk setelah dilaksanakan Konferensi Malino pada 16-22 Juli 1946 dan Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1946 yang bertujuan untuk membahas gagasan berdirinya negara bagian tersendiri di wilayah Indonesia bagian timur oleh Belanda.

Wilayah NIT meliputi Sulawesi, Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) dan Kepulauan Maluku, termasuk Maluku Utara, dengan ibu kota di Makassar. Dari sinilah masalah kembali menyambangi Haji Salahuddin yang selalu menyerukan kemerdekaan Republik Indonesia di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.

Pada 17 Februari 1947, Haji Salahuddin ditangkap dengan tuduhan penghasutan kepada rakyat untuk melakukan makar. Haji Salahuddin dan para pengikutnya kemudian ditahan di Ternate untuk diadili.

Di pengadilan, Haji Salahuddin yang merupakan pendukung setia Republik Indonesia menyatakan pledoinya. Haji Salahuddin menegaskan bahwa ia hanya patuh kepada pemerintah RI, tidak kepada yang lain, termasuk Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, apalagi kepada NIT yang dipengaruhi Belanda.

Pengadilan pada 13 September 1947 memutuskan bahwa Haji Salahuddin dan 6 orang pengikutnya dinyatakan bersalah. Haji Salahuddin dijatuhi hukuman mati, sedangkan ke-6 pengikutnya divonis penjara selama 6-12 tahun.

"Menyelamatkan RI berarti menyelamatkan Islam, mengkhianati RI berarti mengkhianati Islam!" lantang Haji Salahuddin dalam pledoinya.

Tanggal 6 Juni 1948, eksekusi terhadap Haji Salahuddin dilakukan. Haji Salahuddin dibawa ke lapangan tembak militer di Ternate, dan tepat pada jam 06.00 pagi, ia dieksekusi oleh regu tembak. Jenazah Haji Salahuddin kemudian dikebumikan di pemakaman Islam di Ternate.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada & Iswara N Raditya

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada & Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya