Menuju konten utama

Bikin Kandidat Pilkada 2020 Kebal Hukum Itu Buruk, Pak Kapolri

Kapolri menginstruksikan bawahannya menunda pengusutan kasus calon kepala daerah dengan alasan netralitas. Pengamat menilai itu tak bisa dijadikan alasan.

Bikin Kandidat Pilkada 2020 Kebal Hukum Itu Buruk, Pak Kapolri
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menyampaikan paparan saat rilis akhir tahun 2019 Polri di Jakarta, Sabtu (28/12/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan bawahannya untuk menghentikan sementara penyelidikan dan penyidikan terhadap seluruh calon kepala daerah Pilkada 2020 yang sedang terjerat kasus hukum lewat Surat Telegram Nomor: ST/2544/VIII/RES.1.24/2020 bertanggal 31 Agustus 2020.

Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono, Rabu (2/9/2020), mengatakan latar belakang kebijakan ini adalah “Kalau polisi lakukan pemeriksaan, bisa dituduh tidak netral.” “Itu yang kami hindari,” kata Argo.

Instruksi tersebut tidak berlaku untuk kandidat yang diduga melakukan tindak pidana pemilihan, tertangkap tangan mengancam keamanan negara, dan melakukan pidana dengan ancaman hukuman seumur hidup dan hukuman mati.

Segala proses penyelidikan dan penyidikan akan dilanjutkan saat pilkada selesai.

Dalam surat telegram itu Idham juga menekankan agar seluruh jajarannya menaati instruksi. Jika tidak, akan didisiplinkan maupun sanksi kode etik.

Kebijakan Idham didukung anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman. “Sudah benar itu. Untuk menjaga netralitas,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (3/9/2020).

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto juga berpendapat kebijakan tersebut sesuai dengan semangat keadilan restoratif dan kerja kepolisian tidak mengganggu pelaksanaan Pilkada 2020. Kebijakan ini juga menutup kemungkinan dimanfaatkan lawan politik.

“Tidak berarti penutupan kasus. Kasus hukum bisa diteruskan pasca-pilkada,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.

Masalahnya Bambang meragukan keberanian kepolisian dalam melanjutkan perkara usai pilkada, apalagi jika kandidat yang bermasalah dinyatakan sebagai pemenang kompetisi. “Seringkali yang terjadi adalah kasus hukum pemenang pilkada menguap setelah memenangkan pemilihan, karena pemenang pilkada sudah mempunyai power lebih baik” ujarnya.

,

“Di sini menjadi uji nyali kepolisian, berani terus atau tidak?”

Lebih lanjut Bambang mendorong agar masyarakat turut mengawasi para kandidat yang bermasalah dengan hukum, meskipun tantangannya cukup besar, yakni permainan politik uang. “Beban kepolisian akan makin berat pasca-pilkada. Tetapi kasus hukum harus diteruskan sampai berketetapan hukum.”

Instruksi Aneh

Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice and Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan instruksi Kapolri ini aneh. Alasan yang digaungkan--demi netralitas--dinilai kurang tepat.

“Tugas mereka, kan, penegakan hukum, bukan juri pilkada. Kalau harus hati-hati ya boleh, tapi kalau menghentikan aneh juga,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.

Semestinya Kapolri lebih mengingatkan jajarannya untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum. Kehati-hatian pula dapat membuat mereka terhindar dari tudingan tidak netral atau berpihak.

Erasmus juga menekankan, jangan sampai proses hukum yang memiliki urgensi tinggi ikut diberhentikan. Sebab ia mengkhawatirkan keberadaan alat bukti dan juga saksi jika proses penyidikan dihentikan sementara.

“Jangan sampai kasus-kasus yang benar serius malah enggak diproses. Kalau kasus pembunuhan masak enggak ada penyidikan?” ujarnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati justru mempertanyakan sikap profesionalisme kepolisian di balik penerbitan kebijakan ini. Menurutnya, jika memang mereka profesional, polisi tidak perlu lagi khawatir dituding tidak netral.

"Kalau memang kepolisian profesional tidak perlu khawatir akan dianggap tidak netral," ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.

Khoirunnisa menambahkan, proses hukum menjadi penting dilakukan demi memenuhi hak informasi masyarakat. Dalam situasi pandemi, mungkin masyarakat tak terlalu memperhatikan saksama latar belakang para kandidat, walaupun setiap kandidat yang sedang bermasalah secara hukum tidak dilarang untuk mencalonkan diri dalan pemilihan kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

“Justru masyarakat harus mendapat informasi yang seluas-luasnya tentang kandidat yang akan maju di daerahnya,” ujarnya.

Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menarik jauh alasan kepolisian menghentikan proses hukum demi netralitas. Hal itu menurutnya bertolak belakang dengan sikap internal mereka yang menempatkan anggota--termasuk perwira aktif--dalam jabatan sipil. Meskipun hal tersebut tidak dilarang dalam perundang-undangan, namun tetap saja tidak etis karena memicu konflik kepentingan dan mendorong Indonesia ke arah negara polisi.

“Justru kalau mau menjaga netralitas dan profesionalitas, seharusnya Polri tetap pada mandat utamanya yakni untuk menjaga keamanan, dan tidak dilibatkan dalam jabatan sipil,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino