Menuju konten utama
Ravel Junardy

"Bikin Festival Musik Itu Tidak Menguntungkan"

Biaya pengeluaran terbesar di Hammersonic adalah untuk produksi.

Ilustrasi Avatar Ravel Junardy

tirto.id - Titimangsa 2012, Ravel Junardy bertemu dengan Stevie Item. Mereka berbincang tentang kemungkinan membuat festival musik metal tingkat nasional. "Sekalian saja tingkat internasional," ujar Ravel.

Ravel, pria usia 30-an mengenang masa itu dengan tertawa kecil. Setelah pertemuan itu, mereka lanjut bertemu dengan Krisna Sadrach, pemain bass Sucker Head. Mereka bertiga akhirnya sepakat membuat Hammersonic di bawah bendera Revision Live Entertainment. Ravel menjabat sebagai Chairman, dan Krisna bertindak selaku Chief Operating Officer. Sebermulanya adalah modal keberanian dan beberapa jaringan yang dipunyai Ravel. Bahkan kantor saja mereka belum punya.

"Saat itu kami ngantornya di angkringan Fatmawati," kenang Ravel.

Hammersonic pertama kali mengudara pada 28 Apri 2012 di Senayan, Jakarta Pusat. Saat itu penampilnya ada Deadsquad (band yang digawangi Stevie), Koil, Burgerkill, Sucker Head, hingga band internasional seperti D.R.I dan Suffocation. Helatan pertama ini dikunjungi sekitar 15.000 penonton.

Festival metal ini terus berkembang. Mereka benar-benar menjadi festival musik skala internasional, sesuatu yang sejak awal dicanangkan. Ada banyak band metal kelas wahid yang pernah manggung di sini. Dari Cannibal Corpse, Kreator, Bullet for My Valentine, Angra, Lamb of God, hingga Megadeth. Sekarang, Hammersonic sudah menjelma sebagai festival musik metal dan rock terbesar di Asia Tenggara.

Tahun ini Hammersonic mengusung tema Metalveva Jayamahe, yang diartikan bebas sebagai dengan metal kita berjaya. Kali ini In Flames, band heavy metal asal Swedia, yang jadi penampil utama di festival yang akan diadakan di Ancol Dreamland, 22 Juli 2018. Selain In Flames, ada pula nama-nama seperti Dead Kennedys dari Amerika Serikat, Koil, dan Deadsquad. Menariknya, dalam rilis pers, dituliskan bahwa Hammersonic tahun ini bisa jadi yang terakhir. Dalam konferensi pers, berkali-kali panitia menyebut bahwa ini adalah, "...the last of us," yang kemudian melahirkan isu bahwa tahun ini adalah Hammersonic terakhir.

Tirto.id bertemu dengan Ravel Junardy untuk berbincang tentang Hammersonic, tentang festival musik, hingga kenapa kita tak perlu terlalu terpaku pada The Big Four. Juga bagaimana ia dan timnya terus menyalakan mesin serta menjaga agar Hammersonic tetap ada dan terus menjadi salah satu festival metal terbesar di Asia.

Sebenarnya The Last of Us itu benar-benar Hammersonic terakhir, atau hanya gimmick?

Sebenarnya banyak orang yang salah pengertian. The Last of Us itu artinya kita adalah satu-satunya festival rock, metal, terakhir di Indonesia. Jadi lestarikanlah. Kita tahu banyak festival rock yang bagus. Java Rockin’ Land, Bandung Berisik, Rock In Solo. Sekarang tinggal kami doang, gak ada lagi yang lain. Cuma kami yang bertahan, survive, dan yang masih terus-terusan mau bikin festival ini.

Di konferensi pers kemarin, juga di rilis pers, dibilang bahwa tahun ini mungkin Hammersonic yang terakhir. Jadi bukan yang terakhir ya?

Kita enggak tahu, kita enggak bisa jawab juga. Karena kita enggak tahu seperti apa keadaan di depan, kondisi politik atau apa.

Tapi optimistis tahun depan ada lagi?

Saya sih selalu optimis. Semoga bukan yang terakhir. Sayang sekali, karena ini festival metal terakhir. Masa sudah yang terakhir, jadi berakhir.

Ini tahun ketujuh, apa yang membedakan dari festival pertama?

Yang membedakan, kami kini lebih wide genre musiknya. Banyak cibiran dari netizen dan banyak orang. Dari tahun pertama sudah banyak yang gak suka.

Karena? Apakah perkara genre?

Tidak juga. Dari tahun pertama sudah banyak yang gak suka. Karena politiknya juga. Di genre metal sendiri ada semacam pengkotak-kotakan. Banyak itu terjadi. Ada yang dari tahun pertama, (metal) satu jari lah. Saya sih gak terlalu mikir. Yang penting jalanin dulu saja lah.

Jadi tahun ini kami bikin lebih luas, tidak gitu-gitu saja. Karena kalau melulu metal, metal, metal, orang pasti bosen juga. Terbukti, dari bisnisnya setahun ini industri drop.

Bisnis Hammersonic drop?

Enggak, untuk semua industri metal. Saya banyak ngobrol juga dengan semua pelaku industri. Penjualan merchandise saja turun 80 persen.

Mulai kapan tim Hammersonic berpikir kalian harus melebarkan genre?

Dari dua tahun lalu. Sebenarnya melebarkan genre itu bukan dalam arti mendatangkan band pop. Tetap satu benang merah, musik keras.

Pertanyaan ini paling dasar: bikin festival musik itu menguntungkan enggak sih?

(terdiam cukup lama). Pertanyaan ini cukup sulit dijawab. Menguntungkannya tidak selalu materi sih. Kalau mau bikin festival yang bagus, bagus banget, jawabannya: tidak menguntungkan.

Bahkan untuk skala besar dan berkesinambungan seperti Hammersonic?

Nggak menguntungkan (geleng kepala). Secara finansial enggak menguntungkan.

Lalu apa yang membuat Hammersonic jalan terus?

Dukungan dari fans-fans kami lah. Kalau enggak ada itu ya… Saya sering membaca komentar-komentar di media sosial. Yang mencerca kadang bikin saya mikir, kenapa harus kayak gitu? Tapi banyak juga yang membela (Hammersonic). Ternyata ada juga ya fans yang bener-bener fans. Enggak peduli siapa artisnya, mereka tetap mendukung. Mereka itu yang bikin kami jalan terus.

Jadi kasarannya, bikin festival musik itu adalah kegiatan membakar uang?

(Terdiam lama). Uhm, jadi sebenarnya ada nilai lain: nama. Ada branding yang kami bangun. Uang yang kami keluarkan untuk bikin festival, itu jadi nilai branding. Buktinya, kami jual merchandise laku. Padahal kami jual eksklusif, hanya di acara. Kalau kami mikir finansial doang, kami akan jual merchandise sebanyak-banyaknya. Kami jadiin seperti clothing. Tapi saya gak mau. Nanti hilang nilai idealismenya. Jadi tetap, merchandise hanya dijual di venue. Kayak gitu yang bisa kami kembangin. Kami naikin brandingnya.

Tapi anda tidak menampik kan kalau sebuah festival musik sebagai bisnis, harus tetap menguntungkan supaya bisa terus berjalan?

Memang betul. Sebuah bisnis itu harus menguntungkan untuk bisa berjalan. Dari sisi Hammersonic, ini ditopang oleh bisnis-bisnis lain. Analoginya, kami harus terus memoles kekurangan agar jadi lebih baik. Evaluasi. Sebagai brand, maupun prestise.

Menurut anda, apa kekurangan Hammersonic hingga sekarang?

Produksi. Punya kita masih kalah jauh dibandingkan produksi festival di luar negeri. Tahun ini kami satu-satunya festival rock yang skala panggungnya benar-benar bagus. Sekelas produksi Wacken, atau Hell Fest. Setiap tahun kita aiming ke situ. Kami datengin alat-alat yang paling bagus, yang bahkan rental company pun harus import. Dari Australia, atau lampu dari Singapura.

Di Indonesia belum ada yang bisa menyediakan itu?

Belum ada. Ya itu, dua yang bisa menyediakan adalah Sumber Ria dan Focus Production. Tapi mereka akhirnya tetap harus impor. Karena di Indonesia belum ada yang pakai. Kayak lampu yang dipakai band In Flames, di Indonesia gak ada yang punya. Tetap impor. Mereka bisnisnya berkembang, saya “paksa” mereka untuk beli barang impor itu. Saya bayar dengan harga yang masuk akal. Akhirnya Indonesia juga belajar. Banyak festival musik sekarang mencontoh produksinya Hammersonic.

Tim Hammersonic pernah mencatat rata-rata penonton per tahun?

Di angka 30 ribuan.

Target tahun ini berapa?

Kami gak pernah bikin target. Bagi kami, kalau penonton puas dan senang, itu rasanya melebihi target.

Tapi grafik penonton naik terus?

Naik turun sih. Dari sisi ekonomi, misalnya.

Apakah komposisi line up berpengaruh?

Sedikit sih. Tapi yang baru bagi kami adalah, kami gak lagi tergantung pada festival-festival di sekitar kami. Kami gak lagi nunggu Australia, gak lagi nunggu Jepang. Kami langsung booking direct ke musisinya. Mereka yang ikut jadwal kami.

Apakah ini karena sumber pendanaan lebih gede?

Karena saya males nunggu-nunggu jadwal sebenarnya. Jadi ya udah. Kami nentuin tanggal, siapa saja artis yang bisa. Kayak In Flames, misalnya. Bener-bener dari Swedia, langsung ke sini. Minggu depannya mereka main di festival Borgholm Brinner di Swedia. Jadi mereka khusus main di Hammersonic. Dan ini pertama kalinya mereka main di Asia Tenggara.

Pendekatan seperti ini mulai kapan dipakai?

Sejak dua tahun terakhir lah.

Itu lebih efektif?

Kalau dari segi cost, lebih mahal. Jauh lebih mahal, hingga 3 kali lipat. Tapi kami lebih punya banyak pilihan. Karena kami juga harus mikir, line up yang kami mau datangkan, siapa yang belum datang. Karena misalkan, semua orang minta Slayer. Namun begitu Slayer didatangkan, bingung tahun depannya mau mendatangkan siapa. Kami menjaga agar itu tak terjadi.

Apakah itu yang terjadi setelah kalian mengundang Megadeth? Apakah ada beban untuk mengundang nama lain dari Big 4 (istilah di dunia thrash metal untuk menyebut Metallica, Slayer, Megadeth, dan Anthrax)?

Enggak ah. Menurut saya, istilah itu hanya analogi nama doang. Bahkan dari empat itu, ini belum tentu jadi band terbesar di dunia, kecuali Metallica ya. Bahkan Anthrax, main di festivalnya In Flames, namanya di bawah In Flames. Jadi itu hanya istilah bisnisnya John Jackson (nama agen booking yang pernah berkiprah di ICM dan Fair Warning, banyak menangani band-band rock). Itu pun hanya thrash metal. Okelah, kalau di thrash, mereka yang terbesar. Tapi jangan lupa, di thrash ada Kreator, juga ada banyak band lain dari Eropa. Menurut saya, bukan itu band metal terbesar di dunia. Mau dikemanain Iron Maiden? Mau dikemanain Judas Priest? Slipknot?

Contohnya: Slayer main di Santiago. Ditonton paling sekitar 5.000 orang. Tapi Iron Maiden di Santiago, penontonnya 100.000. Intinya sih menurut saya, jangan terlalu terpaku pada nama besar, Big 4 itu saja.

Di Indonesia, Hammersonic “dituntut” mendatangkan nama besar, Slayer misalkan?

Adaaa. Tapi kami punya strategi bisnis sendiri. Kami gak mau tahun ini datengin Slayer, tapi tahun depannya kami bingung datengin siapa. Masih banyak band-band selain Slayer yang harus didatangkan lebih dulu. In Flames, misalnya. Ini band keren banget menurut saya. Mereka jadi influence dari band-band metal baru, Trivium contohnya. Tapi karena In Flames ini dari Eropa, begitu pula Rammstein, jadinya agak kurang dilirik. Banyak orang Indonesia terlalu American minded. Padahal kalau di Eropa, Rammstein itu keren banget.

Avantasia, misalkan. Gak banyak yang tahu kan? Tobias Sammet, dia main di Wacken itu 100.000 orang yang nonton. Di sana besar. Kita perlu edukasi, bahwa metal itu bukan hanya Big 4.

Dan Hammersonic ingin mengedukasi itu?

Oh iya, kami ingin mengedukasi, terus mengedukasi penonton kami. Dari segala hal, gak hanya musik. Tapi juga dari tata cara menonton festival, terus dari harga tiket. Orang pada komplain harga tiket Hammersonic 400 ribu itu mahal. Coba saja cek, kami ini paling murah. Karena kami selalu menjaga agar daya beli masih terjangkau.

Dalam konferensi pers Hammersonic, ada yang menyebut Hammersonic setengah hati dalam mengundang line up. Menurut anda?

Setengah hati jelas enggak. Mungkin itu tipe orang yang mengkotak-kotakkan. Tahun ini, In Flames adalah headline utama Wacken. Nama dia dicetak paling besar, paling atas. Berarti kalau kayak gitu, kami gak kalah dong dengan Wacken. Atau Ihsahn dari band black metal Emperor. Dia kalau main di Eropa, selalu ditaruh paling belakang (penampil utama).

Banyak festival musik sudah didukung pemerintah. Hammersonic bagaimana?

Gak ada sama sekali.

Tidak ada keinginan untuk kerja sama, misalkan bantuan terkait imigrasi atau pajak?

Uhm. Enggak sih. Makanya saya bilang kami itu The Last of Us. Kami dipandang sebelah mata, tapi massa kami banyak. Kalau pemerintah tidak mau bantu kami, ya apa boleh buat. Kami ini mendatangkan devisa, lho. Segitu banyaknya orang luar negeri datang dan menghabiskan uang di sini. Contoh mikronya, Ancol deh. Setiap Hammersonic, Ancol itu pendapatannya selalu naik 40 persen. Bahkan bisa sampai dua kali lipat dibanding pendapat normal. Padahal Ancol ini punya Pemprov DKI. Tapi kami ya tidak didukung (tertawa). Kami gak mencari sih. Orang-orang pemerintah yang harusnya jeli, mana yang potensial untuk jadi pariwisata. Kami sudah jalan tujuh tahun, tapi pemerintah juga gak jeli. Tapi kami ya gak terlalu peduli juga sih.

Sekarang Hammersonic adalah satu-satunya festival metal dan rock skala besar di Indonesia. Bagaimana anda melihat ini? Apakah ini artinya susah membuat festival musik rock yang berkesinambungan? Atau karena genre rock dan metal ini tidak menguntungkan?

Karena festival musik itu susah dibuat. Gak cuma aspek artis. Banyak printilannya. Bisa juga pelaku-pelaku yang terdahulu malas karena gak ada uangnya. Itu yang terjadi pada banyak festival musik rock dan metal. Sebenarnya kami (Revision), juga yang membuat Rock In Solo. Tapi kawan-kawan di Solo punya otonomi untuk membuat, silakan. Tapi ternyata gak jalan.

Kendalanya apa sih? SDM?

Banyak aspek. Dari sisi finansial. Rock in Solo dari tahun pertama sampai tahun terakhir, gak pernah untung. Itu yang bisa saya buka. Begitu pula Hammersonic, dari tahun pertama sampai sekarang, gak pernah untung.

Kalau boleh tahu, untuk menyelenggarakan festival musik sekelas Hammersonic, berapa sih biaya yang dibutuhkan?

Sekitar 2 juta dolar (sekitar Rp29 miliar).

Pemasukan paling besar dari mana? Tiket? Sponsor?

Dari pribadi (terkekeh). Uang dari sponsor paling hanya menutupi 20 persen pengeluaran. Tiket sekitar 30 persen. Sisanya ya pribadi. Cukup mengerikan kan bisnis ini? (tertawa). Tapi di balik itu semua, uang “sekolah” yang saya keluarkan tiap tahun untuk Hammersonic itu jadi nama Hammersonic. Saya pernah ke Papua hingga Aceh, ada kaus bajakan Hammersonic. Bahkan penjualnya gak tahu itu kaus apa. Tapi kaus Hammersonic ada.

Pengeluaran paling besar?

Produksi. 50-50 dengan artis.

Pasti ada titik lelah kan? Bagaimana anda menyikapi itu?

Titik itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Sudah lewat malah. Jadi saya berpikir, balik lagi ke penggemar Hammersonic. Kami punya fans militan.

Ungkapan “semua untuk penggemar” itu jadi gak klise di sini ya?

Iya, gak klise. Everything for the true fans.

Anda melihat itu sebagai benefit jangka panjang?

Apa ya. Saya ini orang yang rela mengeluarkan uang untuk sesuatu yang saya sayang. Saya sayang Hammersonic sejak awal muncul. Jadi apapun yang terjadi, saya keluarkan. Masalah profit atau non profit, itu urusan ke berapalah.

Sekarang pergi ke festival musik sudah jadi gaya hidup. Makin bermunculan festival musik, dari skala kecil sampai besar. Ada tips untuk orang-orang yang ingin bikin festival musik?

Pertama ya jangan idealis, dalam artian lu harus mainstream untuk cari profit. Sekarang orang bikin festival ya cuma ada dua tipe: orang yang mau cari untung, atau orang yang cuma ingin senang-senang. Mau pilih yang mana? Kalau mau cari untung, ya harus mainstream. Kalau mau senang-senang, ya jangan berharap untung.

Dan Hammersonic yang mana?

Jelas idealis. Idealis menurut saya. Buat seneng-seneng. Jadi kalau kelak fans sudah berhenti mendukung, di situlah akhir Hammersonic.

Baca juga artikel terkait FESTIVAL MUSIK atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nuran Wibisono