Menuju konten utama
Miroso

Bicara Keberagaman Soto, Mengenang Pak Di

Soto adalah jenis makanan yang banyak membawa cerita dari beragam daerah.

Bicara Keberagaman Soto, Mengenang Pak Di
Soto Banjar. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Sewaktu kecil, soto yang biasa saya santap adalah soto dari warung Pak Di yang letaknya tak jauh dari rumah. Soto di sana punya kuah keruh bersantan, irisan ayam kampung yang irit, taburan bawang goreng sekadarnya, tapi royal taburan kecambah.

Karena pengalaman bersantap itu pula, saya dulu berpikir soto harus punya kuah keruh. Jadi yang kuahnya bening itu bukan soto, melainkan sop. Tentu saja ini asumsi yang serampangan. Apa boleh buat, konon apa yang dimakan ketika kecil dan terus berulang, itu akan membuat "definisi" dan standar dalam otak.

Padahal anggapan tersebut sangat mudah dipatahkan. Ambil contoh sop merah yang kuahnya keruh, dan soto Bandung yang berkuah bening. Dari sana saja bisa diambil kesimpulan bahwa soto tidak bisa didefinisikan hanya dari kuah saja.

Hal yang coba saya pahami, bahwa sebagian besar dari kita memiliki ingatan tentang makanan yang membawa kembali ke masa kanak-kanak. Dalam kasus saya, soto jadi salah satunya. Tidak peduli seberapa remehnya, ingatan yang melibatkan makanan bisa hadir sangat jelas dan terkadang terasa lebih menggugah daripada jenis ingatan lainnya. Penjelasan ini menemukan alasannya, saat Susan Whitborne menjelaskan tentang betapa kuat ingatan tentang makanan.

“Kenangan tentang makanan lebih bersifat sensorik daripada ingatan lain karena melibatkan semua panca indera, jadi ketika Anda benar-benar terlibat dengan stimulus tersebut, hal itu akan memiliki efek yang lebih kuat,” ujar profesor ilmu psikologi dan otak dari Universitas Massachusetts ini.

Dari khazanah soto pula saya yakin, soto adalah jenis makanan yang banyak membawa cerita dari beragam daerah, latar belakang, kenangan, hingga rasa yang tidak bisa didefinisikan tunggal. Biasanya, saat ada orang yang mengatakan makanan favoritnya adalah soto, maka akan ada pertanyaan lanjutan: soto yang mana nih?

Dalam presentasinya tentang soto di kanal TEDx Talks, Fadly Rahman, dosen dan sejarawan yang mengkhususkan diri dalam studi sejarah makanan ini, menguraikan sejarah soto sebelum era kemerdekaan. Soto dulu dikenal dengan isi jeroan jenis hewan berkaki empat yang dipopulerkan kalangan Tionghoa di Semarang sekitar abad ke-19. Saat itu soto dianggap makanan kelas sudra yang dijajakan dengan dipikul, dan dimakan langsung dengan tangan kosong tanpa sendok.

Pemerintah Kolonial Belanda, menganggap bahwa jenis makanan berkuah itu tidak layak dimasukkan sebagai makanan yang layak dikonsumsi oleh kalangan ningrat Eropa. Jeroan, sebagai bahan utama soto saat itu dianggap tidak sehat.

Penggunaan jeroan sapi sebagai bahan utama soto saat itu, adalah alasan logis karena harga daging yang terlampau mahal. Kemudian bahan dan jenis isi soto mulai berkembang setelah era kemerdekaan dengan dimasukkannya resep soto dalam buku Mustika Rasa (1967), yang diprakrasai presiden Soekarno.

Pada perkembangannya, soto bervariasi dan setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Daging pun mulai digunakan sebagai bahan baku utama soto, dicampur dengan berbagai bumbu khas tiap daerah.

Ada soto Padang dengan kuah kaldu sapi, cita rasa rempah kuat, dan kerupuk merah khasnya. Ada pula soto Betawi yang memiliki kuah susu atau santan yang membuatnya makin gurih dengan aroma dari perkawinan pala, cengkeh dan kapulaga. Ada soto mie Bogor dengan dominasi mie kuning basah, urat dan kaki sapi, risoles, serta babat. Ada pula soto di daerah Tegal dan Pekalongan yang disebut dengan sauto, artinya soto yang menggunakan tambahan tauco. Belum lagi soto Banjar, coto Makassar, hingga soto Madura.

Kesimpulannya: banyak ragam soto di Nusantara dengan varian bahan, bumbu, dan rasa yang tidak akan bisa disimpulkan dalam satu benang merah, seperti hanya melihat jenis kuahnya saja.

Namun bagi saya, dari semua soto yang pernah saya coba, yang akan selalu mengalir dalam nadi dan ingatan saya adalah soto Pak Di. Tujuh tahun lalu saya ke sana, dan tidak saya sangka itu akan jadi perjumpaan terakhir dengan warungnya, sotonya, juga pembuatnya.

Seperti kuah soto dari warung Pak Di yang sedang mengalir dalam ingatan saya, sebuah warung soto yang terakhir kali saya mengunjunginya tujuh tahun lalu. Dan benar-benar menjadi perjumpaan terakhir dengan warungnya, sotonya, hingga pembuatnya.

Yang tersisa kemudian adalah bongkahan memori yang coba saya rajut, tentang suasana sepi saat memasuki warungnya, beberapa meja berbentuk persegi panjang yang terletak di tengah, kanan, dan kiri ruangan yang tampak berdebu. Beberapa toples berisi peyek kacang dan rengginang mengisi di meja bagian tengah. Tak ada daftar menu masakan. Sekilas, warung Pak Di memang tidak tampak seperti warung makan.

Beberapa kali saya mencoba memanggil empunya warung. Awalnya pelan. Tak ada sahutan. Suara agak saya tinggikan. Tetap tak ada yang datang.

Saya coba masuk agak ke dalam, dekat ke bagian dapur. Di sana, tampak seorang laki-laki paruh baya tertidur menyandarkan kepalanya di sebuah meja dengan kedua tangannya sebagai bantalan. Tampak kelelahan jelas terlihat, sebelum kemudian dirinya agak terperanjat, dan dengan mata yang memerah sembari tergesa berbicara dengan nada yang terdengar berat;

“Monggo, ngersakke nopo?” Silakan, mau pesan apa?

Laki-laki yang bernama lengkap Sarmadi, atau biasa disapa Pak Di ini akhirnya menyambut saya. Menjawab pertanyaannya, saya menukas dengan menu pesanan yang sejak kecil menjadi kesukaan saat berkunjung ke warung ini;

“Sotone onten, Pak Di?” Apa sotonya masih ada?

Wajahnya tampak agak menilisik, sembari pertanyaan dijawabnya dengan singkat,

“Oh, wonten. Dahar mriki, nopo bungkus?” Ada, mau dimakan di tempat atau dibungkus.

“Ting mriki mawon."

Infografik Miroso Mengenal Soto Mengenal Indonesia

Infografik Miroso Mengenal Soto Mengenal Indonesia. tirto.id/Tino

Saya ambil posisi duduk menghadap lurus ke dapur, sembari melihat Pak Di menyiapkan pesanan. Sembari mengudap peyek kacang, saya bertanya kenapa warungnya sekarang sepi.

Tanpa dikomando, cerita mengalir deras. Ada banyak perubahan yang terjadi di jalan. Pembangunan tol lintas Jawa, misalkan. Ini berpengaruh ke arus lalu lintas pengunjung ke warungnya. Dulu di era 90-an, pelanggan warungnya kebanyakan supir truk, pengemudi bus, dan para musafir yang melintasi jalan raya Purworejo-Magelang.

Banyak pelintas itu akrab dengan Pak Di, menggodanya dengan sebutan kemayu, merujuk pada intonasi khas suaranya, gerak tubuhnya, dan sandal bakiak berbahan kayu yang dipakainya dengan diseret --saat dirinya sibuk melayani pelanggan.

Saya menyantap soto yang rasanya tak berubah sejak kecil itu sembari menyaksikan gerak-gerik Pak Di. Ia banyak diam. Matanya banyak menerawang ke luar, melihat padi yang dijemur di samping warung. Setelah membayar, saya pulang, dan tak menyangka itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Pak Di.

Tak lama, saya mendengar warung Pak Di tutup. Warungnya sekarang berganti dengan toko pakaian. Saya juga mendengar kabar sedih dan mengejutkan dari emak.

Pak Di memutuskan mengakhiri hidupnya.

Selamat jalan, Pak Di. Terima kasih untuk makanan enak, cerita-ceritamu, dan soto yang selamanya tak akan pernah bisa ditandingi.

Baca juga artikel terkait MIROSO atau tulisan lainnya dari Husni Efendi

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Husni Efendi
Editor: Nuran Wibisono