Menuju konten utama

Biaya Memproduksi Cahaya yang Semakin Murah

Cahaya buatan dari berbagai lampu dan penerangan yang dinikmati manusia saat ini dulunya adalah suatu yang mewah.

Biaya Memproduksi Cahaya yang Semakin Murah
Ilustrasi penerangan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sekitar 4.000 tahun lalu, di masa kejayaan Babilonia, biaya yang dibayar untuk menikmati sepuluh menit cahaya buatan manusia bisa setara dengan gaji seorang buruh dalam sehari. Di masa itu, cahaya buatan berasal dari minyak wijen.

Jauh ke belakang, Australopithecus—jenis manusia purba yang dipercaya sebagai nenek moyang Homo Sapiens—sudah menggunakan api sebagai sumber penerangan ketika malam datang. Di masa itu, selama sekitar satu juta tahun, sumber penerangan buatan yang digunakan manusia hanyalah api. Barulah pada tahun 3.000 SM, lilin mulai digunakan di peradaban Mesir dan Yunani.

Lilin kemudian menjadi sumber utama cahaya buatan selama lebih dari empat ribu tahun. Pada masa abad pertengahan, lilin yang terbuat dari lemak, digunakan dengan secara masif di Eropa. Lilin pada masa itu tak semurah harga lilin yang bisa dibeli masa kini. William D Nordhaus, Profesor bidang ekonomi di Yale University menghitung biaya ekonomi yang dikeluarkan manusia untuk menikmati cahaya buatan. Hasil perhitungan itu sudah dipublikasikan pada 1998.

Untuk bisa menikmati cahaya setara bohlam 100 watt pada 1750 SM, manusia harus bekerja selama 400 jam atau sekitar 17 hari. Biaya yang sangat mahal. Pada masa itu api memang bisa didapat dari mengumpulkan kayu bakar tapi mengumpulkan kayu adalah proses bekerja. Setumpuk api unggun saja tidak cukup untuk menghasilkan cahaya setara bohlam 100 watt. Sehingga menurut Nordhaus, cahaya buatan di masa itu adalah sesuatu yang sangat mahal.

Sekitar abad ke-18, harga cahaya buatan manusia sudah jauh lebih murah. Nordhaus menggambarkan harga satu jam menikmati cahaya pada masa itu setara 50 jam bekerja. Pada masa itu, teknologi lilin sudah mengalami proses inovasi. Selain menggunakan lemak, lilin yang terbuat dari asam stearat, spermaceti, dan parafin sudah dikenal masyarakat. Spermaceti adalah zat lilin putih yang diperoleh dari rongga kepala ikan paus sperma. Penggunaan spermaceti pada masa itu membuat paus diburu untuk diambil zat lilin dan lemaknya.

Pada 1792, untuk kali pertama William Murdoch—ilmuwan asal Skotlandia—menggunakan gas dari batu bara untuk menerangi rumahnya di Cornwall, Inggris. Murdoch menemukan cara memproduksi dan menyimpan gas batu bara. Enam tahun kemudian, Murdoch menggunakan teknologi yang sama untuk menerangi kantornya di Birmingham. Pada 1807, penerangan berbahan bakar gas untuk pertama kalinya dipasang di Pall Mall, London oleh Friedrich Winzer—ilmuwan kelahiran Jerman.

Di luar Inggris, kemajuan teknologi cahaya buatan juga terjadi. Menurut catatan Roger Fouquet dan Peter Pearson dalam The Long Run Demand for Lighting, Philippe le Bon mendemonstrasikan lampu jalan berbahan bakar gas di Paris pada 1801. Jalan-jalan di Amerika, hal serupa juga terjadi. Baltimore adalah kota pertama di negara itu yang benderang oleh lampu gas di jalanan. Selain itu, pembangkit gas perdana di Jerman dibuka di Hannover pada 1825. Pada saat yang sama 40.000 lampu gas menyala di jalanan Kota London

Biaya untuk memproduksi cahaya buatan manusia—terus turun dengan cara yang hampir tidak bisa dibayangkan generasi pendahulunya. Nordhaus mensubstitusi biaya untuk menikmati cahaya dengan jam kerja, lain hal dengan Roger Fouquet dan Peter Pearson yang menggunakan nilai uang. Mereka menyatakan harga satu jam cahaya pada 1800 di Inggris lebih mahal 3.200 kali dibandingkan dengan saat ini. Satu jam cahaya didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang ditumpahkan bola lampu 100 watt selama satu jam. Menurut kalkulasi kedua ekonom lingkungan ini, satu jam cahaya pada masa 1800 setara dengan 130 Euro saat ini. Pada 1900, harganya masih 4 Euro. Pada 2000, harganya terus menukik menjadi hanya 4 sen Euro.

Perkembangan teknologi cahaya buatan manusia terus berlanjut. Pada 1879, Joseph Swan dan Thomas Alva Edison menemukan lampu pijar dengan filamen karbon. Edison lalu berusaha membuat temuan itu bisa digunakan secara masif.

Namun, penemuan bohlam pijar itu saja tidak cukup. Lampu itu tak akan bisa berpijar tanpa listrik. Pada saat itu untuk membangun pembangkit listrik, dibutuhkan investasi besar. Namun, Edison mendapatkannya dari JP Morgan. Pada 1882, dengan penemuan Edison, sebagian Kota New York dibuat terang benderang.

Sejak itu, inovasi bola lampu terus berlanjut dan biaya satu jam cahaya menjadi lebih murah. Sekitar 1880, harga satu jam cahaya hanya setara bekerja tiga jam bila mengacu dari hitungan Nordhaus. Hari ini, dengan bola lampu hemat energi, satu jam cahaya hanya setara bekerja satu detik.

Infografik berapa lama waktu

Polusi Cahaya

Murahnya harga cahaya buatan saat ini, membuat manusia memakainya berlebihan. Tak hanya sebagai alat penerang, seringkali cahaya buatan yang berasal dari berbagai jenis bola lampu dijadikan hanya sebagai hiasan. Cahaya buatan yang berlebihan ini kemudian menjadi polusi cahaya.

Kenneth P. Wright Jr, seorang profesor fisiologi integratif di University of Colorado, Amerika Serikat membuktikan bahwa polusi cahaya memberi dampak cukup besar pada ritme sirkadian manusia.

Jam sirkadian ini letaknya di otak manusia. Ia semacam jam biologis yang memberitahu otak kapan harus tidur dan bangun, kapan harus makan, dan kapan kita harus waspada. Polusi cahaya membuat jam biologis ini kebingungan dan menggeser jam tidur alamiah manusia yang pada hakikatnya diatur oleh siklus siang malam. Oleh sebab adanya cahaya buatan, seseorang bisa beraktivitas pada malam hari layaknya siang.

Dalam menanggapi ritme sirkadian, tubuh manusia menghasilkan hormon melatonin. Ini adalah jenis hormon yang memiliki sifat antioksidan, menginduksi tidur, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan kolesterol, dan membantu fungsi tiroid, pankreas, ovarium, testis serta kelenjar adrenal. Paparan cahaya pada malam hari menekan produksi melatonin. Akibatnya, kesehatan manusia terganggu.

Polusi cahaya juga mengancam keselamatan. Kegelapan kerap membuat manusia takut dan merasa tidak aman. Sebaliknya, terang dianggap memberi rasa aman. Ini tentu keliru. Memang benar manusia butuh pencahayaan artifisial untuk membantu penglihatan pada malam hari, tetapi terang tidak berarti aman.

Cahaya berlebihan atau pencahayaan yang tidak tepat membuat cahaya berpendar ke segala arah dan menciptakan kontras cukup tajam antara terang dan gelap. Akibatnya, sulit bagi mata manusia untuk melihat ke arah area yang di luar jangkauan penerangan. Di satu sisi, murahnya harga cahaya memberikan kemudahan bagi manusia dan industri. Namun di sisi yang berbeda, ia menciptakan dampak buruk bernama polusi cahaya.

Baca juga artikel terkait CAHAYA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra