Menuju konten utama

Biar Kaya, Asal Dekil: Kenapa Sepatu Lusuh Dijual Jutaan Rupiah?

Tampil sedekil mungkin adalah gaya. Tak percaya?

Biar Kaya, Asal Dekil: Kenapa Sepatu Lusuh Dijual Jutaan Rupiah?
Ilustrasi Sepatu Converse Belel. iStockPhoto/Getty Images

tirto.id - Desember silam, Ara, pria 32 tahun yang bekerja sebagai fotografer, dengan bangga memamerkan potret sepatu baru di akun Instagramnya. Kawan-kawan yang melihat unggahan Ara heran lantaran tampilan sepatu itu tak terlihat seperti sepatu baru yang biasanya kinclong. Sepatu baru Ara terbuat dari kanvas krem penuh noda hitam bak blepotan oli mobil dan sobek sana sini. Kata Ara, beberapa temannya merasa dibohongi, tetapi lebih banyak kawan bilang sepatunya "keren".

Sepatu Ara dilansir Superga, produsen sepatu asal Italia yang berdiri sejak 1911 dan awalnya fokus memproduksi sepatu tenis. Seiring waktu, sepatu tenis Superga berkembang jadi pelengkap gaya kasual kaum milenial. Akhir 2018, sejumlah concept store di Jakarta seperti The Goods Dept. dan Dope & Dapper memajang Superga di rak sepatu pria. Harganya berkisar antara tujuh ratus ribu sampai satu jutaan rupiah. “Aku beli sepatu itu karena sesuai sama gaya penampilanku yang nggak terlalu rapi,” kata Ara.

Sekali tiga uang dengan Superga, Golden Goose, merek sepatu yang juga berasal dari Italia merilis koleksi sepatu ‘belel’ dengan bentuk lebih ekstrem. Selain dekil, sepatu Golden Goose ditempeli lakban di beberapa bagian dan dijual dengan harga $530. Tak lama setelah diluncurkan, sneakers dekil itu menuai protes warganet. Mereka menganggap Golden Goose mengejek orang miskin. Namun, banjir komentar di dunia maya justru membuat label sepatu yang belum terkenal ini dikenal di berbagai belahan dunia.

Pendiri Golden Goose, Alessandro Gallo dan Francesca Rinaldo menyatakan, “Sepatu ini kami buat sebagai tribut untuk budaya skateboard di West Coast, AS. Seluruh koleksi kami terinspirasi dari pemain skateboard profesional. Kami menempelkan lakban karena kami melihat para pemain skateboard kerap menambal sepatu dengan lakban bila sepatunya rusak.”

Situs jual-beli Nordstorm juga pernah diprotes setelah merilis produk fesyen yang terlihat dekil. Nordstorm menjual jaket dan celana denim yang nampak telah berlumur lumpur. Setelan tersebut dijual dengan harga sekitar $500. Tim pemasaran Nordstorm mendeskripsikan produk bernama Baracuda Straight Length Jeans sebagai busana yang mencerminkan keuletan kelas pekerja AS. Namun, warganet menganggap desain busana itu lahir dari pikiran yang kurang waras.

Kemunculan produk fesyen belel ini bukanlah hal yang tidak wajar. Mengutip teoritikus semiotika Roland Barthes, I-D menyebut busana layaknya sebuah bahasa. “Pakaian ibarat kombinasi berbagai simbol yang dipakai untuk mengkomunikasikan hal yang ingin ditunjukkan para pemakainya. Pakaian memungkinkan seseorang nampak ‘bergonta-ganti kelas sosial’.” Dalam kasus sepatu yang sengaja terlihat dekil, istilah yang mungkin lebih tepat adalah 'bunuh diri kelas'.

Beberapa pebisnis mode yang menjajaki ceruk 'bunuh diri kelas' ini beranggapan bahwa beberapa tahun terakhir, kaum milenial—yang dianggap sebagai konsumen paling berpengaruh di bisnis fesyen—punya kiblat lain soal gaya busana. Marina Larroude, direktur fesyen Barneys New York, mengungkapkan bahwa banyak orang sudah tidak ingin tampil terlalu mewah dan tak mau ngoyo agar tampil memukau. "Kaum milenial ingin mengenakan busana atau aksesoris yang terlihat santai.”

Fenomena 'Bunuh Diri Kelas' Converse

Pada 2008, Converse meluncurkan seri nostalgia Nirvana bertajuk "Converse x Nirvana". Saat itu, Converse merilis dua model sepatu high top hitam belel yang dibubuhi tanda tangan Kurt Cobain, pentolan band Nirvana yang mati bunuh diri pada 1994. Model paling lusuh terlihat serupa dengan sepatu berlakban keluaran Golden Goose. Sepatu lusuh yang dipromosikan Converse sebagai edisi spesial itu dibanderol dengan harga sekitar dua ratusan euro.

Ara sempat membeli salah satunya. Penggemar musik grunge itu menilai sepatu yang dibelinya tersebut sempurna justru karena lusuh dari sananya. “Converse yang masih bagus itu rasanya aneh kalau dipakai,” ungkapnya. Ara tak ingat persis berapa uang yang ia belanjakan untuk seri "Converse x Nirvana" tersebut. Yang ia ingat, sepatu itu relatif mahal pada masanya karena dipatok dengan harga di atas Rp500.000.

"Converse x Nirvana" muncul ketika Converse berupaya menegaskan citranya sebagai sepatu para selebritas. "Converse dibuat dan diilhami oleh seniman" ucap CEO Jim Calhoun menirukan motto Converse yang disetel untuk menarik konsumen muda.

Converse sempat menyatakan diri bangkrut pada 2001 dan baru bangkit lagi setelah diakuisisi Nike. Sejak itu, teknik pemasaran baru pun muncul. Salah satunya dengan mempromosikan citra para pesohor yang kerap mengenakan sepatu kanvas tersebut, termasuk ikon abadi grunge Kurt Cobain.

Infografik Mahal Tapi Belel

Infografik Mahal Tapi Belel

Sebagai musik dan gaya visual secara umum, grunge memang identik dengan gaya lusuh.

Buku From Goodwill to Grunge: A History of Secondhand Styles and Alternative Economies (2017) mencatat musik yang lahir dari kota Seattle, AS, itu besar di tengah anak-anak muda yang sering membeli busana di toko baju bekas. Anak-anak muda generasi awal 1990-an ini memang lekat dengan sikap anti-konsumerisme. Walhasil, sempat muncul anggapan busana grunge adalah gaya khas orang kelas bawah. Desainer busana premium Jean-Paul Gaultier bahkan mengatakan gaya fesyen grunge adalah ialah gayanya orang bokek. Jauh sebelum musik grunge populer, kemeja flanel kotak-kotak yang dipadukan dengan sepatu boot, misalnya, biasa dikenakan oleh pekerja pabrik kayu.

Bertahun-tahun kemudian, gaya grunge rupanya masih populer dan menginspirasi para desainer adibusana sampai hari ini, ketika muncul gairah untuk berlomba-lomba sedekil mungkin di dunia fesyen.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf