Menuju konten utama

Biang Banjir Kalbar: Sawit Diusir, Ratusan Tambang Tetap Jalan

Perubahan bentang alam di DAS Kapuas akibat deforestasi memicu banjir terparah. Mengusir perusahaan sawit saja tidak cukup jadi solusi.

Biang Banjir Kalbar: Sawit Diusir, Ratusan Tambang Tetap Jalan
Ilustrasi Indepth Tambang Sawit di Sekitar Sungai Kapuas. (trito.id/Lugas)

tirto.id - Setelah seminggu penuh hujan deras mengguyur, bencana itu akhirnya datang juga. Desa Sungai Raya dihantam banjir pada 2 November lalu, menyusul daerah lain di Kalimantan Barat yang sudah lebih dulu tenggelam dua pekan sebelumnya. Joko dan warga desa lainnya yang sudah mendengar kabar banjir sejak 21 Oktober tersebut sudah bersiap. Namun tetap saja, perasaannya campur aduk antara takut dan sedikit optimisme. Tak ada yang bisa dilakukan selain mempersiapkan barang-barang berharga seandainya harus mengungsi.

Sebagai seorang pejabat desa, lelaki 39 tahun itu tak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri. Ada banyak warga yang harus dibantu. Joko sebetulnya bisa dibilang cukup beruntung. Kendati rumahnya hanya berjarak 200 meter dari bibir Sungai Kapuas, air hanya menggenang setinggi 40 sentimeter. Sebab rumahnya terletak di lokasi yang agak tinggi. Tapi, tak semua orang seberuntung Joko.

Desanya yang berada di Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang, termasuk yang terdampak paling parah akibat luapan Sungai Kapuas. Tinggi banjir rerata mencapai tiga meter. Dari total 394 kepala keluarga atau 1.442 jiwa, 178 rumah tenggelam habis oleh banjir. Setidaknya ada 99 kepala keluarga yang harus mengungsi. Sebagian di gedung sekolah-sekolah, ada juga mendirikan tenda.

“Jalan-jalan susah dilewati. Kalau ada jalan yang bisa dilewati, harus pakai pelampung,” kata Joko kepada saya (27/11). “Sembako di pasar kecamatan hampir kosong karena tidak ada jalan masuk barang,” tambahnya.

Kata Joko, ada tiga dusun di desa itu, dan hanya satu dusun yang tak terdampak. “Sekitar 200 jiwa yang tidak terdampak.”

Hingga 28 November lalu, air belum juga surut. Banyak rumah yang lokasinya tak jauh dari sungai masih digenangi air setinggi setengah meter. “Banjir kali ini cukup parah,” kata Joko.

Apa yang diucapkan Joko bisa jadi tak berlebihan. 12 kecamatan di Kabupaten Sintang sudah terendam banjir sejak 21 Oktober. Empat hari setelah banjir di Desa Sungai Raya, status kabupaten menjadi tanggap darurat. Total ada 24.522 kepala keluarga atau 87.492 jiwa yang terdampak.

Setidaknya 21.000 rumah, 5 jembatan besar, hingga 45 gardu listrik PT PLN di kabupaten itu tak luput terendam banjir. Dugaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB): debit air di Sungai Kapuas dan Melawi meluap akibat intensitas hujan yang tinggi.

Kabupaten Sintang tak sendirian. Banjir juga menghantam lima kabupaten lainnya: Kapuas Hulu, Melawi, Sekadau, Sanggau dan Kubu Raya. Pada 9 November, setidaknya total 2.000 hektare tanaman padi terendam banjir di Kalimantan Barat. Yang paling terdampak adalah di Kabupaten Sanggau, yang luasnya hingga 1.212 hektare.

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Barat sampai kebingungan perkara suplai bibit padi. Mereka hanya memiliki lima ton bibit padi, yang hanya cukup untuk 200 hektare lahan. "Jadi hanya 10 persen kemampuan provinsi untuk memenuhi atau mengganti bibit yang rusak dampak banjir," kata pejabat dinas terkait, Doni Saiful Bahri.

Tak mengherankan banyak wilayah di Kalimantan Barat diterjang banjir akibat luapan Sungai Kapuas. Pasalnya, sungai sepanjang 197 kilometer itu memang melintasi beberapa kabupaten akhirnya bermuara ke Laut Cina Selatan. Di Kabupaten Ketapang saja, setidaknya ada 14.282 orang terdampak pada 12 November lalu.

Hingga 16 November, banjir di Kabupaten Sintang makin parah. Setidaknya dari 77 gardu listrik PT PLN yang padam, hanya 16 yang sudah berfungsi kembali. Korban makin bertambah, setidaknya mencapai 124.497 jiwa. 25.884 di antaranya harus mengungsi di 32 pos berbeda karena tempat tinggal tak jelas dihantam banjir.

Tepat satu bulan setelah muncul di Kalimantan Barat, 21 November, banjir tak kunjung surut. Air masih tinggi, warga masih banyak yang mengungsi. Seorang warga di Kecamatan Sintang bercerita sudah 17 hari dirinya tak pulang ke rumahnya. Sejak 2008, sudah dua kali daerahnya terkena banjir, namun kali ini yang terparah.

Bahkan, seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Sintang menyebut kalau banjir kali ini adalah yang terbesar dan terlama sejak terakhir pada 1963—atau 58 tahun lalu.

Banjir tak hanya melanda Kalimantan Barat, tapi juga di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Anggota Komisi IV Bidang Kehutanan DPR RI, Andi Akmal Pasluddin, sampai bilang kalau banjir di banyak daerah di Kalimantan terjadi karena kerusakan lingkungan yang kadung akut.

Kata dia, selama dua dekade terakhir memang terjadi penyusutan luas hutan di Pulau Kalimantan. Pada tahun 2000, luas hutan saat itu masih 33.234.711 hektare. Angka itu makin menyusut menjadi 26.886. 772 hektare pada 2013 dan 24.834.752 hektare pada 2017 lalu. Angka tersebut termasuk kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang 2015-2020 yang luasnya mencapai 5.645.022 hektare.

Infografik indepth Tambang Sawit di Sekitar Sungai Kapuas

Infografik indepth Tambang Sawit di Sekitar Sungai Kapuas. (trito.id/Lugas)

Di Balik Glorifikasi Gubernur Sutarmidji

“Mereka ini tidak punya hati. Sangat kurang peduli dengan masyarakat yang menderita mungkin akibat ulah mereka.”

Kalimat bernada kecewa itu disampaikan Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji lewat akun resmi Facebook-nya usai mengklaim telah mengusir perwakilan 20 perusahaan perkebunan sawit yang berada di wilayah otoritasnya, pada 9 November lalu. Sebelumnya, Sutarmidji bermaksud mengundang mereka untuk ikut membantu masyarakat yang terdampak banjir. Ia akhirnya geram karena banyak dari mereka yang menolak dengan berbagai alasan.

“Semoga ketidakpedulian mereka akan membawa penyesalan yang panjang. Kita lihat saja. Insya Allah kita masih sanggup mengurus masyarakat kita.”

Hingga 28 November, status itu sudah disukai 15.000-an akun, 4.700-an komentar, hingga 1.400-an kali dibagikan. Dua pekan berikutnya, hampir seluruh media nasional maupun lokal memberi porsi serupa soal bagaimana beraninya Gubernur Sutarmidji mengusir para taipan perkebunan sawit di daerahnya. Klaim Sutarmidji viral tanpa ada informasi utuh soal nama-nama 20 perusahaan itu maupun tanggapan dari mereka yang diusir.

Belakangan, pada 20 November, perusahaan perkebunan sawit Kencana Group baru bantuan sembako ke warga di kawasan Danau Sentraum, Batang Lupar dan di Pulau Majang, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu.

Sejak dilantik pada September 2018 lalu, Gubernur Sutarmidji memang beberapa kali terekam media bicara soal perkebunan sawit dan eksploitasi tambang bauksit di Kalimantan Barat yang tak memberikan dampak signifikan ke daerah. Pada 2019, ia bahkan sampai meminta Polda Kalimantan Barat, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, hingga KPK untuk memantau praktik tambang di daerahnya.

Namun, apa yang dikatakan Gubernur Sutarmidji di media sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan di balik layar. Dia bisa saja mengusir puluhan pengusaha perkebunan sawit saat rapat, maupun mengkritik eksploitasi pertambangan, tapi faktanya selama tiga tahun terakhir dirinya terbitkan ratusan izin konsesi tambang di Kalimantan Barat.

Kolaborasi antara redaksi Tirto.id dengan Auriga Nusantara setidaknya menemukan ada 357 izin kegiatan usaha berbasis lahan dan hutan yang lokasinya berada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Ratusan izin meliputi perkebunan kelapa sawit, tanaman industri, penguasaan hutan alam, hingga pertambangan. Setidaknya, sedikit banyak mereka berkontribusi atas perubahan kondisi bentang alam yang signifikan di DAS Kapuas.

Dari ragam jenis izin itu, kami akan mempersempit fokus hanya ke sektor tambang dan perkebunan sawit karena pertimbangan konsesi terluas.

Dari total 357 izin di atas, ada 136 izin tambang yang terbit sepanjang 2015 sampai 2021. Total luasnya mencapai 351.488 hektare. Jika ingin dikerucutkan lagi, 111 dari 136 izin tambang itu terbit setelah September 2018— sesaat setelah Gubernur Sutarmidji dilantik. Luasnya mencapai 250.863 hektare. Itu artinya, 111 izin itu dikeluarkan oleh dua orang: Presiden Joko Widodo dan Gubernur Sutarmidji.

Dari 111 izin tambang itu, yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo hanya 12 izin perusahaan tambang. Jenisnya beragam: bauksit, pasir pasang, emas, sirtu, tanah urug, andesit, hingga granit. Total luasnya ‘hanya’ 38.534 hektare.

Jika ingin dibandingkan dengan izin tambang yang dikeluarkan oleh Gubernur Sutarmidji, tentu sangat timpang. Dari 111 izin tambang, itu artinya yang izinnya diterbitkan oleh Gubernur Sutarmidji ada sebanyak 99 izin. 10 izin tambang terluas yang dirinya terbitkan total luasnya mencapai 154.528 hektare—atau lebih dari dua kali luas wilayah DKI Jakarta.

10 izin tambang terluas itu mengeksploitasi bauksit, emas, dan zirkon. Izin konsesi terluas yang diterbitkan oleh Gubernur Sutarmidji adalah perusahaan tambang emas The Grand LJ Fullerton Succesful seluas 24.835 hektare. Izin yang terbitkan pada Agustus 2019 dan berlokasi di Kabupaten Sintang itu justru pernah ditolak oleh Bupati-nya sendiri karena berada di kawasan hutan lindung.

Sedangkan untuk izin perkebunan sawit, total terdapat 49 izin yang luasnya mencapai 76.073 hektare. Semuanya diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo sepanjang 2015 sampai 2017. Kami tak menemukan satu pun izin perkebunan sawit yang diterbitkan oleh Gubernur Sutarmidji. Kemungkinan besar, 20 perusahaan perkebunan sawit yang diusir oleh Gubernur Sutarmidji termasuk dalam 49 izin itu.

Redaksi Tirto telah mencoba meminta konfirmasi mengenai serangkaian data izin konsesi ini dan korelasinya dengan memburuknya daya dukung lingkungan di wilayah DAS Kapuas ke Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Kepala Subbagian Hubungan Antar Lembaga Kementerian ATR/BPN Risdianto Prabowo, dan Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi.

Saat dimintai komentar terkait tudingan pemberian izin, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji malah bertanya balik secara singkat ke wartawan Tirto. "Yang keluarkan izin?" katanya tanpa memberikan konteks apapun. Setelah itu, dirinya tak membalas lagi.

Begitu juga dengan Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi. Ia bertanya balik berapa izin perkebunan sawit yang berstatus hak guna usaha (HGU) dari total 49 izin yang diterbitkan Jokowi. Saat diberitahu bahwa ada total 47 izin--dengan 2 izin berstatus hak milik (HM), ia tak menjawab lagi.

Ratusan Perusahaan di DAS Kapuas Bikin Krisis Lingkungan

Menurut Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara, Dedy P. Sukmara, banyaknya izin konsesi perkebunan sawit dan tambang di area DAS Sungai Kapuas berkontribusi atas menurunnya daya dukung lingkungan. Kata dia, seharusnya jarak 100 meter dari bibir sungai menjadi area konservasi hijau untuk mencegah erosi atau pengikisan tanah.

Dedy mengatakan jika tidak ada pohon-pohon, tanah di bibir sungai akan terbawa masuk ke sungai dan terjadi pengendapan. Jika terjadi pengendapan, itu artinya sungai akan semakin dangkal dan otomatis akan mengurangi daya tampung sungai.

“Ketika ada pohon atau tanaman di bibir sungai, ada akar-akar yang akan menghambat tanah ke aliran sungai itu sendiri. Ketika benar-benar tidak ada tanaman atau dirusak oleh konsesi, tentunya itu yang menyebabkan pengendapan tanah di sungai. Terjadilah pendangkalan,” kata Dedy.

Ketika sungai sudah mendangkal, hujan deras akan bikin sungai mudah meluap dan airnya akan mengarah ke daratan. Dan saat itu pula namanya berubah menjadi “banjir” ketika sudah masuk ke area pemukiman warga.

Lebih lanjut, Dedy mengatakan ketika berbicara masalah lingkungan, permasalahannya tak hanya pada aliran sungai, tapi juga daerah resapan di hulu dan tangkapan air di hilir.

"Rusaknya hulu implikasinya tidak langsung," kata Dedy. "Sebagai contoh, pembukaan tambang di daerah hulu DAS, impact-nya baru terjadi 10 tahun setelahnya. Sehingga tetap ada hubungan antara deforestasi di masa lalu dan bencana masa kini."

Jika melihat aliran Sungai Kapuas menggunakan Google Maps atau Google Earth, akan banyak terlihat area-area di bibir sungai yang telah gundul dan berwarna putih dari hulu ke hilir. Di Kabupaten Sintang saja, ada belasan titik berwarna putih yang gundul tanpa pohon-pohon di area bibir sungai.

Apalagi, Gubernur Sutarmidji sendiri sudah mengakui kalau 70 persen dari DAS Kapuas memang sudah rusak. Namun, ia tetap menyalahkan jutaan hektare perkebunan sawit yang sudah kadung membabat hutan.

Oleh karena itu, menurut Dedy, perlu dicermati juga soalnya banyak hutan alam yang lokasinya ada di wilayah konsesi izin perkebunan sawit maupun tambang. Karena, pasalnya hutan alam di dalam wilayah izin konsesi rentan terdeforestasi atau ditebang habis. Apalagi, data Auriga Nusantara justru menemukan bahwa tutupan hutan alam di sembilan kabupaten/kota di area DAS Kapuas selama dua dekade terakhir telah terdeforestasi seluas 1.022.411 hektare.

Ia mendesak agar Pemerintah menjaga hutan alam yang berada baik di dalam maupun di luar wilayah izin konsesi. Pasalnya, hutan alam akan tetap memastikan semua makhluk hidup bertahan dari bentuk-bentuk bencana alam yang mungkin terjadi.

Apa yang dikatakan Dedy ada benarnya bagi 30 warga Desa Sungai Rambai, Kecamatan Sintang, yang justru mengungsi ke hutan saat banjir menenggelamkan rumah mereka pada 17 November lalu.

Belakangan, kesadaran Presiden Joko Widodo atas krisis lingkungan yang terjadi di Kalimantan Barat justru dibarengi menyalahkan periode-periode sebelumnya. Ia bilang bahwa kerusakan lingkungan sudah terjadi berpuluh-puluh tahun. Sama halnya dengan Gubernur Sutarmidji yang justru meminta Pemerintah Desa di seluruh Kalimantan Barat untuk menanam pohon lebih banyak.

Padahal, dua pejabat ini juga turut berkontribusi atas kerusakan lingkungan dan deforestasi yang terjadi di Kalimantan Barat.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi