Menuju konten utama

BI Ungkap Biang Kerok Pelemahan Rupiah

Bank Indonesia menuturkan pelemahan mata uang rupiah disebabkan faktor eksternal. Di mana pasar telah merespon adanya kekhawatiran terjadi stagflasi.

BI Ungkap Biang Kerok Pelemahan Rupiah
Pekerja menyusun plastik berisi uang baru di Kantor Perwakilan (Kpw) Bank Indonesia (BI) Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (22/4/2021). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/wsj.

tirto.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar spot menyentuh level Rp15.000 pada sesi perdagangan Rabu (6/7/2022) kemarin. Melansir Bloomberg pukul 10.08 WIB, rupiah bergerak pada level Rp 15.019 per dolar AS, atau turun 0,17 persen dibanding penutupan sebelumnya di level Rp 14.993 per dollar AS.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Edi Susianto mengungkapkan, pelemahan mata uang Garuda disebabkan faktor eksternal. Di mana pasar telah merespon adanya kekhawatiran terjadi stagflasi.

"Bahkan pasar lebih mengkhawatirkan bukan hanya stagnasi di perekonomian global, tapi khawatir masuk ke resesi. Jadi kombinasi inflasi dan resesi," kata Edi di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

Kondisi tersebut secara otomatis membuat investor asing cenderung mencari aman untuk tetap masuk ke safe haven currency (USD).

"Kita ada di pasar melalui triple intervention-nya untuk memastikan keseimbangan supply-demand valas di pasar agar mekanisme pasar tetap bekerja dengan baik," jelas Edi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira tidak kaget dengan adanya pelemahan rupiah. Karena sudah diprediksi sebelumnya yang disebabkan tekanan eksternal menguat. Berdasarkan proyeksi rupiah bakal melemah hingga Rp16.000 per dolar AS sepanjang akhir tahun.

"Saat ini pelemahan nilai tukar rupiah baru awal, tekanan berikutnya terjadi saat kenaikan Fed rate atau suku bunga acuan AS berikutnya terjadi," ujarnya dihubungi Tirto.

Bhima memahami sinyal resesi ekonomi secara global seperti yang disampaikan oleh berbagai lembaga keuangan menjadi kekhawatiran mendasar pelaku pasar. Misalnya proyeksi Citigroup terkait risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50 persen dalam 18 bulan ke depan.

Disaat bersamaan, Bank Indonesia juga masih menahan suku bunga acuan disaat terjadi kenaikan inflasi Juni sebesar 4,35 persen. Imbasnya arus keluarnya dana asing masih akan tinggi.

"Kita harus mempersiapkan diri dalam skenario yang terburuk, inflasi naik tidak konsumen siap berarti daya beli masyarakat bisa kontraksi," ujarnya.

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR RUPIAH MELEMAH atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin