Menuju konten utama

Betapa Tidak Masuk Akal Menggelar Pilkada pada 9 Desember 2020

Menggelar pilkada tahun 2020, bisa dibilang, adalah misi yang nyaris mustahil.

Betapa Tidak Masuk Akal Menggelar Pilkada pada 9 Desember 2020
Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menunjukkan surat suara kepada para saksi saat dilakukan perhitungan lanjutan di TPS bersebelahan dengan Pos Lanal Pusong di Desa Pusong Baru, Lhokseumawe, Aceh, Kamis (18/4/2019). ANTARA FOTO/Rahmad/foc.

tirto.id - Karena pandemi, Pemerintah dan DPR sepakat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 digelar pada 9 Desember 2020 alias hanya molor dua bulan 16 hari dari rencana awal, 23 September 2020. Namun, dengan mempertimbangkan satu dan lain faktor, keputusan ini dinilai sebagai misi mustahil.

Keputusan ini dibacakan oleh Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dalam rapat kerja bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (14/4/2020) lalu. "Komisi II DPR RI menyetujui usulan pemerintah terhadap penundaan pelaksanaan pemungutan suara pilkada serentak tahun 2020 menjadi 9 Desember 2020," katanya saat itu.

KPU sempat memberi tiga skenario penundaan pilkada. Pertama, ditunda tiga bulan sehingga tahap pilkada akan dimulai pada 29 Mei 2020--sesuai prediksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai selesainya Covid-19 di Indonesia. Skenario inilah yang dipilih DPR.

Skenario kedua, penundaan selama enam bulan sehingga pilkada diprediksi digelar 17 Maret 2021; dan skenario ketiga, penundaan selama 12 bulan sehingga pilkada diprediksi digelar 29 September 2021.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pelaksanaan pilkada pada akhir 2020 sangat berisiko jika enggan dibilang mustahil. Pasalnya, keputusan itu diambil berdasarkan asumsi paling optimistis bahwa pandemi akan selesai pada akhir Mei 2020. Kalaupun benar, maka masih perlu proses pemulihan.

Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia Syahrizal Syarif pernah mengatakan setidaknya butuh enam bulan agar kehidupan bisa kembali normal setelah pandemi dinyatakan selesai. Sementara saat ini, katanya, penyebaran pandemi di Indonesia belum mencapai puncaknya. Hal itu terlihat dari jumlah pasien positif yang terus bertambah.

"Jadi dalam bayangan kami, kalaupun asumsi optimistis itu betul-betul terealisasi, tidak serta merta juga segala instrumen yang diperlukan untuk penyelenggaraan pilkada itu bisa langsung bekerja," kata Titi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (20/4/2020).

Anggaplah perkiraan pemerintah terwujud dan KPU tetap menggelar persiapan pilkada, misalnya, pada Juni 2020. Saat itu perlu ada beberapa penyesuaian, misalnya bagaimana menerapkan protokol kesehatan dalam pelaksanaan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih yang mengharuskan adanya tatap muka antara petugas KPU dengan warga calon pemilih.

Untuk melakukan itu, pertama-tama diperlukan perubahan dalam Peraturan KPU. Tapi tak cukup sampai di situ, aturan itu harus diturunkan menjadi petunjuk teknis dan dilatih ke petugas KPU di seluruh daerah yang menggelar pilkada.

Itu baru untuk coklit data pemilih, sementara kita tahu persiapan pilkada setelahnya masih sangat panjang.

"Kita akan melakukan segala persiapan dengan tergesa-gesa dan tanpa adaptasi teknis yang memadai untuk memastikan kualitas pelaksanaan pilkada di tengah masa pandemi itu bisa tetap jujur, adil, dan demokratis," simpul Titi.

Memang, mengundur jadwal pilkada hingga 2021 tidak lantas menjadikan semuanya ideal, kata Titi, akan tetapi setidaknya pemerintah dan otoritas terkait punya waktu yang lebih lapang untuk mempersiapkan diri.

Selain itu, payung hukum penundaan pilkada yang direncanakan akan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pun bukan tanpa masalah. Titi menjelaskan, undang-undang pilkada tidak mengakomodasi penundaan pilkada secara nasional, tetapi hanya penundaan per wilayah oleh KPU wilayah.

"Sebagai bingkai konstitusionalitas, diperlukan aturan hukum setingkat UU," kata Titi. Masalahnya, merevisi Undang-undang Pilkada membutuhkan waktu panjang dan kondisinya saat ini tidak memungkinkan.

Direktur Eksekutif Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol) Aditya Perdana juga mengatakan penyelenggaraan pilkada di akhir tahun berpotensi menyebabkan penambahan pengeluaran, lantaran masing-masing TPS harus menjalankan protokol kesehatan. Mulai dari physical distancing, penyediaan masker, sarung tangan, dan hand sanitizer.

"Memang sudah enggak ideal bulan Desember. Idealnya itu tahun depan, tapi komitmen politik itu harus diputuskan tahun ini," kata Aditya saat dihubungi reporter Tirto, Senin (30/4/2020).

Komitmen politik yang dimaksud salah satunya ialah Perppu soal penundaan pilkada. Aditya menilai Perppu itu harus memberi kepastian soal waktu pemungutan suara dan sumber pendanaannya.

Belum Final

Komisioner KPU Pramono Ubaid menerangkan sebetulnya terdapat klausul yang menerangkan bahwa selepas 29 Mei 2020, DPR dan pemerintah akan kembali menggelar rapat untuk memastikan perhelatan pilkada. Jika pada waktu itu Covid-19 masih belum teratasi, maka pilkada akan diundur ke 2021.

Pramono pun membenarkan pihaknya akan merevisi sejumlah PKPU jika pilkada ditunda dan akan menerjemahkan itu ke dalam juknis hingga melatih anggota KPU. Namun dia tak bisa memastikan apakah waktu sampai 9 Desember akan mencukupi.

"Mau tidak mau kalau itu diputuskan kami harus melakukan skenario itu. Tetapi seperti saya katakan tadi, 9 Desember bukan satu-satunya opsi," kata Pramono saat dihubungi pada Senin (20/4/2020).

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino