Menuju konten utama

Betapa Terlambatnya Keputusan Jokowi untuk Reshuffle Menteri

Jokowi akhirnya merombak menteri. Keterlambatan ini diduga karena ia harus mempertimbangkan faktor politis dari partai-partai pendukungnya.

Betapa Terlambatnya Keputusan Jokowi untuk Reshuffle Menteri
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat acara penyaluran dana bergulir untuk koperasi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (23/7/2020). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool/nz)

tirto.id - Presiden Joko Widodo akhirnya merombak kabinet—bahasa lainnya ‘reshuffle’. Enam orang dicopot dari jabatan.

Kursi Menteri Sosial kini diisi oleh Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya yang juga kader PDIP. Ia menggantikan Juliari Batubara yang tersandung kasus korupsi bantuan sosial. Lalu Sakti Wahyu Trenggono menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, menggantikan Edhy Prabowo yang juga tersangkut kasus korupsi.

Sandiaga Salahudin Uno ditunjuk sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggantikan Wishnutama Kusubandio. Kemudian Budi Gunadi Sadikin menjadi Menteri Kesehatan menggantikan Terawan Agus Putranto dan Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama menggantikan Fachrul Razi.

Terakhir Muhammad Lutfi. Ia kini bertanggung jawab sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Agus Suparmanto.

Isu perombakan kabinet menguat kembali setelah Juliari dan Edhy ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dikatakan menguat kembali sebab jauh sebelum itu, tepatnya pada Maret, sejumlah kelompok masyarakat sipil sebenarnya sudah meminta Jokowi merombak kabinet dengan alasan penanganan COVID-19 tidak optimal. Ketika itu salah satu yang didesak dicopot tentu saja Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Jokowi memang pada akhirnya tidak mencopot siapa pun sebelum kemarin. Ia hanya marah kepada para menteri di beberapa rapat kabinet. Setidaknya sudah tiga kali Jokowi marah-marah dan mengancam akan melakukan perombakan—sejauh yang terekam media massa. Ia kesal karena ada menteri yang bekerja biasa saja padahal sedang pandemi, serapan anggaran rendah, dan birokrasi lambat.

Lembaga riset juga telah mengeluarkan survei terkait kementerian yang kinerjanya buruk dan patut dirombak berbulan-bulan yang lalu.

4 Juli lalu, lembaga riset Indonesia Political Opinion (IPO) merilis hasil survei terkait evaluasi publik atas penanganan pandemi oleh pemerintahan Jokowi. Jumlah responden mencapai 1.350, tersebar di 135 desa dari 30 provinsi.

Salah satu hasil survei yang dilakukan sepanjang 8-25 Juni itu adalah sebanyak 72,9 persen responden sepakat perlu ada reshuffle kabinet. Menurut survei itu, beberapa menteri yang dianggap berkinerja buruk dan harus diganti adalah: Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri KKP Edhy Prabowo, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menkop dan UKM Teten Masduki, Menpora Zainuddin Amali, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Mendikbud Nadiem Makarim.

Pada 28 Oktober, IPO kembali merilis hasil survei yang secara garis besar membahas kinerja kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin dan potensi perombakan. Survei itu merekam enam kementerian dengan kinerja paling buruk berdasarkan persepsi publik: Kementerian Agama, Kementerian ATR/BPN, KemenPPPA, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM.

Di survei yang sama, lima menteri teratas yang layak diganti: Terawan Agus Putranto, Johnny G. Plate, Yasonna Laoly, Syahrul Yasin Limpo, dan Nadiem Makarim.

Mengapa Terlambat

Pengajar ilmu politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menilai langkah Jokowi merombak kabinet sangat telat. Alasan keterlambatan tersebut tak lain faktor politis.

“Kemarin-kemarin Jokowi tak berani eksekusi reshuffle karena penilaiannya sangat politis dan cenderung subjektif. Dan jika politis dan subjektif, menteri hanya dimarah-marahi dan menteri berkinerja buruk pun tak diganti,” kata Ujang saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa siang.

Koordinator Lingkar Masyarakat Madani (Lima) Ray Rangkuti menduga kasus Juliari dan Edhy membulatkan tekad Jokowi untuk merombak kabinet.

“Hampir semua menteri Jokowi yang berurusan dengan masalah hukum karena korupsi atau dugaan korupsi dan suap adalah menteri dari partai. Lebih dari cukup jadi pelajaran bagi Presiden betapa rentan anggota kabinet dari partai ini termakan suap atau korupsi,” kata Ray lewat keterangan pers, Selasa pagi.

Oleh karena itu ia mendesak Jokowi agar lebih banyak menempatkan kalangan profesional non-partai sebagai menteri. “Komposisi kabinet dengan mayoritas wakil partai, faktanya, lebih banyak membuat Presiden berkeluh kesah.”

Apa yang dimaksud “politis” oleh Ujang dan Ray juga diamini oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana. Sebelum kemarin, kata Adit, Jokowi harus melihat banyak sisi untuk mencopot menteri-menteri yang berkinerja buruk, terutama dari kalangan koalisi partai.

“Kalau Pak Jokowi bilang enggak suka dengan kinerja menteri tersebut, enggak bisa langsung memecat. Pertimbangan politik sangat dalam. Ada keseimbangan koalisi partai pemerintah, representasi kelompok-kelompok tertentu yang harus diakomodasi, etnis tertentu juga. Jadi enggak mudah,” kata Adit, Selasa siang.

Baca juga artikel terkait RESHUFFLE MENTERI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino