Menuju konten utama

Betapa Tak Konsisten Argumen Pemerintah Soal Aturan Majelis Taklim

Menag Fachrul Razi menyebut sertifikasi lembaga taklim untuk mempermudah bantuan dari pemerintah, beda pendapat dengan Wapres RI Ma'ruf Amin yang bertujuan deradikalisasi.

Betapa Tak Konsisten Argumen Pemerintah Soal Aturan Majelis Taklim
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan Menteri Agama Fachrul Razi di sela rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/11/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras.

tirto.id - Keputusan Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 soal sertifikasi majelis taklim menuai reaksi keras.

Penyebabnya, pasal 6 ayat (1) dalam aturan ini menyebutkan lembaga taklim harus mendaftarkan diri di Kantor Kemenag dengan melampirkan data lengkap, mulai dari pengurus, ustaz, jemaah, tempat serta materi ajar.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco menilai aturan ini terlalu berlebihan.

“Presiden ini jangan terlalu dibebani dengan hal-hal yang sebenarnya bisa diatasi di level bawahnya,” ujar Wakil Ketua Partai Gerindra tersebut.

Klaim Dasco itu senada dengan apa yang dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Haedar khawatir aturan yang diteken 13 November 2019 ini nantinya jadi jalan masuk pemerintah mengekang aktivitas sosial masyarakat maupun kegiatan keagamaan lain.

“Tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam, seperti majelis taklim,” sambungnya.

Menurut Haedar, kegiatan keagamaan di akar rumput seperti majelis taklim justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.

"Soal perbedaan paham dan pandangan sejak dulu sering terjadi, yang paling penting kembangkan dialog agar masing-masing tidak ekstrem [ghuluw] dalam beragama dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama," tukasnya.

Beda Pendapat Menag & Wapres

Pemerintah lewat Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, di sisi lain membantah anggapan jika PMA yang dia teken berpotensi jadi pengekang. Fachrul menegaskan PMA Nomor 29 Tahun 2019 bukan dirancang dengan tendensi membatasi majelis taklim, tapi untuk memudahkan aliran bantuan dari pemerintah pusat.

“Bagaimana kami mau bantu kalau tidak tahu datanya,” ujarnya usai mengisi di Forum KMHDI Jakarta, Sabtu (30/11/2019).

Sikap membela diri ini juga dipertegas oleh Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Saadi. Dalam penjelasannya, Zainut lantas menyebut “harus” dalam pasal 6 ayat (1) bukanlah sebuah “kewajiban.”

Artinya, menurut dia, boleh saja lembaga taklim tidak mendaftarkan diri dan tidak akan ada sanksi yang diberlakukan. Hanya saja apabila tidak mendaftar maka otomatis lembaga terkait tidak akan mendapatkan aliran bantuan pemerintah.

“Dalam pasal 6, kami gunakan istilah harus, bukan wajib. Harus sifatnya lebih ke administratif, kalau wajib berdampak sanksi. Jadi tidak ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mau mendaftar," kata dia, seperti dilansir Antara.

Masalahnya, pembelaan yang dilontarkan Fachrul dan Zainut ini justru memunculkan kesan bahwa pemerintah tak konsisten.

Terutama jika dikaitkan dengan pernyataan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin. Dalam keterangannya belakangan, Ma’ruf menyebut PMA ini bukan semata demi bantuan, tapi juga bertujuan menangkal apa yang dia sebut sebagai ‘radikalisme’.

“Untuk pendataan. Jangan sampai ada majelis taklim yang menjadi sumber persoalan, tahu-tahu mengembangkan radikalisme misal, kan bisa jadi masalah,” tutur Ma’ruf seperti dilansir Antara, Senin (2/12/2019).

Padahal, dalih deradikalisme ini pula yang dinilai Haedar kerap dijadikan senjata untuk mendiskriminasi Islam; memandang seolah-olah sebagian besar ajaran agama ini bersifat ekstremisme.

“Kita sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstremisme dan tidak membenarkan kekerasan atas nama apa pun dan oleh siapa pun. Namun, semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan dan langkah yang objektif serta tidak parsial.”

“Jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi sepihak, diskriminasi, dan dengan aturan yang monolitik menjadikan seolah umat Islam ini sumber radikalisme dan ekstremisme,” tukas Haedar.

DPR Bisa Panggil Menag Soal PMA

Inkonsistensi pemerintah--dari ucapan Fachrul dengan Ma’ruf--menimbulkan tanda tanya bagi sejumlah anggota Komisi VII DPR RI.

Wakil Ketua Komisi VII, Ace Hasan Syadzily, berjanji bakal segera memanggil Menag untuk mengklarifikasi dan meluruskan aturan ini.

“[Karena] menurut saya ini bisa menimbulkan bukan saja kegaduhan, tapi lebih dari itu dugaan masyarakat, untuk apa kegiatan keagamaan mesti didaftarkan dan dilaporkan?” ujarnya.

Ace juga mempertanyakan alasan Menag yang menyebut pendataan sebagai jalan untuk aliran bantuan majelis taklim. Alasan Menag ini, menurutnya, tak relevan.

“Pertanyaannya, apa selama ini dengan atau tanpa bantuan pemerintah majelis taklim mati? Kan enggak. Justru tetap tumbuh,” sambungnya.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKASI MAJELIS TAKLIM atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Maya Saputri