Menuju konten utama

Betapa Putih dan Seksisnya Kabinet Donald Trump

Presiden AS terpilih Donald Trump menominasikan banyak pria kulit putih untuk mengisi kabinet pertamanya. Ditengarai kuat kaitannya dengan pihak-pihak pengusung supremasi kulit putih yang mendukung kemenangan Trump di Pemilu November lalu.

Betapa Putih dan Seksisnya Kabinet Donald Trump
Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump dan Wakil Presiden terpilih Mike Pence turun dari pesawat Trump saat kedatangan mereka di Indianapolis, Indiana, Amerika Serikat, Kamis (1/12). ANTARA FOTO/REUTERS/Mike Segar.

tirto.id - Pada Selasa (13/12/2016) waktu setempat, presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump resmi menominasikan CEO ExxonMobil Rex Tillerson untuk menjabat sebagai menteri luar negeri. Keputusan ini dianggap mencederai semangat politik multikulturalisme AS yang mengidealkan pemerintahan bisa merepresentasikan keberagaman masyarakatnya.

Empat departemen terpenting di Gedung Putih akan dipimpin oleh politikus pria kulit putih. Sebagaimana dilaporkan CNN, Tillerson akan menjadi anggota kabinet kunci bersama Jenderal Marinir James Mattis menjadi menteri pertahanan, Senator Alabama Jeff Sessions sebagai jaksa agung, dan mantan bankir Goldman Sacks Steve Mnuchin yang dinominasikan sebagai menteri keuangan.

Komposisi serupa pernah terealisasi saat George Bush membentuk kabinet pertamanya dan disetujui pada 1989. Presiden-presiden setelahnya tak melanjutkan tradisi yang cenderung rasis dan seksis ini hingga pada 8 November lalu Trump dan gerombolan Partai Republiknya sukses mempecundangi calon Demokrat Hillary Clinton dan merebut kembali kursi nomor satu di negara adidaya itu.

Tillerson sebenarnya mendapat tentangan keras, bahkan dari sesama senator dari Partai Republik lain. Namun penunjukan ini menjadi bukti keberhasilan lobinya, sebab ia mampu mengamankan posisi sebagai diplomat tertinggi AS untuk 4 tahun ke depan.

Jajaran kabinet ini merepresentasikan kekhawatiran publik AS sejak Trump berkampanye, yakni ancaman atas politik multikulturalisme di AS. Dari 18 pejabat kabinet pilihan Trump, termasuk wakil presiden dan staf senior Gedung Putih, 14 orang berkulit putih dan 12 di antaranya adalah laki-laki.

Para petinggi yang akan diberi tanggung jawab atas keamanan nasional juga akan diisi oleh pria-pria kulit putih. Selain Mattis, pensiunan jenderal marinir lain, John Kelly, dinominasikan untuk mengambil alih jabatan Menteri Keamanan Dalam Negeri. Sementara itu politiskus Partai Republik asal Kansas, Mike Pompeo, dicalonkan sebagai direktur CIA selanjutnya. Minhael Flynn, ajudan top Trump dan seorang staf senior, akan menjadi staf keamanan senior Trump.

Sebagai perbandingan, kabinet pertama mantan presiden Barack Obama diisi 11 politikus berkulit putih yang terdiri dari 7 laki-laki dan 4 perempuan. Kabinet Obama juga dibantu oleh orang-orang yang lebih beragam, beberapa adalah keturunan Latin dan Afrika-Amerika.

Satu-satunya sosok keturunan Afrika-Amerika yang dilirik Trump adalah Ben Carson, pensiunan ahli bedah saraf yang akan menjadi menteri perumahan dan pembangunan kota. Dari empat perempuan yang dipilihnya sebagai pejabat negara, profil tertinggi jatuh pada sosok miliuner yang rajin menjadi donor Partai Republik: Betsy DeVos. Pebisnis makanan cepat saji Andy Puzder akan menjadi menteri tenaga kerja, sedangkan pebisnis sukses Wilbur Ross untuk posisi menteri perdagangan.

Fenomena memutihnya jajaran kabinet di Gedung Putih kali ini sesungguhnya bukan hal yang tak diperkirakan sama sekali. Rekam jejak Trump memang tak bisa lepas dari dukungan para pembela supremasi kulit putih AS. Rata-rata, mereka juga merapat di Partai Republik. Kemenangannya sebagai orang nomor satu di AS membuat euforia “kejayaan kulit putih” yang dulu diwakili Ku Klux Klan (KKK) menyeruak kembali. Kini namanya memang bukan KKK, namun organisasi sempalan dengan ideologi serupa.

Pada Sabtu (3/12/2016), misalnya, serombongan orang yang mengasosiasikan diri mereka sebagai anggota dari organisasi Ku Klux Klan (KKK) mengadakan parade di Roxboro, North Carolina, Amerika Serikat untuk merayakan kemenangan Trump. Sebagaimana dilaporkan The Huffington Post, peserta parade melambaikan bendera AS, bendera Konfederasi, dan tak ketinggalan bendera KKK. Mereka berkeliling kota sambil berulang kali meneriakkan yel-yel supremasi kulit putih, antara lain kalimat “Kekuasaan kulit putih!” dan “Jayalah kemenangan!”

Di dunia maya misal, dukungan pada Trump datang dari seseorang bernama Richard Spencer yang terekam berpidato dengan konten rasis dan kemudian menjadi viral. Spencer mewakili sekelompok orang yang menamai diri mereka Alt-Right, kepanjangan dari Alternative Right.

Mereka merasa berkepentingan karena menganggap ras kulit putih mulai terpinggirkan dalam demokrasi AS. Di hadapan 200 orang yang kebanyakan pemuda, Spencer meyakinkan mereka bahwa ras kulit putih tak akan merasa dikucilkan lagi karena era Donald Trump adalah era kebangkitan identitas mereka lagi.

"Amerika dulunya, sampai generasi terakhir ini, (adalah) negara kulit putih dirancang untuk diri kita sendiri dan keturunan kita,” katanya.

Salah seorang penasehat kunci dan kepala strategi politik Trump adalah Stephen Bannon. Kubu Demokrat dan kelompok kiri menyebut Bannon sebagai promotor rasisme dan kebencian terhadap wanita yang didukung kelompok supremasi kulit putih. Pemilihan Bannon ini dianggap akan melesatkan gerakan nasionalis kulit putih ke level puncak Gedung Putih.

Infografik Memutihkan Gedung Putih

Mengapa Keberagaman Penting?

Pada pemerintahan sebelumnya, misalnya di era Obama, susunan kabinet di Gedung Putih memang lebih beragam. Dalam kabinet pertamanya, Obama memiliki Jaksa Agung Eric Holder. Hillary Clinton kala itu menjabat sebagai menteri luar negeri, pejabat perempuan dengan posisi tertinggi kala itu. Obama juga menunjuk Loretta Lynch, perempuan keturunan Afrika-Amerika pertama yang menjabat posisi jaksa agung.

Obama memang dikenal memperhatikan keragaman yang ada di kabinetnya. Ia sadar susunan kabinet mesti merepresentasi keberagaman masyarakat AS agar semua golongan merasa terwakili. Obama tak sedang membawa kekuatan kulit hitam sebagaimana warna kulitnya. Ia hanya membawa pesan bahwa bukan saatnya lagi Gedung Putih didominasi oleh pejabat dengan satu warna kulit. Ia juga tak ingin Gedung Putih dipenuhi laki-laki saja. Perempuan AS harus naik panggung.

Sebut saja Kathleen Sebelius dan Sylvia Burwell, dua perempuan yang memegang kendali Departemen Pelayanan Kesehatan dan Kemanusiaan di kabinet Obama. Menteri Departemen Perumahan dan Pembangunan Kota kala itu juga dipegang seorang perempuan, yakni Julian Castro, yang juga keturunan Hispanik.

Menteri tenaga kerja kabinet Obama dulu adalah Tom Perez, keturunan Latin, sebagaimana pendahulunya Hilda Solis. Menteri dalam negeri dipegang oleh perempuan bernama Sally Jewel, demikian juga Menteri Perdagangan Penny Pritzker. Menteri Transportasi Anthony Foxx adalah laki-laki kulit hitam, demikian juga Menteri Pendidikan John King dan Menteri Keamanan Dalam Negeri Jeh Johnson.

Pentingnya keberagaman di kabinet pemerintahan tak hanya soal keterwakilan secara demografis dalam sebuah negara yang multikultur. Penelitian McKinsey yang dipublikasikan Januari 2015 silam menunjukkan bahwa keberagaman gender dan ras diantara petinggi sebuah institusi kenegaraan maupun perusahaan terbukti meningkatkan produktivitas kerja.

Jadi, selain bermanfaat bagi pemenuhan cita-cita dan idealisme politik multikultural AS, keberagaman rupanya juga menyimpan manfaat pragmatis.

Sejumlah pihak memprediksi kelangkaan perempuan yang ditarik ke dalam kabinet pertama Trump memang berasal dari pandangan sang pemilik Trump Tower sendiri yang melihat perempuan hanya dari sisi penampilannya saja, bukan dari kualitas intelektualitasnya. Rekam jejak Donald Trump terkait perempuanlah yang menguatkan spekulasi itu.

Baca juga artikel terkait POLITISI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani