Menuju konten utama

Betapa Mengada-ada SK Firli Bahuri soal Status 75 Pegawai KPK

SK Firli Bahuri yang meminta para pegawai yang tak lolos TWK menyerahkan tugas ke atasan dianggap mengada-ada.

Betapa Mengada-ada SK Firli Bahuri soal Status 75 Pegawai KPK
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (22/4/2021). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - Tindak lanjut dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menggagalkan puluhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap terlalu mengada-ada. Tes ini dianggap sebagai upaya 'pembersihan' agar komisi anti rasuah lebih 'ramah' terhadap para koruptor.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko mengatakan semua pegawai KPK yang hadir dan menyelesaikan asesmen TWK semestinya dianggap telah memenuhi kewajiban berdasarkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN, terutama pasal 5 ayat 4. Pasal tersebut menyatakan KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) untuk melaksanakan TWK dan semua pegawai KPK diwajibkan mengikuti asesmen tersebut.

“Namun faktanya pimpinan justru menerbitkan SK 652 yang berdampak merugikan bagi pegawai. Sikap ini mencerminkan ketidaksesuaian antara kata-kata dan tindakan yang semestinya tidak boleh terjadi di lembaga anti korupsi,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Senin (17/5/2021).

Ia tidak pernah diberi tahu oleh pimpinan KPK, Biro SDM, dan Kepala Biro Hukum terkait konsekuensi yang dihadapi para pegawai, baik bagi yang lulus atau tidak.

Surat Keputusan Pimpinan Nomor 625 Tahun 2021 terbit pada 11 Meri 2021. SK 652 yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri memuat empat poin dan dua poin utama adalah menetapkan nama pegawai yang tidak memenuhi syarat dan memerintahkan para pegawai itu menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan.

Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 sebetulnya tidak menyebutkan kewajiban hukum bagi pegawai yang lulus atau tidak. Butir kedua SK 652 yang menyatakan penyerahan tugas dan tanggung jawab ke atasan dianggap tidak memiliki dasar hukum. Menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan selama ini “merupakan prosedur penjatuhan hukuman yang umumnya dikenakan terhadap pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin dan etik.”

Atas dasar itu ia dan enam pegawai KPK lain yang juga tak lolos meminta Firli Bahuri mencabut SK tersebut. Enam lainnya adalah Hotman Tambunan, Samuel Fajar, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Novariza, Benydictus S, dan Tri Artining Putri.

“Perhatian dan komitmen upaya pemberantasan korupsi semestinya menjadi prioritas bersama, karenanya proses alih status pegawai KPK seharusnya hanya ditujukan untuk penguatan upaya pemberantasan korupsi,” tandasnya.

Eks Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin juga menilai SK 652 keliru. Menurutnya pegawai KPK tidak bisa dipecat hanya karena tidak lulus asesmen TWK. Pemecatan terjadi jika pegawai melanggar kode etik, kinerja memburuk, dan terlibat organisasi masyarakat; dan semua itu harus melalui tahap audit.

“Untuk memecat itu kalau sudah dilakukan audit dan masuk ke unit pertimbangan kepegawaian dan minta usul ke kepala bagiannya, layak atau tidak dipecat. Komunikasikan ke Men PAN-RB,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin.

Menurut Eks Pimpinan KPK lain, Bambang Widjojanto, KPK mesti bekerja sesuai asas akuntabilitas dan kepentingan umum. KPK mesti terbuka bagi evaluasi guna menilai asesmen TWK layak atau tidak dan hasilnya diumumkan ke masyarakat. Hal-hal demikian untuk menjamin KPK bekerja sesuai dua asas tersebut.

Bambang sepakat dengan Jasin bahwa Dewan Pengawas KPK harus turun tangan. Ia juga meminta Presiden Joko Widodo bisa menyelesaikan persoalan ini. Ia khawatir kasus-kasus besar akan terbengkalai akibat pemecatan 75 pegawai tersebut.

National call emergency harus dilakukan. Kalau itu tidak dilakukan dan kepala negara diam saja, maka kepala negara sudah tidak menjalankan kewajiban hukumnya, dan bisa dituding bahwa dia bagian dari kejahatan itu,” ujar Bambang dalam kesempatan yang sama.

Sementara dosen hukum administrasi dan keuangan negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) Beni Kurnia Illahi menilai “apa yang dilakukan oleh pimpinan KPK banyak sekali bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik,” termasuk pelaksanaan TWK dan SK 652.

“Jika di UU ASN, seluruh bagian manajemen kepegawaian harus dilaksanakan secara adil, proporsional, transparan, dan nondiskriminatif, [dalam] TWK banyak asas dan prinsip yang dilanggar,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Senin sore.

Satu contoh adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam itu tergolong seksis, rasis, tidak ramah gender, dan diskriminatif, yang itu diakui oleh banyak pegawai KPK. Kedua, para pegawai yang tak lolos dirugikan dan itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian UU KPK beberapa waktu lalu.

“Di dalam putusannya, hakim menyebut dalam peralihan status KPK tidak boleh satu pun pihak-pihak yang dirugikan, termasuk pegawai KPK,” kata dia.

Atas dasar itu semua, kata dia, tak heran jika banyak yang menduga keputusan pimpinan KPK tersebut berpotensi malaadministrasi.

Beni menilai para pegawai KPK bisa melaporkan para pimpinannya ke Ombudsman RI untuk bisa menelusuri dugaan tersebut. Ia juga menyarankan agar para pegawai KPK untuk menggugat SK 652 ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Siapa tahu 75 pegawai KPK ini lagi meringkus kasus-kasus korupsi. Agar tidak menganggu proses hukum korupsi di internal KPK. Jangan terganggu jika mereka diberhentikan. Mereka bisa meminta PTUN untuk menunda keputusan Firli dengan putusan sela,” kata dia.

Terakhir, Beni juga menilai para pegawai bisa menggugat Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021, yang isinya menjadi landasan TWK, ke Mahkamah Agung (MA). “Perkom No. I Tahun 2021 bertentangan dengan PP No. 41 Tahun 2020 dan UU KPK yang sudah direvisi,” kata dia.

Dalam hal malaadministrasi, Komisioner Ombudsman RI Robert Endi Jaweng mengaku mereka baru akan menerima perwakilan pegawai “hari Rabu besok.” “Jadi, belum ada yang bisa disampaikan,” kata dia, Senin siang.

Pernyataan Jokowi

Presiden sendiri tidak menginginkan hasil TWK menjadi dasar pemecatan 75 pegawai. Ia meminta agar hasil tes sekadar dijadikan alat evaluasi demi kebaikan KPK.

“Saya sependapat dengan pertimbangan MK dalam putusan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang KPK yang menyatakan bahwa proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN,” kata Jokowi dalam keterangan pers dari Istana Merdeka, Jakarta, Senin.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sepakat dengan itu. Oleh karenanya dalam waktu dekat pimpinan KPK akan mempertimbangkan putusan MK dan akan segera berkoordinasi dengan Kemen PAN-RB dan BKN.

“Dengan arahan Presiden ini, kami berharap proses alih status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dapat segera selesai dengan tetap taat asas dan prosedur sehingga kita bisa kembali fokus pada kerja-kerja pemberantasan korupsi,” ujar Ghufron dalam keterangan tertulis, Senin.

Baca juga artikel terkait 75 PEGAWAI KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi & Haris Prabowo
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino