Menuju konten utama

Betapa Bobroknya Peninggalan DPR RI Periode 2014-2019

DPR 2014-2019 meninggalkan segudang masalah legislasi, kasus korupsi, rendahnya kepatuhan melapor LHKPN, hingga anggaran besar tanpa prestasi.

Betapa Bobroknya Peninggalan DPR RI Periode 2014-2019
Sidang Paripurna DPR RI 2014-2019, Senin 30/9/2019. tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - Gajah mati meninggalkan gading; harimau mati meninggalkan belang. Bagi anggota DPR RI periode 2014-2019, citra yang mereka tinggalkan saat purnatugas sangat buruk.

Orang-orang akan selalu mengingat ini: masa kerja mereka selesai setelah satu minggu penuh didemo mahasiswa dan elemen masyarakat lain. Tidak hanya di Jakarta, demo juga terjadi di berbagai kota lain seperti Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya.

Publik jengkel dengan DPR--dan pemerintah--yang tak sanggup mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tertunda sejak dinyatakan sebagai RUU inisiatif DPR 2016 lalu.

Sebaliknya: mereka malah mengebut pembahasan berbagai peraturan kontroversial seperti RUU Pemasyarakatan, RKUHP, meski akhirnya dilanjutkan ke periode selanjutnya.

Kurang dari dua pekan, mereka juga merampungkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (KPK)--yang bagi banyak orang berarti melemahkan KPK.

Komisioner Komnas Perempuan Marianna Amiruddin mengaku kecewa dengan kinerja anggota DPR yang baru purnatugas dan akan menikmati uang pensiun dan tabungan hari tua ini. Menurutnya, tertundanya pengesahan RUU PKS menunjukkan DPR kurang responsif terhadap masukan masyarakat dan korban pelecehan.

“Kami kecewa dengan sikap DRP terutama Komisi VIII yang tidak responsif lebih dari tiga tahun. Hanya karena pendapat yang berseberangan, jadi tidak berjalan. Ini sangat mengecewakan,” ucap Marianna kepada reporter Tirto, Senin (30/9/2019).

Marianna ingat betul bagaimana kasus Yuyun tahun 2016 mendorong DPR berinisiatif membuat RUU PKS. Namun prosesnya mandek, tak terkecuali ketika masalah kekerasan seksual kembali menjadi perhatian pada 2018. Ditambah lagi, tim khusus RUU ini dibatalkan sepihak DPR per 25 September 2019 lalu.

Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) I Made Leo Wirtama mengatakan tertundanya pengesahan RUU PKS adalah bukti DPR hanya peduli dengan isu-isu elitis yang terkait langsung dengan diri mereka sendiri dan partai.

Buktinya, kata Leo, DPR mampu merampungkan revisi UU MD3 agar jumlah pimpinan MPR menjadi 10 orang--dengan kata lain mengakomodasi semua pemenang Pemilu 2019. Lalu ada juga revisi UU KPK yang menurutnya dilatari semangat 'menyelamatkan diri' terhadap agenda pemberantasan korupsi.

“Ini masih didominasi kepentingan partai,” kata Leo saat dihubungi reporter Tirto, Senin (30/9/2019).

Kasus Korupsi & Redahnya Kepatuhan Melapor LHKPN

Leo semakin yakin dengan pendapatnya karena faktanya DPR adalah instansi dengan kepatuhan penyerahan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) paling rendah.

Data KPK per 2018, nilai kepatuhan DPR hanya 21,46 persen. Artinya, hanya satu per lima lebih sedikit dari 536 anggota dewan yang melaporkan harta kekayaannya.

Sebagai pembanding, lembaga lain seperti DPD, MPR, dan beberapa instansi eksekutif lain menyentuh angka minimal 50 persen.

Anggota DPR periode 2014-2019 juga memiliki catatan kasus korupsi cukup banyak. Berdasarkan catatan tim riset Tirto, setidaknya ada 23 anggota DPR periode 2014-2019 yang ditangkap KPK.

Beberapa di antaranya: tersangka kasus suap PLTU Riau Eni Saragih, terdakwa suap jual-beli jabatan Kemenag Romahurmuziy, sampai tersangka suap impor bawang putih I Nyoman Dhamantra.

Meski bukan DPR instansi terbanyak yang 'menyumbang' koruptor--yang terbanyak adalah pejabat pemerintah daerah, tapi salah satu dari mereka bersalah atas kasus korupsi raksasa, KTP-elektronik. Dia adalah bekas Ketua DPR Setya Novanto.

“23 itu menjadi bukti DPR enggak sungguh-sungguh jadi wakil rakyat,” vonis Leo.

Anggaran Besar, Prestasi Minim

Pendiri Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai proses legislasi pengesahan berbagai RUU kontroversial di sidang paripurna juga bermasalah. Sebabnya, sidang hanya dihadiri sedikit anggota DPR, tetapi pimpinan rapat tetap berani menyebutnya kuorum.

Selasa (17/9/2019), ketika pengesahan Revisi UU KPK, kehadiran fisik anggota dewan hanya sekitar 80 orang, padahal ada 289 anggota yang meneken daftar hadir.

Hal itu sangat keliru, kata Ray. Dasar pengesahan UU, mengacu pada MD3, adalah berdasarkan kehadiran fisik, bukan tanda tangan belaka. Rapat-rapat itu semestinya ditunda.

“Sejak kapan tanda tangan jadi dasar? Disahkan tapi hadir fisik 77 orang, kan, belum tentu kuorum. Dari mana bisa kuorum kalau proses enggak tepat. Banyak cacatnya,” ucap Ray dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (28/9/2019) lalu.

Di sisi lain, anggaran anggaran DPR selalu naik tiap tahun. Pada APBN 2015, alokasi anggaran untuk DPR mencapai Rp3,598 triliun, dan tahun ini sebesar Rp5,7 triliun.

Meski demikian, kenaikan anggaran ini ternyata tidak sejalan dengan kerja DPR. Selama tahun-tahun itu juga kita tahu jumlah UU yang disahkan stagnan dan jauh dari target prolegnas.

"Kalau anggaran naik tidak ada pengaruh, berarti tidak ada hal yang bisa diharapkan dari mereka," kata peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus.

Dalih DPR

Anggota Komisi VIII Fraksi PKB Marwan Dasopang menganggap wajar bila RUU PKS batal disahkan. Sedari awal RUU ini langsung menuai polemik dan kontroversi. Pembahasan pun mentok.

Marwan juga menjabat Ketua Panja RUU PKS.

“RUU PKS perdebatannya panjang, tak seperti UU lain. Pembahasannya memakan waktu berlarut-larut. Kalau menuju kesepahaman tidak mudah, ya, apa boleh buat,” ucap Marwan kepada reporter Tirto, Senin (30/9/2019).

Marwan pun mengakui kalau Revisi UU KPK dan MD3 serta RUU SDA Air dan Budidaya Pertanian lebih mudah mencapai kesepahaman. Hal ini pun jadi dalih mengapa sedikit sekali undang-undang yang disahkan DPR berbanding dengan target legislasi tiap tahunnya.

Baca juga artikel terkait KINERJA DPR atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan