Menuju konten utama

Betapa Berbahaya Kampanye Nikah Usia Anak ala Aisha Weddings

Aisha Weddings mempromosikan pernikahan anak. Itu jelas dilarang dalam hukum dan membahayakan anak itu sendiri dari banyak sisi.

Betapa Berbahaya Kampanye Nikah Usia Anak ala Aisha Weddings
Kampanye Child Not Bride. AP Photo/Sunday Alamba

tirto.id - Sejak kemarin beredar kampanye di media sosial agar para orang tua mengawinkan anak perempuannya oleh organisasi bernama Aisha Weddings. Menurut mereka, perkawinan akan memberikan penghidupan yang lebih baik bagi perempuan.

Mereka bahkan menyediakan jasa mencari suami. “Orang tua yang ingin mencarikan suami untuk anak perempuannya, silakan hubungi kami. Kirimkan foto dan biodata anak perempuannya,” tulis mereka.

Sepintas tak ada yang salah dari anjuran itu dan mereka tampak seperti biro jodoh biasa. Masalahnya 'anak perempuan' yang mereka maksud termasuk yang benar-benar masih dikategorikan anak-anak. “Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih.”

Jika asumsinya anak mulai masuk Sekolah Dasar (SD) pada umur 7, maka di umur 12 dia baru menginjak kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Beberapa keluarga tidak punya uang untuk anaknya. Lebih baik menikah daripada mati kelaparan,” demikian mereka menuliskan pembelaan di salah satu unggahan di Facebook yang kini tak dapat lagi diakses publik.

Aisha Weddings juga mengajurkan poligami. Kata mereka, hukum di Indonesia memperbolehkan poligami selama sang suami bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. “Biarkan Aisha Weddings merencanakan impian pertama, kedua, ketiga, keempat Anda,” kata mereka.

Anjuran Aisha Weddings jelas-jelas bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setelah direvisi pada September 2019, perempuan yang diperbolehkan menikah minimal 19 tahun, sama seperti laki-laki. Ambang batas ini dinaikkan setelah diprotes masyarakat. Sebelumnya batas usia pernikahan bagi perempuan hanya 16 tahun. Masyarakat mengkritik keras karena ketentuan lama dianggap mendukung perkawinan anak yang akan merampas hak-hak anak.

Maka sama sekali tak mengherankan jika Aisha Weddings, yang menganjurkan anak perempuan berusia jauh lebih muda dari ketentuan untuk menikah, dikecam.

“Promosi untuk nikah di usia muda yang dilakukan Aisha Weddings membuat geram Kemen PPPA dan semua LSM yang aktif bergerak di isu perlindungan anak. Tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakat luas juga resah karena Aisha Weddings telah memengaruhi pola pikir anak muda bahwa menikah itu mudah,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga lewat keterangan tertulis, Rabu (10/2/2021) siang.

Bintang menambahkan, promosi Aisha Weddings mereduksi upaya pemerintah dalam usaha menurunkan angka perkawinan anak yang dampaknya sangat merugikan anak, juga keluarga, dan negara.

Ia pun berjanji akan menindaklanjuti kasus ini dengan serius. “Kemen PPPA akan mempelajari kasus ini dan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, beberapa kementerian/lembaga dan NGO. Saya juga berkoordinasi dengan Kominfo dan Kapolri agar dapat dilakukan penyelidikan lebih lanjut.”

“Kami khawatir, data pribadi anak-anak dan remaja yang tertarik dengan situs tersebut justru disalahgunakan dan mereka menjadi target tindakan pelanggaran hukum lain seperti eksploitasi seksual ekonomi hingga perdagangan anak. Itu sebabnya kami akan melibatkan pihak aparat hukum,” tambahnya.

Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu juga mengecam Aisha Weddings. Dia mengatakan kampanye tersebut tidak hanya meresahkan masyarakat, namun juga merusak upaya penghapusan diskriminasi gender.

Ninik juga mewanti-wanti apa yang dilakukan Aisha Weddings dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang sesuai UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang. Kejahatan mereka juga bisa dibilang berlapis karena melanggar UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 35 Tahun 2014) dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 16 Tahun 2019).

“Kepolisian harus pro aktif mengusut tuntas terkait hal tersebut. Tidak harus menunggu pelaporan masyarakat,” kata dia lewat keterangan tertulis, Rabu.

Dalil Dispensasi

Reporter Tirto telah berupaya mencari kontak Aisha Weddings untuk dimintai konfirmasi, tapi belum berhasil. Namun, dalam salah satu unggahan, mereka menyampaikan pembelaan: “Jika orang tua mau dan KUA mengeluarkan dispensasi nikah bagi anak, kenapa murka?”

Menurut peneliti dari Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI) Nadira Irdiana, dalil dispensasi hanya akal-akalan yang tidak semestinya dijadikan pembenaran.

Dalam UU Perkawinan, dispensasi kawin diperbolehkan dalam keadaan mendesak. Itu pun harus dilakukan setelah mendengar pendapat dari lelaki dan perempuan yang akan dinikahkan. “Dispensasi ini diperlukan agar perkawinan anak tidak semakin tersembunyi dengan nikah siri,” kata Nadira lewat keterangan tertulis kepada wartawan Tirto, Rabu malam.

Nikah siri yang tidak tercatat di KUA membuat pendeteksian terhadap perdagangan anak, ancaman, atau kekerasan semakin sulit. Selain itu, ketika anak ingin menuntut haknya, ia akan kesulitan mendapatkan perlindungan dari negara.

Semua risiko itu belum termasuk jika si anak melahirkan. Anak dari perkawinan seperti ini hanya akan mendapatkan akta dengan nama ibu. “Karena perkawinan orang tuanya tidak dicatatkan sesuai hukum yang berlaku, bila ingin kedua nama orang tuanya tercantum, harus disahkan dulu ke pengadilan dan disidang mengapa tidak mengurus dispensasi kawin di awal,” kata dia.

Semua itulah yang coba diantisipasi lewat dispensasi, tapi malah dimanfaatkan oleh Aisha Weddings untuk membenarkan kampanye mereka.

Kata dia, jika anak perempuan dikawinkan lewat program tersebut, hak atas akses pendidikannya akan hilang. PUSKAPA, BPS, dan UNICEF pernah menemukan bahwa perempuan umur 20-24 tahun yang menikah sebelum berumur 18 memiliki kemungkinan empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan sekolah menengah atas dibandingkan dengan yang menikah setelah usia 18.

“Perkawinan anak menghambat anak, khususnya anak perempuan, untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena pendidikan yang terhambat dan potensi beban ganda dari tugas rumah tangga dan pekerjaan. Hal ini juga berdampak pada kualitas hidup mereka dan meningkatkan potensi kerentanan finansial ke depannya,” katanya.

“Perkawinan anak juga berisiko membahayakan kesehatan perempuan, karena risiko komplikasi pada saat hamil dan melahirkan sangat tinggi pada usia di bawah 20 tahun. Bayi yang dilahirkan pun memiliki risiko yang lebih besar untuk meninggal dalam masa 28 hari setelah kelahiran. Anak perempuan yang dikawinkan juga lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN ANAK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino