Menuju konten utama

Betapa Bahaya Hoaks RS Dapat Uang Jika Pasien Corona Meninggal

Hoaks rumah sakit dapat uang kalau ada pasien COVID-19 meninggal sangat berbahaya. Ia bisa memperparah penularan.

Betapa Bahaya Hoaks RS Dapat Uang Jika Pasien Corona Meninggal
Petugas pemakaman penanganan jenazah pasien COVID-19 menurunkan peti jenazah dari dalam mobil jenazah di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Jumat (10/7/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

tirto.id - "Beneran, di kotaku itu, kata pakdeku, ada keluarga pasien yang disuruh mengaku Covid, padahal sakitnya itu sudah lama. Soalnya, kalau ada pasien Covid, RS-nya akan cair insentif Rp300 juta. Biasanya 50 juta dikasih ke keluarga pasien, sisanya buat RS," kata seorang pengguna Twitter (dengan suntingan).

"Kemarin-kemarin ada yang kayak gitu di daerah aku. Dia meninggal bukan gara-gara Covid tapi ditulisnya karena Covid. Katanya biar dananya cair (jadi kalau dianggap gara-gara Covid itu katanya bakal turun bantuan dana dari pemerintah)," kata pengguna Twitter yang lain.

Cuitan serupa bertebaran di Twitter sejak beberapa hari lalu. Mereka mengklaim seseorang tidak terjangkit Corona tetapi ditangani dengan protokol COVID-19. Hal itu dilakukan rumah sakit demi mengejar insentif dari pemerintah yang besarannya bervariasi, di kisaran Rp300 juta per satu orang.

Seluruh cuitan memiliki kesamaan, yakni: bukan berasal dari tangan pertama, melainkan sekadar "katanya", "kata teman mama", "kata pakdeku".

Tapi informasi agak berbeda diunggah pengguna Twitter dengan nama akun @BalqizRrzq. Ia mengatakan RS Wiyung Surabaya merekayasa status positif COVID-19 untuk ayahnya agar, sekali lagi, mendapat uang sebesar Rp200-350 juta. Ia bahkan mengatakan pasien yang masuk RS Mayapada dan RS Siloam "pasti disuntik mati" demi mendapat uang bantuan tersebut. Setiap ambulans yang mengantar jenazah juga disebut mendapat jatah Rp15 juta, Rp9 juta di antaranya untuk sopir.

Menurutnya lagi, pemerintah menargetkan 70 juta warga meninggal dunia dalam pandemi ini.

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) mengirim pesan langsung ke yang bersangkutan. Tapi tenyata "yang bersangkutan menyampaikan bahwa tuduhan terhadap RS Wiyung, RS Siloam, dan RS Mayapada... didasarkan 'dari hasil teman ayah saya yang katanya orang dinkes'," kata Humas Persi Anjari Umarjianto lewat keterangan tertulis, Selasa (21/7/2020).

Persi juga mengonfirmasikan tudingan ini ke RS Wiyung. Hasilnya, rupanya pasien yang dimaksud memang terjangkit COVID-19. Pihak RS Wiyung pun telah menunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium kepada Persi. Dengan demikian, Persi berkesimpulan cuitan tersebut bualan belaka.

Menurut Anjari, tudingan bahwa rumah sakit memanipulasi diagnosis demi mendapat insentif pemerintah sama sekali tidak masuk akal. Proses pencairan klaim biaya perawatan COVID-19 harus melalui verifikasi berjenjang. Pertama oleh BPJS Kesehatan. Proses ini bisa memakan waktu hingga tujuh hari. Kemudian, BPJS Kesehatan menyetor berita acara verifikasi ke Kementerian Kesehatan.

"Kementerian Kesehatan punya semacam panitia antifraud. Jadi tahapan untuk dibayarkan ke rumah sakit itu panjang dan sangat ketat," kata Anjari.

Alih-alih "tertimpa durian runtuh" sebagaimana dikira banyak orang, rumah sakit justru mengalami penurunan kunjungan pasien non COVID-19 sebesar 60-70 persen, berdasarkan survei pada April lalu. Akibatnya, kas rumah sakit mengering. Di sisi lain, biaya operasional membengkak karena harus menyediakan ruang isolasi, alat kesehatan, alat pelindung diri, dan alat lain.

"Artinya tidak ada keseimbangan antara penerimaan rumah sakit dan cost-nya, yang terjadi cash flow terganggu," kata Anjari.

Membahayakan

Banyak pihak telah mewanti-wanti maraknya disinformasi dan bualan konspirasi terkait COVID-19 sejak lama. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Gutteres menyebut fenomena itu sebagai "epidemi misinformasi yang berbahaya". PBB bahkan membentuk satuan tugas khusus untuk "membanjiri internet dengan sains dan fakta."

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya Windhu Purnomo menjelaskan bagaimana masifnya disinformasi atau bualan konspirasi tentang COVID-19 mendorong penularan semakin menggila. Hoaks, kata Windhu, membuat masyarakat tidak percaya pada penanganan pandemi dan akhirnya abai terhadap protokol kesehatan. Artinya, ogah memakai masker, ogah dites, ogah diminta isolasi mandiri, bahkan ogah dirawat.

Padahal di sisi lain, kepatuhan terhadap protokol kesehatan dan pelaksanaan tes, trace, dan isolasi makin urgen saat ini mengingat penularan COVID-19 di Indonesia makin masif. Per Rabu (22/7/2020) kemarin, ditemukan ada 1.693 kasus baru sehingga total kasus mencapai 89.869.

"Mereka anggap, 'ah itu bohong saja, virus itu tidak ada'. Itu, kan, sangat berbahaya. Mencelakakan masyarakat," kata Windhu kepada reporter Tirto, Selasa (21/7/2020).

Yang dikhawatirkan Windhu telah terjadi. Pada Rabu (3/6/2020), seratusan orang dengan senjata tajam merangsek ke ICU RS Khusus Dadi Makassar dan mengambil jenazah seorang pasien. Pasien itu sudah tiga hari dirawat dengan status PDP (kini diganti 'suspek') dan akhirnya meninggal dunia.

Direktur RS Arman Bausat menduga aksi itu terjadi karena berita bohong di media sosial yang mengatakan rumah sakit menerima ratusan juta rupiah dari setiap pasien COVID-19 yang meninggal. Hal ini diperkuat karena keluarga sebetulnya tidak mempermasalahkan protokol pemakaman dengan menandatangani formulir saat pasien pertama kali dirawat.

"Jadi pembuat hoaks ini tidak boleh dibiarkan, itu harus betul-betul diusut. Dan mereka tidak cukup hanya minta maaf karena ini dampaknya sudah sangat merusak apa yang sudah dilakukan dengan susah payah ini," kata Windhu.

Ketua Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk COVID-19 Zubairi Djoerban tak habis pikir dari mana asal tudingan bahwa dokter mencari untung dari pandemi. Alasannya sederhana saja: tak sedikit dokter yang harus meregang nyawa akibat penyakit ini. Hingga Senin (20/7/2020) lalu, IDI mencatat sudah ada 68 dokter meninggal dunia akibat COVID-19.

Zubairi menilai disinformasi itu bisa tersebar karena banyak masyarakat yang belum paham tentang penyakit ini. Karenanya ia meminta pemerintah menggencarkan lagi sosialisasi, bukan hanya melalui elite seperti pejabat, artis, dan dokter, tetapi juga tokoh masyarakat dan tokoh agama.

"Harus ada pelatihan untuk beliau-beliau itu agar bisa memberikan penyuluhan dengan baik dan benar. Jangan sampai tokoh masyarakat ini memberi penyuluhan ke masyarakat sesuai persepsi mereka yang keliru," kata Zubairi.

Baca juga artikel terkait PASIEN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino