Menuju konten utama

Bertahan di Antara Patok-Patok Angkasa Pura

Sejumlah warga masih menolak pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo. Upaya sosialisasi dan pendekatan kepada warga belum membuahkan hasil signifikan. Para warga ini bersikeras tidak mau meninggalkan tanah kelahirannya meski mengaku mendapatkan intimidasi.

Bertahan di Antara Patok-Patok Angkasa Pura
Himbauan mendirikan bangunan yang dipasang Pemkab Kulon Progo di Temon, Kulon Progo, DI Yogyakarta. [Tirto/Mutaya]

tirto.id - Patok-patok dengan kalimat bernada ancaman sudah bertebaran di tanah-tanah warga yang pro pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo, Yogyakarta. Kalimatnya serupa: “Dilarang memindahkan, merusak, merobohkan barang yang ada di dalam lokasi pembangunan bandara. Ancaman Pidana: Pasal 167 (1) KUHP, Pasal 389 KUHP, pasal 551 KUHP.”

Di rumah-rumah juga banyak tertempel stiker bertanda Angkasa Pura. Dengan kalimat ancaman hukuman yang sama, stiker itu menghiasi dinding, pintu, dan daun jendela rumah warga pro pembangunan.

Ada lima desa yang terdampak rencana pembangunan bandara menurut perhitungan Angkasa Pura 1 sebagai penanggung jawab proyek. Kelima desa itu adalah Jangkaran, Sindutan, Palihan, Kebonrejo, dan Glagah. Luasnya kurang lebih 627 hektar dengan jumlah warga terelokasi kurang lebih sebanyak 2.465 jiwa menurut perhitungan Angkasa Pura.

Namun, perhitungan Angkasa Pura itu sampai detik ini masih belum mencapai titik akhir karena banyak warga yang menolak pembangunan bandara. Mereka tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT), organisasi yang didirikan oleh warga yang menolak proyek bandara yang sudah berdiri sejak 2012 lalu.

Gito, salah seorang warga Desa Palihan, mengaku tidak akan pergi dari tanah dan rumahnya. Ia tak peduli bahkan jika Angkasa Pura bersikeras membangun di area sekitar lahannya.

“Biar lingkungan saya gedung-gedung semua, saya (akan terus) tinggal di antara gedung,” ujarnya.

Ia tidak sendirian bertekad mempertahankan tanah dan rumahnya. Ada kurang lebih 250 kepala keluarga (KK) pemegang hak sertifikat tanah yang bersikap serupa. Seperti David Sastro, misalnya. Lelaki yang memiliki dua orang anak ini tidak percaya dengan manfaat ekonomi yang ditawarkan oleh Angkasa Pura. Ia lebih percaya kelak keluarganya akan sengsara dengan mengikuti kemauan Angkasa Pura.

David memilih untuk bertahan di tanahnya meski sekarang tanah di lingkungan sekitarnya sudah dipatok dan beberapa warga yang tak jauh tempat tinggalnya sudah meninggalkan rumah.

“Ada tiga kepala keluarga yang sudah meninggalkan rumah,” ungkapnya. Ia menunjukkan rumah-rumah yang sudah tertempel stiker bertanda Angkasa Pura. Stiker macam itulah yang menjadi tanda bahwa sertifikat rumah dan tanah tersebut sudah diserahkan kepada Angkasa Pura.

“Dulu mereka tidak mau, tapi karena ada intimidasi, maka mereka melepas (hak milik sertifikat),” katanya.

Intimidasi tersebut mulai terasa setelah sosialisasi dilakukan tim Angkasa Pura. Bentuk-bentuk intimidasi tersebut yang akhirnya membuat warga yang awalnya menolak mulai berpikir ulang dan akhirnya menyetujui pembangunan dengan syarat.

Martono, Ketua WTT, menambahi keterangan David soal intimidasi. Ia mengatakan bentuk-bentuk intimidasi itu beragam, mulai dari ancaman listrik akan dimatikan, akses jalan warga akan ditutup, anak tak bisa sekolah, rumah dan lingkungannya ditimbuni sampah, dan lain sebagainya.

“Kalau tidak mau (melepas tanah) nanti kena masalah dengan negara, seperti tanah diminta, anak nggak bisa sekolah, listrik dicabut, jalan ditutup, dan segala macam lainnya. Setelah itu ada rasa ketakutan, yang pro mulai berkembang,” ujar Martono.

Ia menceritakan, pendekatan tim Angkasa Pura terhadap warga memang menggoda. Mereka melakukan pendekatan dengan gaya seperti tim sukses dalam Pilkada yakni mengumpulkan warga di rumah makan. “Warga yang datang diberi Rp. 50.000 per orang,” ungkap Martono.

Usaha pertama tidak membuahkan hasil. Untuk itulah mereka membuat acara sosialisasi hingga tiga kali kepada warga dengan cara yang sama, memberi uang Rp. 50.000 per orang bila datang ke acara tersebut. Belakangan diketahui tanda tangan kehadiran warga dalam acara sosialisasi tersebut diklaim oleh tim sukses sebagai persetujuan warga pada pembangunan bandara.

Bila pertemuan pertama membahas rencana proyek, di pertemuan kedua dibahas apa saja yang bisa didapat warga bila bersedia merelakan tanahnya. Persis seperti yang diungkapkan Gito di atas, warga dijanjikan kelak bisa terlibat dalam pengurusan Bandara. “Oknum-oknum itu menjanjikan warga akan diberi pekerjaan, rumah gratis, uang pengganti, dan lain-lain,” papar Martono.

Setelah sosialisasi dan konsultasi publik berjalan, warga pro pembangunan bandara jumlahnya lebih banyak dari warga WTT.

Pertahanan dan Solidaritas WTT

Kelompok WTT sebenarnya beranggotakan sekitar 300 KK, namun yang memiliki hak sertifikat tanah hanya 250 KK yang mencakup hampir 1500 jiwa. Awalnya, jumlah mereka mencapai 600 KK yang terdiri dari seluruh warga dari lima desa yang terdampak. Akan tetapi, pendekatan Angkasa Pura melalui aparat-aparat desa membuat masyarakat sedikit demi sedikit tergiur dengan janji-janji yang diutarakan, seperti masyarakat akan diberi kesempatan bekerja di perusahaan jasa pengamanan, jasa kebersihan, jasa pemeliharaan fasilitas dan sebagainya.

“Sebetulnya warga pro tahu sudah tertipu tapi apa daya sertifikat sudah telanjur diserahkan,” ujar Martono.

Di saat warga yang pro kelabakan memikirkan asetnya, warga WTT tetap santai beraktivitas di rumah dan tanahnya. Meskipun demikian, WTT tidak hanya sekadar menolak tanpa melakukan usaha menghentikan pembangunan bandara. WTT juga pernah menempuh jalur hukum untuk menghentikan rencana tersebut.

“WTT sudah melakukan penolakan dengan segala macam cara, kami ajukan keberatan sampai ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), tahap pertama kami menang, tapi pemerintah mengajukan banding, dan dimenangkan oleh pemerintah di tingkat kasasi dengan dasar untuk kepentingan umum,” papar Martono.

Kekalahan di tahap kasasi ini tidak membuat warga WTT menyerah, mereka menjajal kesempatan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke pengadilan. Sayang, PK yang diajukan pada bulan Maret 2016 ini ditolak pengadilan karena sudah ada aturan baru, yaitu peraturan Mahkamah Agung yang mengatakan segala sengketa yang bersangkut paut dengan kepentingan umum tidak bisa PK, dan hanya sampai banding di tingkat Mahkamah Agung atau kasasi saja.

Sekarang, warga WTT masih tetap tidak disentuh aparat. Menurut Martono, aparat tidak ingin bersusah payah memaksa warga yang kontra. Mereka akan menggunakan hak milik tanah dan rumah warga yang sudah menjadi milik Angkasa Pura untuk mengkondisikan situasi tidak nyaman. Caranya? “Dengan pasang pagar, contohnya (patok bertanda Angkasa Pura) di (lahan) paling utara sana itu (jalan provinsi yang termasuk wilayah Kecamatan Temon),” ujar Martono.

Alasan warga WTT tetap bertahan di tanah dan rumahnya adalah demi masa depan anak dan cucu mereka. “Ini demi anak dan cucu,” ungkap Martono.

Martono dan warga WTT lainnya menolak manfaat pembangunan yang dikampanyekan Angkasa Pura akan dapat kesejahteraan masyarakat. Ada tujuh poin yang tertulis dalam surat edaran Angkasa Pura kepada warga.

Tujuh hal itu adalah, pertama, Bandara Internasional Kulonprogo akan menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai pintu gerbang internasional ketiga setelah Bandara Soekarno Hatta dan Bandara Ngurah Rai, Denpasar Bali. Kedua, bandara dapat meningkatkan kualitas layanan moda transportasi kepada pengguna jasa layanan transportasi khsuusnya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Ketiga, dapat memercepat arus lalu lintas manusia, barang, dan jasa.

Keempat, dapat meningkatkan pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor pariwisata dan perdagangan di wilayah DIY (akomodasi, objek wisata, restoran, dan lain-lain). Kelima, meningkatkan perekonomian wilayah Kabupaten Kulonprogo pada khususnya, dan DIY pada umumnya. Keenam, dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di wilayah kabupaten Kulonprogo pada khususnya, dan DIY pada umumnya. Ketujuh, pemerataan penyebaran bidang-bidang jasa, usaha, dan perdagangan.

Alih-alih tergiur dengan hal-hal itu, warga WTT malah memandang pembangunan bandara akan berdampak buruk dalam jangka panjang. Sebab, menurut Martono, setelah menggusur warga Kecamatan Temon, akan terjadi pula penggusuran di daerah lainnya demi membangun fasilitas penunjang bandara. Apalagi jika sesuai dengan rencana pemerintah, yakni menghubungkan bandara internasional dengan lokasi wisata di daerah Jawa Tengah, seperti Borobudur dan sekitarnya.

“Penggusuran akan terjadi terus menerus, seperti pembebasan tanah untuk stasiun, jalan tol, kereta api, perusahaan asing, hotel, dan masih banyak lagi. Itu akan memakan tanah-tanah warga,” kata Martono.

Menilik edaran Angkasa Pura tentang master plan pembangunan bandara internasional Kulonprogo dan sekitarnya, direncanakan akan dibangun fasilitas penunjang seperti jalur ganda kereta api dan kereta commuter untuk melayani penumpang kargo dari bagian selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Cilacap sampai dengan Madiun). Diperkirakan warga daerah yang akan terdampak pembangunan tersebut mencapai 20 juta jiwa.

Martono kemudian memaparkan sampai sekarang warga yang terdampak dan sudah melepaskan sertifikat tanahnya tidak memiliki kejelasan masa depan mereka. Contohnya terkait tanah relokasi yang harga tanah dan rumah barunya ditentukan juga oleh penilai.

“Padahal tanah warga dihargai 800 ribu per meter, sedangkan harga tanah di lokasi baru satu juta,” ungkap Martono.

Kondisi seperti itu jugalah yang membuat warga WTT semakin mantap bertahan. Mereka memperhitungkan untung rugi besaran harga tanah kepada Angkasa Pura dengan akibat lanjutan yang kemungkinan akan membuat mereka rugi dua kali lipat.

“Ternyata rumah dan tanah harus beli setelah pelepasan hak (sertifikat) dan harus nganggur juga. (Ekonomi) lima tahun ke depan harus makan apa? Sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah tanah dirampas tapi nganggur pula, tanah itu belum lunas dibayar tapi sudah dilarang ditanami,” tambah Martono.

Selain alasan ekonomi, mereka juga beralasan merawat dan melestarikan peninggalan nenek moyang. Daerah tersebut, menurut pemaparan Martono, memiliki nilai sejarah. Dua di antaranya yang penting sebagai daerah napak tilas Pangeran Diponegoro dan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. “Mereka akan hapus area ini begitu mudahnya, ini sejarah kita semua,” ujar Martono.

Infografik Bandara Kulon Progo 1

Hukum yang Tak Berpihak pada Upaya Warga

WTT didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dalam melaksanakan aksi protes kepada pemerintah Provinsi Yogyakarta dan kepada Angkasa Pura. Pendampingan dari LBH sudah berjalan sejak dua tahun lalu, dimulai sejak empat petani dipidanakan dan ketika petani melaksanakan gugatan terhadap penerbitan Izin Penetapan Lokasi (IPL) bandara.

Martono menceritakan empat petani yang dipidanakan menurutnya tidak melakukan kejahatan, mereka hanya menyegel balai desa sebab aparat desa, terutama kepala desa Glagah, tidak memberikan keterangan yang jelas kepada warga. “Ia justru lari, waktu itu memang ricuh,” kata Martono.

Polisi waktu itu menangkap empat warga yang memaku pintu balai desa. Keempatnya dipenjara sampai empat bulan. Sekarang empat warga ini sudah kembali ke tengah masyarakat dan beraktifitas seperti biasa dengan masih pada pendiriannya: menolak pembangunan bandara.

Sementara itu, terkait gugatan IPL, petani Kulonprogo yang tergabung dalam WTT menyadari rencana pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo sudah menyalahi aturan, karena uji kelayakan lingkungan atau Amdal belum ada sampai saat ini.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menganggap IPL memang bermasalah. Ia mengatakan rencana pembangunan bandara internasional Kulonprogo sudah menyalahi aturan karena uji kelayakan lingkungan atau analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) belum ada sampai saat ini. Padahal, Amdal seharusnya sudah ada dalam tahap perencanaan pembangunan sebelum izin penetapan lokasi (IPL) pembangunan diterbitkan.

“Proyek ini menyalahi aturan rencana tata ruang wilayah (Perda RTRW Provinsi DIY, Perpres RT/RW Pulau Jawa-Bali dan PP tentang RTRW Nasional). Di dalam aturan itu tidak ada amanat untuk membangun bandara, yang ada hanya pengembangan Bandara Adi Sucipto yang satu kesatuan dengan Bandara Adi Sumarmo. Selain itu pengadaan tanah tidak dilengkapi dengan dokumen Amdal. Setelah ada Amdal, barulah bisa diikuti terbitnya izin lingkungan,” ujar Yogi Zul Fadhli, pendamping WTT dari LBH Yogyakarta.

Ia menerangkan, izin lingkungan merupakan persyaratan penerbitan izin usaha dan/atau kegiatan, termasuk dalam hal ini IPL pembangunan bandara. Terbitnya izin lingkungan harus melalui proses Amdal dan dilakukan pada tahap perencanaan.

Sampai detik ini, Yogi mengatakan baik pihaknya maupun warga WTT belum pernah tahu ada pengumuman Amdal.

Sesuai dengan keterangan dari LBH Yogyakarta, Amdal seharusnya sudah ada dalam tahap perencanaan pembangunan sebelum Izin penetapan lokasi (IPL) pembangunan diterbitkan. Sampai detik ini, Yogi mengatakan baik pihaknya maupun warga WTT belum pernah tahu ada pengumuman Amdal.

Namun Pemimpin Proyek PT Angkasa Pura I (Persero), R. Sujiastono, menganggap semuanya sudah tidak ada lagi masalah. “Oh yang jelas IPL sudah inckraht, sudah final. Coba pelajari lagi UU No. 2 tahun.2012,” jawabnya memberi konfirmasi.

Usaha para petani Kecamatan Temon, Kulonprogo, untuk menghentikan pembangunan harus terhenti karena norma hukum berwujud Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan tersebut menolak upaya hukum luar biasa beruapa Peninjauan Kembali (PK) terhadap keputusan pengadilan yang telah punya kekuatan hukum tetap. Gugatan warga berhenti di tingkat kasasi yang memenangkan Angkasa Pura, dan peraturan MA menutup peluang untuk melakukan PK.

Yogi memaparkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta sebagai peradilan administrasi yang dibentuk dengan cita-cita melindungi hak asasi serta mampu melaksanakan keadilan justru lebih mematuhi peraturan Mahkamah Agung dengan menolak menindaklanjuti PK yang diajukan para petani Temon, Kulonprogo (Wahana Tri Tunggal).

“Kami sangat menyayangkan sikap PTUN Yogyakarta,” ujar Yogi.

Sikap PTUN Yogyakarta yang tidak menindaklanjuti permohonan peninjauan kembali warga adalah tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum, imbuh Yogi.

Ia membeberkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada peraturan Mahkamah Agung. Dan semua produk hukum yang levelnya di atas Peraturan MA itu memungkinkan permintaan PK serta tegas mengatur mekanisme-mekanisme yang harus dilalui.

Hakim, lanjut Yogi, tidak boleh menolak perkara yang diajukan melalui upaya hukum luar biasa peninjauan kembali. “Seluruhnya kami memandang, hak asasi manusia berupa hak atas keadilan telah tercederai,” pungkas Yogi.

Baca juga artikel terkait ANGKASA PURA I atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Indepth
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Zen RS