Menuju konten utama

Berstatus Negara Maju, Mungkinkah Paspor Indonesia jadi Kuat?

Paspor Indonesia berada di posisi ke-72 di dunia.

Berstatus Negara Maju, Mungkinkah Paspor Indonesia jadi Kuat?
Ilustrasi Passport. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Albert Podell, penulis sekaligus adventurer yang telah menjejakkan kaki di tiap negara di berbagai sudut bumi, menyebut bahwa berpetualang ke negara-negara dunia, dalam beberapa kasus, dimulai jauh hari sebelum pesawat lepas landas dari tanah kelahirannya di Amerika Serikat. Petualang pertama yang harus dilakukan, sebagaimana dikisahkannya pada The Atlantic, ialah usaha memperoleh visa.

“Kesulitan mendapatkan visa sukses menguatkan pribadi saya,” tulisnya.

Podell berkisah, untuk menerbitkan visa pada para pengaju, tiap negara memiliki kriterianya tersendiri. Masalahnya, kriteria itu menjadi rahasia negara dan jika negara tujuan menolak memberikan visa, pengaju umumnya tidak memperoleh alasan penolakan yang jelas.

Arab Saudi, misalnya. Menurut penuturan Podell, ia telah berusaha mengajukan visa Saudi sejak tahun 2000 hingga 2009, tetapi selalu berakhir dengan penolakan. Dalam penjelasan petugas kedutaan Saudi yang tiba-tiba menghampirinya, petugas itu mengatakan:

“Lihatlah, kami memiliki sangat banyak uang dari minyak. Ada juga dua juta peziarah Haji dan Umroh yang datang ke Mekah tiap tahunnya. Jadi, kami tidak memerlukan uang yang hanya beberapa dolar saja dari kalian, para wisatawan.”

Akhir kisah, Podell akhirnya memperoleh visa kunjungan ke Saudi dengan bersiasat menautkan namanya dalam tim arkeologis yang hendak melakukan penelitian di Timur Tengah.

Selain Saudi, susahnya memperoleh visa juga terjadi ketika Podell hendak berkunjung ke Somalia. Sebagai negara termiskin di Afrika, Somalia sangat berharap banyak dari uang hasil menjual visa. Sialnya, negeri itu penuh dengan bandit dan perompak yang siap menculik siapapun wisatawan yang berkunjung ke sana. Akibatnya, pemerintah Somalia sangat hati-hati memberikan visa karena tidak ingin para turis yang berkunjung berakhir dengan tragedi.

Jika wisatawan memaksa masuk, pemerintah Somalia memberikan syarat: mereka harus rela merogoh kocek $750 hingga $1.350 per hari untuk membiayai empat hingga enam petugas pengawalan, termasuk penembak jitu.

Kesusahan memperoleh izin masuk ke suatu negara juga dialami Eyal Weizman, salah satu pendiri Forensic Architecture, lembaga non-profit yang rajin membuka kedok pemerintah dan perusahaan melakukan tindak kekerasan memanfaatkan teknologi. Weizman ditolak masuk ke AS dari negeri asalnya Inggris dengan alasan: “algoritma” milik AS mengidentifikasi Weizman berbahaya.

“Entah bagaimana, petugas mengatakan bahwa algoritma mereka bekerja dan mengatakan bahwa saya telah terlibat dalam suatu hal (kejahatan), atau saya telah bertemu dengan orang-orang (yang dianggap penjahat oleh Amerika), atau saya telah berkunjung (ke negara-negara yang dianggap rawan oleh Amerika, seperti Suriah, Iran, Irak, Yaman, atau Somalia), atau ada sebuah pola yang mengatakan saya terlibat (dalam kejahatan),” tutur Weizman, sebagaimana diwartakan Archpaper.

Global North vs Global South

Mathias Czaika, dalam paper berjudul “The Global Evolution of Travel Visa Regimes” (PDF, 2017) menyebut bahwa visa, selain paspor, merupakan instrumen utama pengendalian pergerakan penduduk oleh negara modern.

Sejak abad ke-16 hingga 18, negara-negara di dunia melihat populasi sebagai sumber daya ekonomi yang berharga, yakni calon rekrutan pasukan militer. Namun, penyebaran kapitalisme modern, juga paham konformitas, yang mendorong negara-negara modern mengejar homogenitas etnis dan budaya, serta keinginan percepatan pertumbuhan penduduk telah menurunkan pentingnya ukuran populasi bagi negara. Ini memicu lahirnya “exit revolution” sejak abad ke-19, dan negara kemudian beralih dari pengendalian emigrasi ke imigrasi.

Kini, visa digunakan lebih untuk mencegah masuknya calon pencari suaka, pencari pekerjaan, atau mencegah orang-orang yang hendak melakukan tindak kejahatan di negeri orang. Dalam beberapa kasus, visa dimanfaatkan negara untuk mendulang keuntungan.

Czaika, masih dalam paper-nya, turut menjelaskan bahwa visa merupakan pernyataan politik suatu negara. Sebagai contoh, tatkala Belanda memberlakukan persyaratan visa bagi warga negara Maroko di 1984. Lalu, selepas Suriname merdeka di tahun 1975, pemerintah Belanda juga memperkenalkan persyaratan visa bagi warga Suriname.

Visa, dalam bentuk “pembebasan-visa”, juga merupakan pernyataan kerjasama ekonomi antar-negara. Seperti yang berlaku, misalnya, pada European Union (EU), Economic Community of West African States (ECOWAS), Gulf Cooperation Council (GCC), South African Development Community (SADC), hingga Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).

Masalahnya, sebagaimana diungkap Eric Neumayer dalam paper berjudul “Unequal Access to Foreign Spaces: How States Use Visa Restrictions to Regulate Mobility in a Globalized World” (PDF, 2006), melalui fungsi visa yang berbeda-beda tersebut, tiap negara ingin mendorong arus masuk orang-orang dari berbagai negara tertentu, namun, sekaligus juga hendak mencegah datangnya orang-orang dari sekian negara lainnya.

Akibatnya, seperti yang disebut Czaika, visa menciptakan kesenjangan, khususnya antara negara-negara “global north” dengan negara-negara “global south”.

Umumnya, para pemegang paspor dari negara-negara global north, atau negara-negara yang terletak di sebelah utara bumi, dapat singgah ke banyak negara tanpa memerlukan visa. Hanley & Partners menyebut, pemegang paspor AS dapat terbang ke 184 negara tanpa memerlukan visa.

Sementara itu, para pemegang paspor dari global south, atau negara-negara yang terletak di bagian selatan bumi, tidak memiliki pilihan banyak masuk ke suatu negara tanpa visa. Hari ini, para pemegang paspor Bangladesh, sebagai contoh, hanya bisa singgah ke 41 negara tanpa memerlukan visa.

Dari 20 negara dengan paspor terkuat, 17 negara berasal dari global north, dengan menyisakan Jepang, Singapura, dan Korea Selatan sebagai bagian dari global south.

Mengapa terdapat perbedaan antara negara-negara utara dan selatan? Umumnya, negara-negara di belahan bumi utara relatif lebih makmur, maju, dan menilik sejarah, merupakan negara-negara kolonial dibandingkan dengan negara-negara di belahan selatan. Ada kekhawatiran bahwa orang-orang dari belahan bumi selatan, jika diberikan bebas visa, hanya memanfaatkannya untuk mencari pekerjaan, suaka, atau melakukan tindak kriminal, yang dihindari negara-negara utara.

Eliza Anyangwe, dalam tulisannya di The Guardian menyebut, meskipun ia mengenyam pendidikan di Inggris dan memiliki pekerjaan dari perusahaan yang terdaftar di Perancis, ia tetap ditolak masuk ke AS hanya karena memegang paspor Kamerun dan dianggap “tidak stabil” oleh pemerintah AS.

Tapi, mengapa Jepang, Singapura, dan Korea Selatan memiliki kekuatan paspor bak negara-negara utara? Jawabannya, ketiga negara itu merupakan negara maju dan dianggap memiliki standar serupa dengan negara-negara utara, seperti AS atau Inggris.

Bagaimana dengan Paspor Indonesia?

Amerika Serikat, melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR), mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang dan memasukkannya dalam daftar negara maju dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Termaktub dalam Public Notice bernomor 11029, dimasukkannya Indonesia sebagai negara maju terjadi lantaran Indonesia memiliki ekonomi yang dianggap kuat, serta tercatat sebagai anggota G20.

Dengan kondisi demikian, Indonesia dianggap tidak pantas masih berstatus negara berkembang. Selain Indonesia, Brazil, India, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dimasukkan pula sebagai negara maju oleh Paman Sam.

Dari sisi ekonomi, naiknya status Indonesia menjadi negara maju dianggap merugikan. Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas Generalize System of Preference (GSP) dalam rupa keringanan bea masuk. Khusunya bilamana importasi produk Indonesia di AS harus memakai tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN), maka industri Indonesia bakal kehilangan daya saing.

Di sisi lain, peningkatan status menjadi negara maju seharusnya dapat menaikkan level kekuatan paspor Indonesia. Hari ini, merujuk laporan Hanley & Partners, paspor Indonesia berada di posisi ke-72. Hanya 71 negara di dunia yang mengizinkan warga negara Indonesia menginjakkan kakinya tanpa visa, atau hanya sebatas menggunakan Visa On Arrival (VOA) dan Electronic Travel Authorization (eTA). Sementara itu, ada 169 negara di dunia yang dapat masuk ke Indonesia tanpa memerlukan visa.

Dari 71 negara yang dapat dimasuki warga negara Indonesia tanpa visa, hanya tujuh negara yang berstatus negara maju (dengan memasukkan daftar kenaikan status negara maju terbaru oleh AS), yakni Hongkong (Cina), Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Brazil, dan Kolombia. 64 negara lainnya berstatus negara berkembang.

Kenaikkan status menjadi negara maju, mensejajarkan Indonesia, misalnya, seperti Jepang sebagai pemilik paspor non-global north yang kuat.

Masalahnya, kenaikan status Indonesia sebagai negara maju terasa dipaksakan. Melihat indeks pembangunan manusia, misalnya, Indonesia saat ini masih berada di posisi ke-111. Dengan indeks sebesar 0,707, angka harapan hidup, pendidikan, hingga perolehan pendapatan nasional bruto yang masih kalah jauh dibandingkan negara-negara berstatus maju sungguhan.

Angka harapan hidup manusia Indonesia hanya berada di angka 71,5 tahun. Di sisi lain, Jepang, yang berada di posisi ke-19 dengan indeks sebesar 0,915, memiliki angka harapan hidup 84,5 tahun.

Lantas, angka harapan sekolah penduduk Indonesia juga masih berada di angka 12,9 tahun, kalah dari Jepang yang sudah 15,2 tahun. Terakhir, pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia hanya $11.256. Lagi-lagi, kalah dibandingkan Jepang yang telah memiliki pendapatan nasional bruto per kapita sebesar $40.799.

Artinya, kualitas kesehatan, pendidikan, dan ekonomi Indonesia masih meragukan bila dipaksakan menjadi negara maju.

Dengan kondisi demikian, sukar membuat paspor Indonesia lebih kuat dibandingkan saat ini.

Baca juga artikel terkait VISA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Mild report
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Eddward S Kennedy