Menuju konten utama

Berpanjang Tanya di Debat Kedua Pilgub Jakarta

Berapa jumlah kata dari pertanyaan moderator dalam debat kedua pemilihan gubernur Jakarta?

Berpanjang Tanya di Debat Kedua Pilgub Jakarta
Pembawan acara Debat Pilgub DKI Jakarta, Eko Prasojo dan Tina Talisa. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Tina Talisa bukan orang kemarin sore dalam dunia televisi. Ia lama bekerja sebagai presenter berita. Ia berkarier selama empat tahun di tvOne sejak 2007 ketika Agus Yudhoyono masih dinas militer, Basuki Tjahaja Purnama masih merangkak sebagai politikus daerah, dan Anies Baswedan masih menjabat rektor Universitas Paramadina. Pada 2011 Tina hengkang ke Indosiar, tetapi pada 2015 wajahnya rutin muncul di Net Media, stasiun berita dan hiburan di bawah induk Indika Group yang dimiliki Sudwikatmono, salah satu pengusaha yang besar di bawah Orde Baru.

Eko Prasojo adalah akademikus yang serius studi dalam ilmu administrasi negara dan lulusan doktoral di salah satu universitas di Jerman. Ia profesor termuda dan guru besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, terlibat dalam upaya reformasi birokrasi di pemerintahan, menjadi pakar kebijakan publik termasuk menjabat wakil menteri pendayagunaan aparatur negara di bawah periode terakhir pemerintahan Yudhoyono.

Rentang karier akademis Prasojo sejak 1990-an sejalan ketika Sylviana Murni menjadi birokrat di lingkungan pemerintahan Jakarta (termasuk walikota Jakarta Pusat), saat Djarot Saiful Hidayat meniti politikus PDI Perjuangan dari Jawa Timur, dan Sandiaga Uno menata diri sebagai pengusaha (masuk dalam daftar 40 orang terkaya Indonesia versi Forbes pada 2009) sebelum belakangan mencoba lapangan politik di Partai Gerindra.

Orang-orang ini—dari beragam usia, latar belakang profesi, dan pengalaman—bertemu di satu panggung pada Jumat malam dalam debat kedua kandidat penguasa Jakarta untuk lima tahun ke depan. Pasangan Tina dan Prasojo ditandemkan oleh KPU Jakarta, dan disetujui masing-masing kandidat, untuk mengelaborasi tema debat mengenai reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan penataan kawasan ibu kota—pusat ekonomi dan politik pemerintahan Indonesia.

Seharusnya tandem ini tanpa cela. Tina memahami khalayak, sementara Prasojo mendalami tema yang jadi poin debat. Mereka adalah orang yang gampang menguasai panggung. Tetapi justru, menilik contoh debat di televisi Jakarta yang sering bertele-tele serta keinginan mereka mencekoki pemahaman yang lengkap pada masing-masing kandidat, pertanyaan-pertanyaan mereka bukanlah model yang baik sebagai sebuah perdebatan politik dalam pemilihan jabatan publik.

Mereka dibatasi waktu: dua jam, diselingi jeda iklan selama 30 menit. Dalam dua jam itu, debat dibagi enam sesi, dan ada tiga sesi yang dipakai oleh kedua moderator untuk mengajukan pertanyaan kepada tiap-tiap kandidat (sesi ke-2, ke-3, dan ke-6). Karena dibatasi jam tayang (Anda tak mungkin membuat hiburan politik macam ini menjadi enam jam acara realitas atau ajang pencari bakat), maka yang harus dilakukan, dan paling utama diperhatikan, adalah hemat kata dalam bertanya.

Pada segmen kedua, Tina Talisa misalnya mengajukan pertanyaan kepada pasangan nomor urut dua, Ahok-Djarot, yang dijawab oleh Djarot.

Tina: Pertanyaan untuk paslon dua. Program kerja paslon dua di antaranya menyebutkan tentang penyempurnaan penggunaan indikator kinerja dalam rangka menilai dan mengevaluasi kinerja birokrasi secara terukur sebagai dasar dalam melakukan lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan demosi, dan penentuan besaran tunjangan kinerja daerah. Khusus mengenai tunjangan, paslon dua sebagai petahana memiliki kebijakan reformasi birokrasi dengan cara menaikkan berbagai tunjangan pegawai negeri sipil di Jakarta. Tahun 2016 lalu, seorang lurah misalnya membawa pulang penghasilan sebesar hampir 34 juta. Camat 44 juta. Kepala dinas hampir 76 juta, dan kepala badan hampir 79 juta. Total belanja pegawai di Jakarta tahun 2016 sebesar 17,3 triliun atau setara 25,9 persen dari total APBD. Pada sisi lainnya, Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan data tingkat kepatuhan pemerintah provinsi terhadap standar pelayanan publik tahun 2015. Hasilnya, DKI Jakarta berada di peringkat 16 dengan nilai 61,2 di antara 33 provinsi yang disurvei. Bagaimana paslon dua menjelaskan pengaruh kenaikan tunjanga PNS terhadap peningkatan kinerja dan kualitas pelayanan publik serta penurunan tingkat korupsi?

Berapa jumlah kata tanya Tina di atas? 159 kata. Sebelum mengajukan kalimat tanya, Tina harus menerangkan konteks kasus Jakarta soal tunjangan kinerja. Konteks ini bikin boros. Tetapi, seandainya tanpa konteks, sangat mungkin kandidat tidak paham navigasi yang ketat soal apa yang mesti dijawab. Dan sangat mungkin lagi, karena acara ini disiarkan televisi (yang mengambil frekuensi publik nasional sehingga seakan-akan urusan Jakarta adalah urusan seluruh Indonesia), para pemirsa—dan wartawan seperti saya—kurang tahu jenis perkara apa yang tengah didebatkan.

Sekalipun membutuhkan konteks, hemat saya, mestinya ia bisa dipersingkat.

Misalnya: Pertanyaan untuk paslon dua. Program kerja Anda, dalam reformasi birokrasi, menaikkan berbagai tunjangan pegawai negeri sipil, dari lurah, camat, hingga kepala dinas. Itu bikin total belanja pegawai tahun 2016 sebesar 17,3 triliun atau setara 25,9 persen dari APBD. Bagaimana Anda menjelaskan kenaikan tunjangan PNS mempengaruhi kinerja dan kualitas pelayanan publik meningkat serta tingkat korupsi turun?

Saya menghilangkan kata ‘Jakarta’ karena jelas mereka akan memimpin Jakarta, bukan Atambua. Kedua, survei Ombudsman saya hilangkan. Saya kira itu tak terlalu penting dalam sebuah debat terbuka, yang merengkuh ketiga calon. Kecuali, debat ini menghadirkan satu demi satu kandidat, secara terpisah, dalam sebuah tayangan: semua data bisa diuji, semua data bisa diajukan.

Jumlah kata yang sudah saya peras di atas menjadi 55 kata. Ini masih tergolong panjang, tentu saja, mengingat bila Anda seorang wartawan, Anda harus sependek mungkin mengajukan kalimat tanya karena dengan begitu si sumber lebih memahami pertanyaan Anda.

David Candow, pelatih wartawan yang sangat memahami perkara begini (ia banyak melatih penyiar top NPR, sindikasi bagi penyiaran radio publik di AS), mengajukan pedoman 16 kata dalam kalimat tanya. Lebih dari itu, ia bilang, daya tangkap si sumber akan menurun. Pertanyaan juga harus terbuka—yang terpusat pada ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’. Pertanyaan tertutup, secara teori, akan dijawab dengan ‘ya’ dan ‘tidak.’ Bagaimana Anda mendapatkan jawaban bagus bila pertanyaannya panjang atau tertutup? (10 kata)

Coba kita baca pertanyaan Eko Prasojo di segmen kedua yang dijawab oleh Agus Yudhoyono.

Prasojo: Pertanyaan untuk paslon satu. Salah satu poin dalam program aksi paslon satu adalah meningkatkan kualitas dan keandalan birokrasi yang bersih dan bertanggung jawab. Sementara itu salah satu masalah utama dalam birokrasi di Indonesia, termasuk di DKI Jakarta, ialah kuatnya intervensi kekuasaan politik di dalam birokrasi. Akibatnya birokrasi menjadi tidak netral, tidak profesional, dan tidak berorientasi pada pelayanan masyarakat. Intervensi biasanya terjadi dalam pengisian jabatan, pengadaan barang dan jasa, serta perizinan. Pada sisi lainnya, seringkali pula terjadi pencopotan jabatan secara cepat dan tiba-tiba, tanpa memperhatikan indikator kinerja dan masa kerja. Bagaimana pendapat paslon satu tentang intervensi politik dalam birokrasi? Dan bagaimana strategi untuk mengurangi intervensi kekuasaan politik dalam birokrasi sekaligus menciptakan profesionalisme dalam melayani masyarakat?

Jumlah kata tanya di atas 114 kata. Untuk bagian pertanyaan, mestinya bisa dipersingkat: Bagaimana strategi Anda mengurangi tekanan politik ke dalam birokrasi sekaligus tetap profesional melayani masyarakat? (14 kata)

tabel tina talisa

Tirto pernah menurunkan kolom dan ulasan mengenai sejarah debat politik di Indonesia. Debat kandidat pejabat publik mulai memakai saluran televisi pada saat pemilihan presiden 2004. Ia lantas diduplikasi di pelbagai provinsi saat pemilihan kepala daerah hingga kini.

Meski sudah 12 tahuh, format debat masih belum berubah. Dikonsep seperti sebuah sasana (ada dering pengingat menjelang tenggat bicara habis), pertanyaan bertele-tele, moderator berada di atas panggung, dan riuh seirama tensi naik oleh para pendukung di studio. Seakan-akan kita sedang menonton acara ajang bakat, bukan sebuah debat yang memeriksa janji dan menguji klaim-klaim calon penguasa, yang kelak mempengaruhi kehidupan banyak orang lima tahun ke depan.

Dalam debat kedua ini Tina Talisa dan Eko Prasojo berulangkali menegur para hadirin dan pendukung masing-masing calon untuk diam. Mereka mengucap setidaknya 24 kali kata ‘tenang’ seperti “mohon tenang” atau “harap tenang” ketika sorakan dan tepuk tangan bikin konsentrasi lalu-lintas debat terganggu.

Menjelang akhir debat, agaknya kedua moderator juga mulai kecapaian, dengan melihat jumlah kata tanya di bawah 100 kata. Mereka juga harus berdiri selama debat. Ini butuh stamina. Prasojo berkata kepada reporter Tirto seusai debat bahwa ia “capai” karena “tak terbiasa berdiri selama dua jam.”

Satu-satunya pertanyaan paling pendek dari debat ini saat sesi terakhir dan menjadi penutup: Apa komitmen Anda untuk membangun birokrasi yang profesional dan melayani warga DKI Jakarta lima tahun ke depan? (Masih 17 kata. Bisa direvisi: Bagaimana Anda mewujudkan komitmen membangun birokrasi yang profesional dan melayani Jakarta lima tahun ke depan?)

Mahkota penyiar (atau dalam konteks ini presenter), kata Candow, adalah cara kita menyampaikan kisah kepada khalayak. Cara Anda mengajukan pertanyaan, panjang-pendek kalimat, bentuk pertanyaan, adalah bagian dari upaya mewakili rasa ingin tahu khalayak. “Bila aku tak bikin kau terpikat,” ujar Candow, “aku telah gagal.”

Sekali-kali para kandidat, pada debat terakhir, saat diberi pertanyaan bertele-tele oleh moderator, berani berkata: “Saya sulit mencerna pertanyaan Anda karena terlalu panjang, bisakah diulangi dengan pertanyaan yang lebih pendek? Terima kasih.”

Baca juga artikel terkait DEBAT PILKADA DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Fahri Salam

tirto.id - Politik
Reporter: Fahri Salam
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam