Menuju konten utama

Berkenalan dengan Thara & Aeshnina, Greta Thunberg dari Gresik

Thara & Aeshnina, kakak adik berusia belasan, berkomitmen menjaga bumi dari kerusakan.

Nina bersama River Warrior Indonesia mengadakan pameran dan kampanye bahaya plastik di sekolah-sekolah. Foto/River Warrior Indonesia

tirto.id - Matahari sedang gagah di atas kantor Pemerintahan Kabupaten Gresik pada 8 April 2021 saat seorang remaja putri berusia 18 tahun membawa sepucuk surat untuk bupati yang baru diangkat, Fandi Akhmad Yani. Thara Bening Sandrina namanya.

Ia, bersama puluhan remaja lain, cegak berdiri di depan gerbang kantor. Mereka melintang berbaris sembari memampangkan spanduk bertuliskan #STOPMAKANPLASTIK, GRESIK BUTUH TPS 3R, ISIN GUS KOTA SANTRI SAMPAH PLASTIKE KELELERAN. Melengkapi itu semua ada pula bendera merah putih berkibar dan sebuah mobil bak terbuka.

Thara adalah bagian dari Captain River Warrior Indonesia (RWI), organisasi anak muda yang fokus mengadvokasi kebijakan-kebijakan pelestarian lingkungan. Demonstrasi itu juga diikuti anggota Komunitas Tolak Plastik dan Community of Aquatic and Environment (CAER). Dalam demonstrasi siang hari itu mereka khususnya menagih tanggung jawab Gus Yani untuk membenahi tata kelola sampah di Gresik dan kelestarian Sungai Brantas dari ancaman mikroplastik.

“Lingkungan yang sehat itu hak semua orang,” ujar Thara kepada reporter Tirto, Rabu (19/5/2021). “Jadi jangan diam saja kalau kita lihat lingkungan kita dirusak. Harus do something, harus berani menegur pihak pihak yang merusak atau pihak yang bertanggung jawab.”

Kegelisahan Thara sudah menahun. Tempat tinggalnya hanya berjarak 200 meter dari Sungai Brantas--yang menjadi pusat hidup masyarakat Gresik sekaligus sumber bahan baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Setiap kali berangkat ke sekolah atau berbelanja ke pasar, Thara dapat dengan mudah menemukan tumpukan sampah di bantaran. Sebagian sampah berasal dari rumah tangga.

Ia paham bahwa situasi ini terjadi karena ketidaktahuan masyarakat dalam mengelola sampah. Namun, hal tersebut bisa diminimalisasi apabila pemerintah memberikan edukasi secara menyeluruh, mengajak masyarakat memilah sampah; serta mampu mengelola sampah secara sistematis dan masif di setiap kecamatan, menyediakan TPST agar mengurangi jumlah sampah di TPA, dan mengeluarkan aturan larangan menggunakan plastik sekali pakai.

Saat ini situasinya adalah “enggak disediakan tempat sampah” sehingga “masyarakat, ya, sudah kebiasaan buang sampahnya ke sungai, ke pinggir jalan, dibakar.” Bahkan, saking sudah mendarah daging, “masih banyak orang percaya kalau buang popok itu harus ke sungai, biar [bayi] enggak suleten.”

Paparan kenyataan tersebut mendorong Thara membentuk River Warrior Indonesia pada 2019 atau ketika masih duduk di bangku SMA kelas 2. Thara mengajak teman-teman satu sekolah untuk terlibat dalam RWI. Sekarang anggota RWI berjumlah 9 orang, terdiri dari remaja berusia 19 hingga 14 tahun dan dewasa berusia 20 tahun.

Mereka membuat banyak program, mulai dari bersih-bersih sungai, memantau sungai, pameran plastik, kampanye dan edukasi ke sekolah, berjualan pembalut kain di sekolah, hingga turun aksi ke jalan.

Pada Februari 2020, Thara juga pernah menyurati Bupati Gresik periode itu, Sambari Halim Radianto. Ia menceritakan keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan yang kotor dan buruknya penanganan sampah. Tapi Halim tidak pernah merespons.

“Memang pasif bupatinya. Soalnya biasanya juga kami minta buat audiensi, ketemu langsung, tapi beliau selalu sibuk,” ujarnya.

Usai berorasi, Thara dan kawan-kawan diterima oleh Yani di Gedung Dhurung Bawean. Thara menyerahkan surat yang telah ia bawa sejak tadi kepada Yani. Dalam surat itu Thara bilang: River Warrior Indonesia melakukan survei terhadap 316 masyarakat Gresik. 71 persen responden menilai kinerja pemkab buruk dalam penanganan sampah plastik, terutama di Gresik selatan (Kecamatan Kedamean, Driyorejo, dan Wringinanom). Sebanyak 96 persen responden meminta pemkab menerbitkan aturan pelarangan plastik sekali pakai.

Gresik tidak memiliki sarana pengelolaan dan transportasi pengangkut sampah yang merata dan optimal; tidak tersedia tempat sampah dan pengolahan sampah yang memadai. Masyarakat akhirnya memilih membuang sampah rumah tangga ke sungai, lahan kosong, dan pinggir jalan; atau dengan dibakar dan ditimbun.

Pada Agustus 2020, ketika menyusuri Sungai Brantas dari Mojokerto hingga Surabaya, melintasi Kecamatan Wringinanon dan Driyorejo, RWI menemukan 302 timbulan sampah di sepanjang bantaran. Rerata jenis sampah berasal dari plastik pembungkus makanan, produk perawatan tubuh, dan keperluan rumah tangga.

Thara mengutip hasil kajian Ecoton, sebuah organisasi konservasi lingkungan, pada 2019 yang menemukan air Sungai Brantas mengandung 1,47-41,32 partikel mikroplastik/liter. Ukuran mikroplastik tak lebih dari 5 milimeter dan mampu mengikat senyawa beracun seperti pestisida, logam berat, dan karbon. Mikroplastik akan mudah sekali masuk ke tubuh manusia dan menyebabkan penyakit.

“Rasanya bupati harus tahu kondisi ini karena sampah yang bercecer ini, kan, bukti kelalaian dari pemerintah. Pemerintahnya enggak ada upaya untuk menangani masalah ini. Jadi saya ingin supaya bupati melakukan sesuatu.”

Bupati Yani mengamini kondisi penanganan sampah di wilayah kerjanya masih buruk. Secara prioritas dan ringkas, semua sampah langsung diarahkan ke TPA tanpa melalui sistem TPST atau TPS3R.

Penduduk Gresik mencapai 1,4 juta jiwa dan dalam sehari menghasilkan sekitar 350 ton sampah, namun hanya 165 ton yang sanggup tertampung di TPA Ngipik. Menurut Yani, jumlah tersebut hanya 47 persen. Sementara sisanya terbuang di mana-mana.

“Kami sendiri sudah memiliki rencana untuk membangun sebuah TPST di Gresik selatan. Kami sudah di tahap penetapan lokasi. Nantinya, TPST ini merupakan pilot project untuk TPST lain,” ujarnya dalam akun Instagram pribadi.

Surat untuk Joe Biden

Tiga peti kemas berisi limbah plastik low density polyethylene (LDPE) illegal dari Amerika Serikat tiba di pelabuhan Belawan Medan pada 16 Maret 2021. LDPE adalah jenis plastik lunak yang sulit didaur ulang.

Kabar itu mengusik Aeshnina Azzahra Aqilani. Remaja berusia 14 tahun itu geram. Ia segera menyurati Presiden Amerika Serikat Joe Biden melalui Konsulat Jenderal AS di Surabaya pada 25 Maret 2021; meminta agar AS berhenti mengekspor sampah plastik ke Indonesia. Namun sampai hari ini surat Nina tak juga berbalas.

“Mungkin mereka malu. Atau mereka kayak enggak mau tahu, mereka tetap mau buang sampahnya ke sini. Karena tidak ada tempat pembuangan sampah lain,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu.

Dalam catatan Ecoton, sebanyak 2,66 juta ton limbah kertas dari 21 negara diekspor ke Indonesia pada 2020. Sebagian besar limbah kertas tersebut mengandung 2 persen kontaminan atau residu sampah plastik.

Ia juga pernah menyurati Presiden Amerika Serikat periode lalu, Donald Trump, pada 2019. Surat itu berbalas. AS melempar kesalahan ke pemerintah Indonesia dan mempertanyakan alasan Indonesia mau menerima sampah mereka.

“Amerika itu, kan, negara maju dan besar. Harusnya punya pengelolaan sampah yang lebih baik daripada kita. Kok dikirim ke kita? Pemerintah Indonesia juga salah, mau menerima terus,” ujarnya.

Nina adalah adik kandung Thara. Mereka dibesarkan oleh suami istri yang memiliki perhatian khusus terhadap pengelolaan sampah dan plastik. Sedari kecil, Nina sangat dekat dengan aktivitas orang tuanya; menyusuri sungai-sungai dan meninjau tempat pembuangan sampah dan menelaah alur masuk sampah.

Nina dan Thara tumbuh dengan keprihatinan pada kondisi lingkungan. Ketika Thara membentuk RWI, Nina ditunjuk sebagai co-captain. Mereka berdua berbagi tugas. Thara mengurus persoalan lokal dan Nina mengurusi global. Pembagian kerja dilakukan dengan sengaja, Nina paham persoalan serius ini mesti mendapat banyak perhatian masyarakat dan pemangku kebijakan. Perlu daya dengung.

“Kalau anak kecil yang bicara lebih menarik untuk berita. Orang-orang mau mendengarkan. Jadi kakak saya lokal saja,” ujar Nina.

Bersama RWI, Nina melakukan beberapa kegiatan penelitian dan pemantauan. Sesekali ia menyusuri bantaran sungai dan meninjau tempat pembuangan sampah. Sebelum pandemi COVID-19, ia rajin mengadakan pameran-pameran sampah plastik di sekolahnya dan beberapa sekolah lain setingkat SD sampai SMA.

Di sekolah, Nina mencoba mengajak teman-temannya untuk lebih peka terhadap penggunaan plastik. Satu lusin teman Nina tertarik menjadi relawan di RWI. Namun ada banyak lagi yang tidak peduli. Kata Nina, susah sekali mengajak mereka.

“Karena dampaknya, kan, tidak langsung, bisa 10 atau 20 tahun kemudian. Mereka jadi tidak takut. Jadi saya terus ingatkan dan takut-takuti,” ujarnya.

Nina juga pernah mendatangi Duta Besar Jerman untuk Indonesia Peter Schoof pada Januari 2020. Ia menitipkan surat untuk Kanselir Jerman Angela Merkel. Pada tahun yang sama, Nina menitipkan surat untuk Perdana Menteri Scott Morrison kepada Kedutaan Australia di Jakarta. Semua surat Nina berisi sama: meminta negara-negara tersebut menghentikan mengirim sampah ke Indonesia, khususnya Gresik.

Kabar baiknya, kedua negara sepakat untuk membuat aturan pelarangan mengekspor plastik ke Indonesia dan memaksimalkan pengawasan di pelabuhan.

“Saya terus memantau sampahnya, tetap masuk atau tidak. Kalau mereka tetap kirim sampah, ya, saya kirim surat lagi,” katanya.

Dalam usia remaja, Nina seolah tidak punya pilihan selain memperjuangkan masa depan lingkungannya, dan dengan demikian masa depannya sendiri. Ia tidak mau ketakutannya selama ini menjadi kenyataan di kemudian hari.

“Ketakutan saya di masa depan lingkungan akan hancur dan semakin kotor, tercemar.”

Baca juga artikel terkait AKTIVIS LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino