Menuju konten utama

Berkaca dari India dan Brasil yang Semrawut Atasi Pandemi Covid-19

Lockdown India kacau karena lemahnya persiapan. Brasil terpuruk karena respons pandemi yang buruk. Jangan sampai Indonesia jatuh seperti kedua negara itu.

Berkaca dari India dan Brasil yang Semrawut Atasi Pandemi Covid-19
Ilustrasi India dan Brazil dalam menangani covid-19. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Lupakan Amerika Serikat yang masih kokoh di puncak dalam statistik pasien positif COVID-19 di dunia. India kini ada di peringkat dua menggeser Brasil. Per Minggu (12/9) jumlah kasus positif COVID-19 di India tembus lebih dari 4,7 juta dengan angka kematian lebih dari 78 ribu jiwa. Melesatnya India mengungguli Brasil dimulai pada Senin (7/9), saat terjadi lonjakan kasus sebanyak 90.802 hanya dalam waktu 24 jam.

Negara berpenduduk lebih dari 1,3 milyar itu juga mencatatkan angka peningkatan kasus positif COVID-19 harian terbesar di dunia selama hampir sebulan terakhir. Kini, virus telah menyebar ke kota-kota kecil dan pedalaman India.

“Sekarang, ini menjadi beban ganda,” ujar Profesor Rajib Dasgupta, ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Jawaharlal Nehru, Delhi, seperti dikutip Reuters. "[Penambahan kasus positif] di daerah perkotaan tidak melambat, sementara di daerah perdesaan meningkat.”

Asosiasi Dokter India (IMA) mencatat, hingga 7 Agustus 2020 jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 196 orang dengan 170 di antaranya berusia di atas 50 tahun.

Padahal India adalah negara yang dinilai paling keras menerapkan lockdown dibanding negara lain dengan kebijakan yang sama. Tujuan lockdown adalah meratakan kurva pertambahan kasus positif agar kapasitas layanan kesehatan tidak kolaps dan tingkat kematian bisa ditekan. Perdana Menteri Narendra Modi memberlakukan lockdown mulai 24 Maret 2020 hingga 21 hari berikutnya. Dia mengibaratkan ini seperti 18 hari Bharatayuda.

Namun, setelah lockdown diperpanjang hingga 58 hari, jumlah kasus positif justru meroket. Penerapan lockdown berdurasi panjang juga membuat perekonomian India kian terseok-seok. Modi yang kehabisan opsi akhirnya melonggarkan lockdown pada 21 Mei. Transportasi umum dan tempat-tempat usaha diizinkan buka kembali, meski terjadi lonjakan penularan.

“Korona akan tetap menjadi bagian kehidupan kita untuk waktu yang lama. Tapi kita tidak bisa membiarkan kehidupan kita terkurung hanya di sekitar korona.” ujarnya dalam pidato di televisi nasional India.

Lockdown dengan Persiapan Minimum

Cara pemerintahan Modi menangani pandemi pun dikritik oleh Mantan Menteri Keuangan yang kini menjadi Ketua Kongres India P. Chidambaram. India, menurut Chidambaram, adalah satu-satunya negara di dunia yang tak dapat manfaat apapun dari kebijakan lockdown. Namun, itu bukan berarti lockdown tidak berguna. Kegagalan lockdown India lebih disebabkan karena kebijakan itu diputuskan sepihak oleh Modi, tanpa peringatan, perencanaan, dan mengabaikan saran ilmiah.

Warga mendadak dilarang keluar rumah dan aparat tak segan memukul mereka yang melanggar agar kembali pulang. Hampir semua aktivitas ekonomi berhenti total—termasuk logistik, manufaktur, transportasi umum, dan sebagian besar perawatan kesehatan. Akibatnya, pendapatan sekitar 140 juta pekerja pun ikut merosot.

Para buruh urban pun seketika terlantar tanpa uang dan pekerjaan. Imbasnya, mereka terpaksa pulang kampung dengan resiko membawa virus ke kampung halaman. Tak sedikit pula yang tewas di perjalanan karena kecelakaan.

Pemberitaan Financial Times menyebut pengujian dan pelacakan kontak pasien positif COVID-19 sangat rendah. Pun demikian, banyak orang yang terinfeksi enggan melaporkan diri karena takut dibawa ke rumah sakit umum atau pusat karantina yang kumuh. Pemerintah India sebenarnya telah menerapkan sistem pelacakan dengan aplikasi ponsel. Namun, cara itu tidak efektif karena hampir 75 persen populasi India tidak menggenggam ponsel.

Kekecewaan atas kebijakan Modi juga dilontarkan ahli bedah syaraf Sujoy Sanyal. Menurutnya, Pemerintah India menerapkan lockdown dengan persiapan minimum. Dia lebih kecewa lagi ketika lockdown justru semakin longgar penerapannya kala kasus positif justru sedang melonjak.

“Padahal, semua pemodelan ilmiah menyarankan pembukaan karantina hanya jika Anda melihat penurunan kasus positif harian dalam jangka waktu tertentu," ujarnya kepada The Wire.

Celah lain yang membuat kebijakan lockdown gagal adalah karena Pemerintah India luput mengawasi kelompok masyarakat di pemukiman padat dan perdesaan. Warga sebuah desa di Andhra Pradesh, misalnya, kedapatan menyelenggarakan hajatan pernikahan dan pertandingan kriket yang semestinya dilarang. Kelalaian pengawasan itu kemudian harus dibayar dengan kenaikan kasus positif COVID-19.

Meski begitu, negara bagian Kerala adalah kekecualian. Berbeda dengan Pemerintah India yang gagap, Pemerintah Kerala justru lebih sigap menanggulangi pandemi. Laporan The Print menyebut Pemerintah Kerala sudah siap dengan protokol pengujian, penelusuran, isolasi, dan lainnya sejak 20 Januari 2020.

Infografik India dan Brasil dalam Menangani Covid-19

Infografik India dan Brasil dalam Menangani Covid-19. tirto.id/Quita

Brasil Keok Tanpa Lockdown

Sementara itu, Brasil yang berada di posisi ketiga dunia tak pernah tercatat melakukan lockdown total. Hasilnya tidak lebih baik dari India. Hingga delapan bulan setelah kasus COVID-19 pertama dikonfirmasi di negara itu, tercatat lebih dari 4,3 juta warganya positif dan lebih dari 131 ribu jiwa di antaranya meninggal.

Dari segi angka kematian, Brasil adalah yang tertinggi nomor dua di dunia. The New York Times melaporkan, pada awal Juni, negeri samba mulai mengalami rata-rata 1.000 kasus kematian per hari akibat COVID-19. Bahkan, Amerika Latin secara keseluruhan telah menjadi episentrum pandemi yang baru sejak sebulan sebelumnya.

Presiden Brasil Jair Bolsonaro memang sejak awal tak menunjukkan keseriusan dalam menangani pandemi di negerinya. Sama dengan Modi, dia bertindak semaunya sendiri dengan mengabaikan saran dari para saintis. Dia bahkan menganggap COVID-19 sekadar flu biasa dan hanya fantasi.

Tak hanya itu, media Brasil yang menyoroti krisis COVID-19 justru dituduh ingin melengserkannya. Menteri Kesehatan yang vokal menganjurkan warga untuk tinggal di rumah justru dipecat. Bolsonaro pun bergabung dengan massa penolak lockdown.

Profesor Alfredo Saad Filho, ahli ekonomi politik dan pembangunan internasional dari King's College London, dalam artikelnya untuk The Conversation tak ragu menyebut Brasil sebagai negara dengan respon pandemi terburuk di dunia. Penyebabnya adalah ketimpangan sosial—PDB Brasil adalah yang terbesar kesembilan di dunia, tetapi seperempat populasinya hidup dalam kemiskinan—dan kepemimpinan nasional yang kacau.

“COVID-19 mencapai negara ini melalui turis kaya yang kembali dari liburannya di Italia, tapi orang pertama yang meninggal adalah salah satu pekerja rumah tangganya.” tulis Filho.

Virus Corona dengan cepat merembet ke wilayah utara dan timur laut yang miskin dan fasilitas kesehatannya tak sebagus kota besar macam Sao Paulo dan Rio de Janeiro. Sudah begitu, Bolsonaro juga tidak membuat aturan yang jelas terkait penanganan COVID-19. Dia malah melempat tanggung jawab ke tingkat gubernur dan walikota.

Karenanya, tiap kota punya respons pandemi yang tak padu. Tidak semua kota menerapkan aturan penutupan pusat perbelanjaan atau pemakaian masker di transportasi umum. Peraturannya ala kadarnya itu jadi semakin tak efektif karena bisa berubah sesuai tekanan lokal.

Ekses dari karut marut penanganan pandemi di India dan Brasil itu seharusnya bisa menjadi cermin bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, kini Indonesia menduduki posisi teratas statistik jumlah kematian akibat COVID-19 di Asia Tenggara. Kasus positif di Indonesia kini sudah tembus lebih dari 218 ribu orang dengan jumlah kematian mencapai lebih dari 8,7 ribu jiwa. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga mencatat 115 dokter meninggal dunia akibat terpapar COVID-19 saat bertugas.

Karenanya, jangan kaget jika awal pekan lalu 59 negara menutup pintu bagi warga negara Indonesia. Tingkat pengujian yang rendah sudah lama dikeluhkan para ahli kesehatan. Pun demikian, terjadi lonjakan kasus positif nasional—dengan Jakarta sebagai penyumbang kasus terbanyak—beberapa pekan terakhir.

Ini jelas situasi genting dan Pemerintah semestinya segera membuat langkah penanganan pandemi yang lebih efektif. Jangan sampai Indonesia terjerumus seperti India dan Brasil.

Baca juga artikel terkait INDIA LOCKDOWN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Fadrik Aziz Firdausi